Kesepakatan Iklim Glasgow: Harapan di Tengah Denyut Lemah

Konten dari Pengguna
15 November 2021 17:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhirnya pertemuan Konferensi para Pihak (CoP) 26 UNFCCC (Konferensi Kerangka Kerja PBB terkait Perubahan Iklim) yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia, berakhir pada tanggal 13 November 2021, mundur satu hari dari rencana semula. Seperti diduga, pertemuan berjalan alot karena banyaknya kepentingan yang harus dinegosiasikan, bahkan hingga saat-saat terakhir perpanjangan waktu. Tentu ada yang mengapresiasi hasil yang dicapai meskipun banyak juga yang kecewa. Mungkin bisa disimak sebagian dari apa yang disampaikan oleh Alok Sharma, Presiden dari CoP 26, yang mengatakan bahwa, “….I know that some Parties have sacrificed wording they held dear for the sake of a balanced outcome.…. The decisions we have adopted are part of a broader package, which includes what we have achieved together outside these negotiating halls, on nationally determined contributions, adaptation plans, and finance pledges – saya tahu bahwa para Pihak telah mengorbankan kata-kata yang mereka ajukan demi keluaran yang berimbang…. Berbagai keputusan yang kita ambil adalah bagian dari paket yang lebih luas, termasuk apa yang telah kita capai bersama diluar ruang pertemuan ini, terkait kontribusi terarahkan nasional, rencana adaptasi, dan janji keuangan”.
ADVERTISEMENT
Salah satu keluaran utama yang dihasilkan di akhir konferensi adalah apa yang disebut dengan “Glasgow Climate Pact”, yang memuat 8 hal utama yang dibahas selama 2 minggu pertemuan tersebut. Banyak yang pesimis bahwa kesepakatan ini akan berhasil menghindarkan dari dampak katastropik akibat pemanasan diatas 1,5 derajat C. Meskipun demikian, ada juga yang menganggap pakta ini sebagai langkah penting menuju masa depan yang lebih baik dan aman. Dr. Laksmi Dhewanti, Pimpinan Delegasi Indonesia, seperti dikutip media menyampaikan selepas acara penutupan, “Meskipun hasilnya tidak sesempurna yang diharapkan, namun yang penting semua negara mau bersama untuk mengimplementasikan”. Salah satu hal yang diapresiasi Dr. Laksmi adalah diadopsinya Pasal 6 Persetujuan Paris, sehingga Paris Rule Book mendekati lengkap, dan dengan demikian negara memiliki mekanisme yang lebih lengkap tentang pasar karbon yang dapat digunakan untuk penurunan emisi. Indonesia sendiri telah memiliki instrumen Nilai Ekonomi Karbon yang diatur dalam Perpres 98/2021. Kewaspadaan masih diungkap diantara kelengkapan Artikel 6 tersebut, termasuk kekhawatiran terjadinya kolonialisme masa lalu dalam bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pasar karbon yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Diantara sekian banyak topik yang didiskusikan, perhatian banyak tertuju kepada negosiasi mengenai upaya untuk menghentikan ketergantungan kepada bahan bakar yang berasal dari energi fosil. Kesepakatan untuk menghapuskan batubara sebagai bahan bakar awalnya terlihat dari bergabungnya beberapa negara maju yang berniat untuk mulai menghapuskannya, dengan memunculkan kata phase-out. Seperti biasa, perundingan dan lobi-lobi kemudian berjalan alot, dimana India, dan kemudian didukung Cina dan beberapa negara lainnya menyampaikan keberatan mereka dengan mengajukan alasan perlakuan budget karbon yang adil dan penggunaan bahan bakar fosil yang bertanggung jawab dan menjadi hak negara-negara berkembang untuk mendukung agenda pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan di masing-masing negara. Pada dokumen terakhir yang saya terima, setelah penutupan, dibawah topik Mitigasi, pada butir yang terkait dengan percepatan pengembangan dan diseminasi teknologi yang terkait dengan sistem energi rendah emisi, terdapat kesepakatan untuk mempercepat upaya menuju pengurangan bertahap (phase-down) pembangkit listrik tenaga batu bara dan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, mengakui perlunya dukungan menuju transisi yang adil (secara tersirat menyatakan perlunya masa transisi agar para pekerja bisa beralih ke pekerjaan baru). Banyak yang kecewa bahwa kata phase-out kemudian bisa berubah menjadi phase-down, tetapi itulah hakikat dari negosiasi, dimana terdapat berbagai kepentingan dan kekuatan yang terlibat, termasuk kepentingan pembangunan dari kelompok negara-negara tertentu.
Curahan batubara untuk keperluan industri (Foto: Yus Rusila Noor)
Prinsip keadilan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang juga banyak disinggung dalam dokumen Pakta Iklim Glasgow ini. Negara-negara maju diminta untuk meneruskan kewajibannya dibawah Persetujuan Paris untuk mendukung negara-negara berkembang, termasuk dukungan finansial, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Negara-negara berkembang dianggap mengalami dampak luar biasa akibat perubahan iklim, apalagi dengan adanya pandemi COVID 19, sementara negara-negara maju telah terlebih dahulu mengeluarkan emisi dalam jumlah besar di masa lalu guna mencapai kemajuan seperti saat ini. Dokumen bahkan menyesalkan bahwa komitmen negara-negara maju untuk menyediakan 100 miliar Dollar AS per tahun sejak 2020 untuk keperluan aksi mitigasi ternyata tidak terbukti. Ditekankan bahwa dana ini harus segera diwujudkan secara mendesak.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak semua berisi keluh kesah saja, karena ada juga kesepakatan yang menekankan kepentingan untuk melindungi, mengkonservasi dan merestorasi alam dan ekosistemnya sebagai jalan pemenuhan sasaran suhu dari Persetujuan Paris. Hal ini karena alam, termasuk hutan dan ekosistem terestrial lain serta ekosistem lautan dapat menjadi penyerap dan penyimpan gas rumah kaca serta melalui perlindungan keanekaragaman hayati dan pengawalan kepentingan sosial dan lingkungan.
Dokumen juga mengenali peran banyak pihak pada berbagai tingkatan dalam mengurangi kehilangan dan kerusakan terkait dampak perubahan iklim, serta peran mereka dalam mendorong kemajuan dari Persetujuan Paris. Secara khusus, disebutkan peran dari masyarakat madani, masyarakat lokal, para pemuda, remaja dan wanita serta pemerintah di berbagai tingkatan.
Secara resmi palu memang telah diketuk dan pertemuan telah ditutup. Para peserta telah berusaha dengan keras, tapi pertemuan seperti ini tidak pernah mudah. Dalam beberapa hal kesepakatan telah dibuat, tapi harus tetap dijaga. Seperti Alok Sharma tegaskan, “Today, we can say with credibility that we have kept 1.5 degrees within reach. But, its pulse is weak – tanpa ragu bisa kita katakan bahwa (sasaran) 1,5 derajat masih bisa kita pertahankan. Tapi denyutnya lemah”.
ADVERTISEMENT