Mengurai Kerumitan ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Kelapa Sawit dengan EU

Zakiah Fadhila
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
16 Juni 2021 17:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zakiah Fadhila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dibuat oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dibuat oleh penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bermula dari Komisi Uni Eropa yang sedang merancang Renewable Energy Directives II (RED II), sebuah regulasi energi, yang rencananya akan menghapus penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit mentah.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun menuai protes dari Indonesia dan negara-negara produsen sawit di ASEAN karena tindakan Uni Eropa dinilai sebagai tindakan yang mendiskriminasi sawit. ASEAN pun setuju untuk bekerja bersama-sama guna mendukung negara-negara produsen kelapa sawit.
Langkah ASEAN untuk ikut turut andil dalam menyelesaikan permasalahan ini merupakan langkah yang cukup bijak mengingat kelapa sawit adalah salah satu pemasukan terbesar bagi negara-negara produsen sawit di ASEAN. Sehingga apabila Uni Eropa masih bersikeras mengesahkan RED II, maka ekonomi yang dijadikan salah satu pilar ASEAN dapat terancam.
Kerja sama dengan Uni Eropa adalah langkah yang diambil oleh ASEAN untuk merespons konflik ini. Pada 27 Januari 2021, telah dilaksanakan pertemuan perdana Joint Working Group on Palm Oil antara Uni Eropa dan beberapa negara anggota ASEAN: Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand, Laos, dan Vietnam. Joint Working Group on Palm Oil ini adalah bentuk komitmen dari Uni Eropa dan ASEAN untuk menjalin dan membangun kerja sama yang strategis.
ADVERTISEMENT
Namun, kendati Joint Working Group on Palm Oil dinilai sebagai langkah yang baik oleh Duta besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, sebenarnya langkah kerja sama ini bukanlah hal yang tepat karena “duduk” mendiskusikan solusi bukanlah hal yang mudah di dalam kasus ini dan masih terjadi persaingan antar negara anggota ASEAN yang membuat solusi semakin susah ditemukan.
Solusi yang ingin dicapai dari kerja sama ini adalah solusi yang dapat diterima oleh semua anggota. Namun, itu juga berarti solusi tersebut berpotensi menggerus kepentingan nasional negara anggota karena untuk mencapai sebuah solusi, para negara harus mengesampingkan beberapa kepentingan nasionalnya yang tidak relevan dan bertentangan dengan kepentingan lainnya.
Hal ini tentunya menimbulkan keraguan. Indonesia adalah contoh negara yang tampaknya mulai sadar dan khawatir akan hal ini. Indonesia khawatir kerja sama ini akan mengorbankan kepentingan nasionalnya mengingat Indonesia tidak akan memiliki kebebasan untuk mengatur kebijakannya sendiri. Akan sangat sulit untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh kedua negara produsen dan konsumen.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, Indonesia dan Malaysia yang sama-sama merupakan negara produsen pun hingga sekarang masih sulit untuk menyamakan kepentingan bersama mereka karena ada kepentingan nasional yang secara kekeh ingin mereka pertahankan.
Hal ini terlihat dari bagaimana CPOPC, kerja sama antara Indonesia dan Malaysia, masih belum bisa memberikan solusi yang mewakilkan keduanya dan bagaimana Indonesia dan Malaysia masih sibuk mempromosikan sertifikasi sawit milik mereka masing-masing.
Mengorbankan kepentingan nasionalnya sedikit saja, Indonesia berarti memasrahkan nasib hidup dari 16 juta orang petani kecil di Indonesia. Seperti yang disarankan Hikmahanto Juwana, akan lebih baik jika konflik ini hanya melibatkan Indonesia dan Uni Eropa saja. Dengan hanya melibatkan Indonesia dan Uni Eropa artinya Indonesia tidak perlu memusingkan kepentingan nasional negara lain yang terlibat. Semakin banyak negara yang terlibat, maka semakin banyak pula kepentingan nasional yang harus dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT

Masih terjadi persaingan antar negara anggota ASEAN yang membuat solusi semakin susah ditemukan.

Karakter ekonomi di ASEAN yang masih bersifat kompetitif, alih-alih kolaboratif, karena adanya kesamaan komoditas utama pada beberapa negara ASEAN. Salah satunya dalam sektor investasi di mana Indonesia sendiri masih menjadikan negara anggota ASEAN lainnya sebagai saingannya.
Terjadinya persaingan antar negara anggota ASEAN bukanlah hal yang baru. Hal serupa juga pernah terjadi pada Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang bersaing dalam bidang otomotif. Faktanya, persaingan dalam pemasaran adalah salah satu permasalahan terbesar yang dialami ASEAN. Hal ini juga diakui oleh Hikmahanto, Pengamat Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa masih belum ada kehadiran solidaritas di antara negara-negara anggota ASEAN.
Persaingan antar negara anggota ini tentu saja membuat negara seperti Indonesia khawatir akan kepentingan nasionalnya yang dipertaruhkan karena adanya potensi di mana sesama negara anggota ASEAN saling tidak mendukung di dalam kerja sama ini.
ADVERTISEMENT
Contohnya, Singapura yang diprediksi akan berdiri di sisi oposisi Indonesia karena selama ini Singapura tidak menyukai asap yang ditimbulkan oleh kebun kelapa sawit milik Indonesia. Jika hal ini benar terjadi, sudah dapat dibayangkan bagaimana akan semakin renggangnya hubungan antar negara anggota ASEAN.
Kasus ini seharusnya dijadikan refleksi bagi ASEAN sebagai organisasi internasional. Memiliki tujuan dan harapan yang dapat memajukan semua negara anggotanya adalah hal baik. Namun, langkah yang diambil ASEAN dalam menangani kasus kelapa sawit ini bukanlah hal yang tepat karena permasalahan persaingan antar anggotanya harus ditangani terlebih dahulu.
Mimpi-mimpi besar ASEAN sampai kapanpun tidak akan dapat tercapai apabila masih terjadi persaingan yang diakibatkan oleh ketidakhadiran solidaritas yang seharusnya terbangun erat antar negara anggotanya.
ADVERTISEMENT