Monyet Ekor Panjang, Pantaskah Dijadikan Objek Penghasil Uang?

Zalikha Diandra
Mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
28 Desember 2023 8:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zalikha Diandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pusat Rehabilitasi Jaringan Satwa Indonesia (sumber : Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Pusat Rehabilitasi Jaringan Satwa Indonesia (sumber : Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dor…Dor…Dor!
Dor…Dor…Dor!
Dor…Dor…Dor!
Suara dentuman pintu berbahan dasar seng itu terus mendominasi lahan hijau di pekarangan Jaringan Satwa Indonesia (JSI) – dulu Jakarta Animal Aid Network (JAAN) – saat saya memasuki halaman pusat rehabilitasi. Usut punya usut, suara itu datang dari kandang karantina di sudut halaman JSI. Alih-alih berpikir positif, saya sebagai orang awam menganggapnya sebagai ungkapan perasaan stress dari satwa liar di sana.
ADVERTISEMENT
“Apa saya berbicara dan tertawa terlalu keras sehingga mereka stress mendengarnya?’, pertanyaan itu terus muncul dalam benak saya mengingat mayoritas satwa liar (re: monyet ekor panjang) di sana merupakan korban eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Hingga akhirnya, pertanyaan itu perlahan terjawab saat saya menemui Pak Aep, seorang pengurus dan penjaga pusat rehabilitasi di JSI.
“Kalau monyet kan pasti begitu (di habitat aslinya), dia pasti akan nge-reog, (meng)guncang-guncangkan pohon. Jadi itu bukan stress”, terang Pak Aep. Jadi, monyet ekor panjang tadi hanya menunjukkan sifat alamiahnya sebagai hewan primata yang hidup di hutan. Justru, mereka merasa menemukan kemiripan antara habitat aslinya dengan habitat sementaranya di Pusat Rehabilitasi JSI.
Mendengar hal itu, saya merasa miris karena mengetahui bahwa masih banyak monyet ekor panjang, di Indonesia khususnya, yang digunakan sebagai objek mata pencaharian manusia. Sejatinya, satwa liar memang diciptakan sedemikian rupa oleh Sang Pencipta untuk hidup liar di habitat asalnya, yaitu hutan. Namun, keserakahan manusia justru membuatnya harus menjadi alat penghasil uang dengan bekerja sebagai objek topeng monyet ataupun pajangan di kebun binatang. Selain itu, tak jarang para influencer juga menjadikannya ‘peliharaan’ yang dapat menghasilkan adsense. Sistem perputaran uangnya terbilang cukup mudah. Dengan mengandalkan rasa penasaran dan rasa kebutuhan masyarakat akan hiburan, hanya dengan rekam dan posting, si monyet ekor panjang akan berhasil menghasilkan uang untuk sang ‘majikan’.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menganggapnya suatu kesalahan, para penikmat konten satwa liar baik di media sosial maupun di dunia nyata justru menganggapnya sebagai media pembelajaran penting bagi keturunannya untuk mendapatkan pemahaman lebih perihal monyet ekor panjang. Mereka tidak betul-betul paham tentang materi satwa liar yang telah dipelajarinya di sekolah. Uang yang mereka gunakan untuk menyewa jasa topeng monyet dan menyambangi kebun binatang ini sejalan dengan perampasan kehidupan normal yang monyet ekor panjang miliki di hutan.

Dampak Eksploitasi yang Dilakukan Manusia terhadap Monyet Ekor Panjang

Saya cukup penasaran tentang eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap monyet, contohnya dalam praktik topeng monyet, ternyata dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi fisik maupun psikologis si monyet.
ADVERTISEMENT
“Topeng monyet itu praktiknya sangat kejam. Jadi dari cara mereka melatih, bahkan cara mereka mengambil (monyet tersebut di hutan) dari induknya pun sangat kejam”, tutur Dokter Hewan JSI, Janipa.
Dokter Janipa menambahkan, dalam pelatihannya, monyet tersebut sering dipaksa berdiri, berjalan dengan dua kaki, serta naik motor-motoran dan permainan atraksi lainnya dalam kurun waktu tertentu. Semakin cepat sang majikan ingin monyet tersebut menguasai suatu permainan, semakin kejam pula pelatihan yang diberikan. Bahkan, beberapa mengungkap bahwa mereka tidak akan memberi monyet tersebut makan jika tidak bisa berdiri dalam kurun waktu seminggu. Dari segi makanan pun monyet-monyet tersebut tidak diberi makanan yang layak untuk dikonsumsi, sebagai contoh adalah makanan manusia.
Untuk mewujudkan praktik topeng monyet ini, manusia akan menghalalkan segala cara untuk bisa membawa pergi monyet ekor panjang dari habitat aslinya di hutan. Mereka tidak segan untuk membunuh induk monyet agar dapat memelihara bayi monyet sejak ia kecil. Sebagai primata yang hidup berkoloni, monyet ekor panjang tidak akan melepaskan anaknya dan meninggalkan satu sama lain. Maka, jika manusia berhasil mengambil anaknya dari hutan, tidak lain tidak bukan tindakan tersebut dilakukan secara paksa dengan membunuh induk monyet terlebih dahulu. Hal ini merupakan tindakan yang sangat menuai kecaman dari pihak rehabilitasi satwa seperti JSI.
ADVERTISEMENT

Kondisi Monyet di Jaringan Satwa Indonesia (JSI)

Ratusan monyet ekor panjang yang berada di Pusat Rehabilitasi JSI memiliki kondisi fisik serta psikologis yang berbeda-beda. Ada yang abnormal, bungkuk, bagian dalam tubuhnya bermasalah, giginya hilang, buta, tuli, dan segudang permasalahan lainnya.
Lalu, bagaimana nasib monyet-monyet itu? Yak. Mereka terpaksa harus menetap di JSI. Pasalnya, jika monyet-monyet ‘cacat’ ini dipaksa untuk rilis, mereka tidak akan bisa beradaptasi dengan habitat aslinya. Saat diulik lebih lanjut, mayoritas monyet ekor panjang yang cacat ini tak lain tak bukan disebabkan oleh ulah manusia yang memeliharanya.
Di sana, saya bertemu dengan Moody. Dia adalah seekor monyet yang cukup memprihatinkan. Kata Pak Aep, Moody merupakan monyet yang sangat introvert. Ia sudah tiga tahun menetap di JSI dan ditempatkan di satu kandang berbeda yang hanya ada dirinya di sana. Moody termasuk salah satu dari sekian banyak monyet yang menjadi korban eksploitasi topeng monyet dan berujung mengalami gangguan psikologis yang cukup berat. Jangankan dirilis, bahkan psikologis Moody tidak siap jika dirinya harus disatukan dengan teman-temannya di kandang pusat rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Selain Moody, saya juga bertemu dengan monyet cacat lain yang bernama Quasimodo. Berbeda dengan Moody, Quasimodo menderita cacat fisik di mana tulang punggungnya bungkuk dan tidak bisa berjalan selayaknya monyet pada umumnya. Setelah saya cari tau, ternyata Quasimodo dulunya juga merupakan korban eksploitasi topeng monyet yang sejak kecil sering disimpan di dalam box berukuran lebih kecil dari dirinya. Hingga dewasa, Quasimodo tidak dapat tumbuh dengan tulang belakang normal. Akhirnya, Quasimodo terpaksa masuk ke dalam daftar monyet yang gagal rilis di JSI.
Lantas, mengapa monyet-monyet gagal rilis tersebut dinilai tidak mampu beradaptasi di habitat asalnya? Pak Aep menjelaskan, koloni monyet ekor panjang akan sering berpindah tempat untuk mencari makan jika persediaan makanan di tempatnya telah menipis. Hal ini menjadi suatu kekurangan untuk monyet yang cacat karena mereka tidak akan bisa mengikuti pace perpindahan koloninya. Maka dari itu, JSI mendesain tempatnya sebagai hunian yang layak untuk monyet ekor panjang yang tidak dapat dirilis tersebut. Makanan di sana juga telah disesuaikan dengan makanan yang bisa monyet cari dan makan saat di hutan.
Moody, seekor monyet ekor panjang yang menetap di JSI. (sumber : Dokumen Pribadi)
Beberapa Monyet di Kandang Sosialisasi Jaringan Satwa Indonesia. (sumber : Dokumen Pribadi)

Peran Pemerintah dalam Kasus Eksploitasi Satwa Liar

Pak Aep menjelaskan bahwa sejatinya JSI tidak memiliki wewenang penuh dalam hal penyitaan monyet dari sang pemilik. Oleh karena itu, JSI bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Satpol PP, dan Dinas Sosial terkait untuk mengadakan operasi di sejumlah titik.
ADVERTISEMENT
“Monyetnya nanti akan kita rehabilitasi, lalu untuk orangnya (pemilik monyet) akan kita bawa ke Dinas Sosial,” terangnya.
Setelah diamankan, monyet-monyet tersebut akan mengikuti sejumlah tes kesehatan oleh JSI dan ditempatkan di kandang karantina sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Jika mereka telah berhasil melewati rangkaian seleksi dan dinilai layak untuk disatukan dengan monyet lain, mereka akan segera dipindahkan ke kandang sosialisasi untuk nantinya diamati lebih lanjut. Di sana, medis akan mempelajari perilaku monyet untuk mengetahui kondisi fisik dan psikologisnya agar nantinya siap untuk di rilis.
Menariknya di sini adalah, Pak Aep memberikan penjelasan terkait prosedur yang harus dilaksanakan oleh JSI untuk mendapatkan bantuan dari pihak berwenang tersebut, salah satunya dengan mengeluarkan biaya kerja sama dengan pihak berwenang terkait. Jika operasi pembebasan monyet ekor panjang dari kasus eksploitasi hewan ini merupakan tugas pemerintah, lantas mengapa seluruh beban biaya dibebankan pada pusat rehabilitasi seperti JSI? Pasalnya, bahkan JSI menyebutkan melalui Pak Aep bahwa lembaganya harus mencari sokongan dana dari para investor tiap kali akan merilis 40 monyet ekor panjang ke Nusa Barong di Jember. Dengan demikian, apakah peran pemerintah hanya sebatas sebagai pemilik wewenang dalam proses operasi penangkapan monyet saja?
ADVERTISEMENT