Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Sertifikasi dan Pemberdayaan Atas Tanah: Upaya Membuka Akses Keuangan
26 Agustus 2017 7:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Yogie Maharesi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Nawacita yang diusung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, jaminan kepastian hukum kepemilikan atas tanah menjadi salah satu wujud dari pernyataan "menolak negara lemah". Masyarakat harus merasakan keadilan melalui penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Karena itu, reforma agraria menjadi prioritas untuk dilaksanakan demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reforma agraria merupakan jalan untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, membuka akses ekonomi, dan menata struktur sosial agar tidak timpang. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), reforma agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk rakyat kecil dan golongan ekonomi lemah. Redistribusi tanah merupakan hal mendasar dalam implementasi reforma agraria.
Dalam kerangka reforma agraria, salah satu fokus pemerintah adalah melaksanakan sertifikasi tanah. Dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, saat ini sertifikasi baru diberikan untuk 46 juta bidang. Target sertifikasi tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang, 2018 sebanyak 7 juta bidang, dan 2019 sebanyak 9 juta bidang. Tahun 2025, seluruh tanah ditargetkan sudah bersertifikat. Sebuah tekad sekaligus ambisi besar untuk memajukan kesejahteraan masyarakat melalui kepemilikan tanah.
ADVERTISEMENT
Sertifikasi tanah menjadi krusial karena dengan sertifikat yang dimiliki, masyarakat berpeluang mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan dengan menjadikan sertifikat tanahnya sebagai agunan. Pinjaman dari lembaga keuangan tentu diharapkan mampu menciptakan lapangan usaha, kewirausahaan dan ekspansi kegiatan ekonomi masyarakat.
Inklusi Keuangan
Terhubungnya layanan keuangan bagi masyarakat yang terus berkembang sebagai dampak dari sertifikasi tanah, diyakini akan meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia, yaitu tingkat keterbukaan akses dan keterjangkauan masyarakat pada pemanfaatan layanan jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2016 menunjukkan indeks inklusi keuangan Indonesia 67,82%, meningkat dibandingkan hasil survei serupa pada 2013, yaitu 59,74%.
Secara lebih khusus, indeks inklusi keuangan berdasarkan sub-sektor industri keuangan yaitu perbankan 63,63%, perasuransian 12,08%, dana pensiun 4,66%, lembaga pembiayaan 11,85%, pergadaian 10,49%, pasar modal 1,25%, BPJS Kesehatan 63,83%, dan BPJS Ketenagakerjaan 5,05%. Dari data tersebut diketahui bahwa akses masyarakat Indonesia pada layanan keuangan masih perlu ditingkatkan secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Menyadari pentingnya inklusi keuangan dalam upaya menciptakan kesejahteraan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2016 Tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Salah satu pilar penting SNKI adalah hak properti masyarakat, dimana sertifikasi aset menjadi prioritas, utamanya sertifikasi tanah. Pemerintah juga menargetkan indeks inklusi keuangan Indonesia mencapai 75% pada 2019.
Kendala Mengakses Keuangan
Dipacunya sertifikasi tanah berarti membuka prospek dan potensi pasar yang begitu luas bagi lembaga jasa keuangan. Namun di sisi lain, nampaknya terdapat pemahaman di sebagian kalangan masyarakat yang mengira bahwa apabila telah memiliki sertifikat tanah, maka otomatis dan pasti bisa langsung mengakses layanan jasa keuangan dengan menjadikan sertifikat tanahnya sebagai agunan.
Pemahaman ini perlu diluruskan. Benar bahwa sertifikat tanah bisa dijadikan sebagai agunan untuk masyarakat memperoleh akses keuangan, tapi pinjaman itu harus dikembalikan melalui cicilan, karenanya masyarakat yang menjadi nasabah harus berpenghasilan. Penghasilan yang dimaksud tentunya dari usaha produktif atau pekerjaaannya. Jadi nasabah harus mampu membayar cicilan dan untuk itu, nasabah harus berdaya secara ekonomi dan kemampuan membayar cicilannya harus berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Prinsip sederhana ini sekali lagi perlu dipahamkan kepada individu maupun kelompok masyarakat. Lembaga keuangan akan menganalisa tingkat kemampuan membayar cicilan untuk memutuskan seseorang bisa diberi pinjaman atau tidak, bukan semata-mata berdasarkan kepemilikan sertifikat tanah.
Terlebih bagi masyarakat yang memiliki harapan dapat mengakses layanan jasa keuangan sebagaimana yang dituju dari program sertifikasi tanah yang tengah digenjot pemerintah, pemahaman tentang syarat pengajuan pinjaman penting dipahamkan sejak dini. Perlu diantisipasi munculnya kesalahpemahaman di masyarakat bahwa antara program sertifikasi tanah oleh pemerintah dengan syarat mengakses layanan jasa keuangan seolah tidak sinkron, sehingga masyarakat merasa tetap tidak punya akses keuangan meski sudah memiliki sertifikat tanah.
Pemberdayaan
Dengan mengetahui bahwa terdapat kurangnya pengetahuan mengenai syarat pengajuan pinjaman di lembaga jasa keuangan, maka diperlukan edukasi yang memadai terhadap individu dan kelompok masyarakat yang akan atau telah menerima sertifikat tanah dari pemerintah. Di sini industri keuangan dapat berperan aktif secara luas.
ADVERTISEMENT
Selain langkah edukasi, selanjutnya adalah melakukan pemberdayaan atas tanah masyarakat. Sertifikasi memang merupakan pintu masuk bagi masyarakat untuk memiliki aset (tanah). Namun sebelum atau setelah sertifikasi, tanah tersebut harus diberdayakan agar produktif dan menjadi sumber penghasilan. Termasuk yang dimaksud dalam pemberdayaan yaitu penyuluhan, pendampingan, membuka akses informasi dan pasar, serta kegiatan penunjang lainnya.
Selama ini sudah sangat banyak ragam bentuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diprakarsai oleh berbagai institusi baik pemerintah, korporasi swasta, BUMN dan lain-lain, termasuk industri keuangan. Semua memiliki fokus kegiatan, sasaran, metode, model sampai pertanggungjawaban yang berbeda, tapi tujuan pokoknya sama yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat.
Langkah pentingnya kemudian adalah mendorong sinergi antar institusi yang memiliki program pemberdayaan ekonomi, agar menjadikan individu atau kelompok masyarakat yang akan dan/atau telah memiliki tanah bersertifikat sebagai bagian dari prioritas dan fokus sasaran pemberdayaan. Tujuan pemberdayaannya pun perlu lebih jelas dan terukur, yaitu pemberdayaan atas tanah masyarakat untuk menciptakan kegiatan ekonomi produktif. Skala usaha didorong meningkat dari ultra mikro menjadi mikro, kecil, hingga menengah.
ADVERTISEMENT
Agar dapat melaksanakan pemberdayaan yang sasarannya terkoordinasi dan terfokus, maka data pertanahan menjadi penting. Otoritas pertanahan yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional serta Kantor-kantor Pertanahan di daerah tentu memiliki data mengenai bidang-bidang tanah bersertifikat yang telah didistribusi kepada masyarakat, namun belum optimal sebagai sumber ekonomi. Data tersebut menjadi dasar bagi institusi-institusi pemrakarsa kegiatan pemberdayaan untuk menetapkan kelompok sasarannya.
Otoritas pertanahan juga dapat sekaligus menyediakan data mengenai bidang-bidang tanah yang belum/akan disertifikasi, dan berpotensi untuk menjadi sasaran pemberdayaan. Tujuannya ketika kelak disertifikasi dan didistribusi pada masyarakat, tanah-tanah tersebut sudah produktif sebagai sumber ekonomi pemiliknya karena telah dilakukan kegiatan pemberdayaan. Maka harapannya layanan ke lembaga keuangan relatif lebih mudah diakses.
ADVERTISEMENT
Dengan data pertanahan yang tersedia, maka berbagai best practices pemberdayaan ekonomi menemukan sasaran yang tepat untuk diaplikasikan. Bagi lembaga jasa keuangan, konsep sinergi pemberdayaan dengan basis tanah sebagai sumber ekonomi patut menjadi concern dalam program corporate social responsibility (CSR). Ke depan jika semakin banyak tanah bersertifikat yang produktif, maka semakin meningkat pula pemanfaatan layanan jasa keuangan oleh masyarakat sehingga industri keuangan kian berkembang. Indeks inklusi keuangan Indonesia dengan sendirinya beranjak lebih tinggi.
Redistribusi tanah bagi masyarakat tentu bertujuan mulia.
Sebenarnya tanpa memberdayakan tanah yang dimiliki masyarakat, redistribusi tanah pun mungkin bisa mencapai target sertifikasi, namun belum tentu menjadikan masyarakat dapat mengakses layanan jasa keuangan.
Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian besar dan langkah bersama agar tanah masyarakat mampu berdaya dan produktif baik untuk pertanian, peternakan, usaha perdagangan, dan sebagainya. Dengan begitu kewirausahaan terbangun dan ekonomi di lapisan bawah diharapkan terus membaik.
ADVERTISEMENT
Staf Departemen Sekretariat Dewan Komisioner, Hubungan Masyarakat dan Internasional Otoritas Jasa Keuangan
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan OJK)