Mengapa Ada Penolakan terhadap Pengungsi di Berbagai Negara?

Yusnan Hadi Mochtar
Yusnan Hadi Mochtar merupakan Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur, dan pernah menempuh Summer School 2018 di Maastricht University (Belanda dan Belgia).
Konten dari Pengguna
15 Juni 2022 16:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusnan Hadi Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara, Aceh. Foto: Rahmad/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara, Aceh. Foto: Rahmad/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sesaat lagi, tanggal 20 Juni akan diperingati Hari Pengungsi Sedunia. Menurut The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), perayaan tersebut bertujuan menghargai keberadaan dan mengakui kekuatan mereka. Mengapa demikian? Jika ditelisik lebih jauh, mereka menjadi pengungsi bukanlah suatu pilihan. Kehidupan pelik seperti konflik di suatu negara telah memaksanya pindah ke negara lain demi alasan keselamatan. Karenanya, memperingati hari tersebut menjadi relevan, sekaligus pengingat bahwa negara perlu melindunginya. Namun terlepas dari itu semua, kenyataan berkata berbeda karena dukungan terhadap mereka masih kurang. Gelombang penolakan terhadap pengungsi di belahan dunia lain seperti Eropa membuat kita bertanya-tanya, mengapa ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Alasan pertama yakni tidak kuatnya sistem multilateral dalam memaksa negara memberikan perlindungan bagi mereka. Pada konteks Uni Eropa (UE), meskipun terdapat Common European Asylum System (CEAS) yang mengatur manajemen pengungsi, sebagian negara anggota enggan mengintegrasikan peraturan tersebut. Sebagai contoh, belum lama ini Polandia, Ceko, dan Hongaria dituntut ke Mahkamah Eropa (ECJ) oleh UE karena menolak pembagian kuota relokasi pengungsi. Pernyataan kontroversial datang dari Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban, yang mengatakan bahwa migrasi adalah ‘masalah’ dan ‘racun.’
Uni Eropa sendiri telah menjadi negara tujuan para pengungsi terutama dari Timur Tengah dan sebagian Afrika. Komisi Eropa menyebutkan, pengungsi pada tahun 2021 paling banyak berasal dari Suriah, diikuti oleh Afghanistan dan Tunisia. Jumlahnya pun tidak sedikit, ada sekitar 97.000 pengungsi dan migran tiba di Eropa dari kurun waktu Januari hingga Agustus 2021, seperti yang dilaporkan oleh United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tidak semua negara meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang melarang negara memulangkan pengungsi ke negara asal. India dan Indonesia adalah sebagian contoh yang belum menandatangani konvensi tersebut. Dengan demikian, rezim internasional sulit memberikan tekanan kepada mereka.
Alasan kedua yakni langgengnya stereotipe buruk terhadap pengungsi menjadikan mereka semakin terpinggirkan. Isu keamanan seperti ancaman terorisme menjadi alasan klasik dibalik gelombang penolakan tersebut. Data dari Spring 2016 Global Attitudes melalui Pew Research Center menyebutkan bahwa sebanyak 76% warga Hongaria beranggapan pengungsi kemungkinan akan meningkatkan serangan terorisme. Warga Amerika Serikat juga memiliki alasan serupa, yang mana sebanyak 76% pendukung Donald Trump menolak pengungsi dari Suriah meskipun sudah dilakukan pemeriksaan keamanan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ‘nasionalisme baru’ yang dipromosikan oleh elite politik maupun masyarakat juga perlu diperhatikan. Karakter dari fenomena ini adalah menguatnya sentimen anti-globalisasi, termasuk anti-pengungsi. The Economist menyebutkan karakter lain seperti kecenderungan untuk membela ‘orang asli’, ataupun mengembalikan kedaulatan.
Salah satu negara yang relevan untuk dijadikan contoh fenomena di atas yakni Australia. Laporan Lowy Institute pada tahun 2018 mengatakan, ‘jika Australia terlalu terbuka, maka akan mengancam identitas mereka’, sebagaimana diungkapkan oleh 41% warganya. Artinya, tidak semua penduduk di sana siap hidup berdampingan dengan siapa pun termasuk pengungsi. Terlebih lagi, hal ini dipromosikan oleh pemerintah, yang menjadikan pengungsi memiliki tekanan berlapis. Laporan Dewan HAM PBB mengatakan, Australia telah melarang masuk lebih dari 800 migran yang menggunakan perahu sejak tahun 2013. Ironisnya, negara tersebut memiliki kebijakan multikulturalisme untuk mendukung keberagaman budaya dan kohesi sosial.
ADVERTISEMENT
Alasan keempat yang relevan untuk dibahas adalah dimensi ekonomi. Menurut suatu studi yang dikeluarkan pada tahun 2016 dikatakan bahwa, 72% warga Yunani menilai jika pengungsi adalah ‘beban’, bahkan dapat merampas pekerjaan orang lokal dan layanan sosial.
Meskipun demikian, ada pihak yang cenderung optimis dalam melihat isu ini. Mereka memandang pengungsi dapat berkontribusi terhadap pembangunan, seperti diungkapkan oleh 62% warga Swedia yang percaya bahwa negara akan lebih kuat karena talenta dan pekerjaannya. Sebagai tambahan, Dany Bahar dan Meagan Dooley dari The Brookings Institution menyebutkan, negara penerima dapat menyerap tenaga kerja produktif dan meningkatkan pajak. Tidak hanya itu, remitansi dan pertukaran ilmu juga didapatkan oleh negara pengirim.
Lantas, bagaimana pendapat Anda melihat isu ini? Mungkin akan terasa ideal untuk mendukung integrasi dan keberagaman, tentunya demi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT