Kematian

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
12 April 2021 7:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Bertahun lalu ketika dunia untuk pertama kali membuka diri untukku, mengenalkan aku akan hangatnya musim panas, gemerisik dedaunan, kicau berkicau burung, aku akan menangisi datangnya kematian; tetapi kini tak ada jalan lain kecuali kematian untuk menyelesaikan semua derita ini."
ADVERTISEMENT
Di akhir novel Frankenstein, makhluk ciptaan Frankenstein merasa kehilangan segalanya dengan meninggalnya Frankenstein. Buruk muka, tidak normal sebagai manusia, selalu disalahpahami niatnya, manusia menolak keberadaannya, ia merasa hanya Frankenstein yang mengerti akan dirinya. Tetapi seperti diceritakan dalam novel, Frankenstein yang menciptakan dirinya pun menolaknya, bahkan berhendak membunuhnya, menolak pula permintaan untuk menciptakan makhluk serupa berkelamin perempuan untuk dijadikan pasangan.
Dengan kematian Frankenstein, si buruk muka merasa tak lagi punya tautan dengan dunia. Kematian Frankenstein adalah tautan pertama dan terakhir bagi si muka buruk dengan dunia. Karena dunia bukan hanya persoalan wadak—fisik, yang terlihat—dan hubungan manusia dengan alam. Tetapi lebih penting lagi persoalan penerimaan dari sesama, peran dalam kehidupan sosial, dan relevansi keberadaan kita dalam kehidupan sesama.
ADVERTISEMENT
Si buruk muka pun memilih untuk bunuh diri. Setidaknya menghilangkan diri di Kutub Utara yang dingin tanpa penghuni.
"Aku harus menjemput kematian. Agar aku tidak lagi merasakan penderitaan yang membakar ini. Aku tidak akan lagi merasakan dahaga ketidakpuasan yang tak mungkin mendapat pelepasan. Ia yang memberiku kehidupan telah tiada."
Sementara kehidupan Frankenstein sendiri tak kalah tragis dari makhluk ciptaannya. Hidupnya dikelilingi kematian demi kematian justru ketika ia berhasil menciptakan hidup yang biologis. Ia ceroboh dengan berpikir bahwa ‘hidup’ adalah semata persoalan biologis.
Menjelang kematiannya, ketika memburu makhluk ciptaannya untuk dibunuh, ia mengaku menjalani kehidupan dalam keterkutukan: terasing sendirian dalam hidup dibayangi wajah-wajah mereka yang ia cintai, karena seluruh mereka yang bisa memberi kebahagiaan mati secara tidak langsung di tangannya. Ayah, istri, teman paling dekat, saudara, pengasuh, semuanya mati di tangan makhluk yang ia ciptakan.
ADVERTISEMENT
Si buruk muka memberi pelajaran hidup yang sangat mahal. Kehidupan biologis tanpa kehidupan sosial adalah sebuah siksaan jahanam. Apalagi ketika di dalamnya ada rasa bersalah dan penyesalan.
Karenanya bagi saya, Frankenstein pada dasarnya adalah cerita tentang keseimbangan kehidupan biologis dan sosial, sekaligus konfirmasi perlunya kita manusia berdamai dengan kematian. Bahwa kematian adalah jalan keluar ‘manusiawi’ untuk lepas dari kungkungan keterasingan, kehilangan relevansi, dan batas mesin bernama tubuh bisa berfungsi dengan sempurna.
Tentu ini hanya satu dari sekian banyak interpretasi-tafsir-pemaknaan atas isi novel yang ditulis oleh Mary Shelley pada tahun 1818.
***
Beranjak tua sepertinya kabar kematian semakin sering mampir. Belakangan seperti tak ada jeda kabar meninggalnya teman SD, teman SMP, teman SMA, teman kuliah, kenalan, kerabat, handai taulan. Gawai, WA Group, media sosial tak memungkinkan kita untuk menghindar.
ADVERTISEMENT
Apa boleh buat, layaknya buah, generasi saya ini mulai meranum matang, menunggu waktu petik. Dan pelan tapi pasti dipetiklah kami ini satu per satu.
Bukan hanya generasi saya, mereka yang lebih muda juga sesekali terselip di antara kami yang mulai beringsut menyusut jumlahnya.
Jangan ditanya lagi untuk generasi yang lebih tua. Mereka yang dulunya menjadi inspirator kami, idola kami, panutan kami, juga titik sasar pemberontakan, ketidaksukaan, dan bahan cercaan generasi kami, kabar kematian mereka lebih sering lagi saya terima. Terkadang bukan satu per satu, tetapi dua tiga bersamaan dalam satu hari.
Kematian bisa datang mendadak. Pagi bercanda sore sudah tidak ada. Satu detik masih berkata-kata detik berikutnya diam tak bisa apa-apa.
ADVERTISEMENT
Kematian bisa pelan berkabar. Rambut mulai beruban. Napas mulai mudah tersengal. Mata merabun. Tulang merapuh. Organ tubuh perlahan aus sebelum berhenti berfungsi selamanya.
Kematian datang semau-maunya. Dan kita tidak bisa apa-apa. Tidak punya kuasa menolaknya.
Semua proses kehidupan hanya punya satu muara: Mati.
Agama bisa beda. Ideologi bisa beda. Rejeki bisa beda. Profesi bisa beda. Cara berpikir bisa beda. Kehidupan yang kita jalani pasti beda. Tetapi itu semua transient. Kematian tidak. Ia terminal. Akhir. Tanpa ampun menghampiri kita semua.
Dan sebuah akhir memang layak dikabarkan. Agar kita yang tersisa tidak terkaget-kaget ketika dunia masih ramai berputar penuh manusia tetapi kita perlahan bukan menjadi bagiannya lagi. Agar datangnya keterasingan tidak terasa terlalu menyakitkan. Agar kita tidak seperti menjadi makhluk ciptaan Frankenstein. Agar kita menyambutnya sebagai sebuah jalan keluar yang menyenangkan.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.