Peran Perbankan dalam Peningkatan ESG: Tantangan dan Solusi

wisnhu priambadasidi
Praktisi Perbankan dan Mahasiswa Pasca Sarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
7 April 2024 14:05 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wisnhu priambadasidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tabungan atau Menabung. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tabungan atau Menabung. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seiring dengan perkembangan teknologi dan industri, perubahan iklim menjadi berubah secara ekstrem. Sejak beberapa dekade terakhir perubahan iklim menjadi topik yang hangat dalam isu lingkungan dan kelangsungan hidup manusia di bumi. Telah banyak ahli yang memaparkan kajian mereka untuk memberikan bukti bahwa perubahan iklim benar terjadi dan berdampak pada lingkungan.
ADVERTISEMENT
Adanya perubahan iklim dan kerusakan yang timbul akibat ekspansi bisnis dan teknologi, maka menimbulkan kesadaran bagi pelaku industri dan investor untuk menjaga keberlangsungan lingkungan, maka munculkah pemikiran konsep Environment, Social and Governance (ESG). Konsep ESG pertama kali muncul pada tahun 1960-an, ketika kesadaran tentang investasi yang bertanggung jawab secara sosial semakin meningkat. Hal ini dipicu oleh dua faktor utama: degradasi lingkungan yang semakin parah dan kesadaran akan hak-hak sosial.
Pada periode berikutnya, muncul gerakan-gerakan yang mendukung pembatasan emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim. Dalam konteks ini, ESG mulai diterapkan dalam isu bisnis. Ternyata, implementasi ini juga didukung oleh pelaku usaha pada pada sektor keuangan. Beberapa pertimbangan sektor keuangan juga mengimplementasikan ESG ini adalah:
ADVERTISEMENT
1. Risiko lingkungan seperti bencana alam, banjir, kekeringan, dan badai meningkat karena perubahan iklim, yang dapat menyebabkan kerugian besar bagi bisnis dan proyek investasi. Sektor keuangan yang mendanai proyek yang rentan terhadap dampak lingkungan ini menghadapi risiko kehilangan aset, gagal bayar, atau kerugian finansial yang besar.
2. Kebijakan yang meningkatkan regulasi lingkungan atau perpajakan karbon, antara lain, dapat memengaruhi sektor keuangan secara signifikan. Kebijakan ini dapat menurunkan biaya operasional, mengurangi keuntungan, atau membatasi akses pasar bagi bisnis yang bergantung pada sumber daya fosil.
3. Perusahaan dan lembaga keuangan yang terlibat dalam industri beremisi tinggi atau praktik bisnis yang tidak ramah lingkungan dapat mengalami masalah reputasi. Dengan meningkatnya kesadaran publik tentang masalah lingkungan dan sosial, investor, pelanggan, dan masyarakat umum semakin menuntut perusahaan yang mereka dukung untuk lebih transparan dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
4. Perubahan iklim membawa risiko besar, tetapi juga membuka peluang investasi berkelanjutan. Energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan efisiensi energi adalah beberapa proyek yang dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Sektor keuangan dapat membantu dalam hal ini. Investasi ini tidak hanya akan menghasilkan keuntungan moneter, tetapi juga akan berdampak positif pada masyarakat dan lingkungan.
Untuk itu, sektor keuangan, khususnya perbankan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberlanjutan lingkungan. Untuk mengatur hubungan antara perbankan dan keberlangsungan lingkungan, kita bisa lihat literatur dari PBB.
Berdasarkan laman United Nation Framework Convetion on Climate Changes, Climate Finance mengacu pada pembiayaan lokal, nasional atau transnasional, yang dapat diambil dari sumber pendanaan publik, swasta dan alternatif. Konvensi, Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris menyerukan bantuan keuangan dari negara-negara yang mempunyai sumber daya keuangan lebih besar kepada negara-negara yang kurang mampu dan lebih rentan.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengakui bahwa kontribusi negara-negara terhadap perubahan iklim dan kapasitas mereka untuk mencegahnya serta mengatasi dampaknya sangat bervariasi. Pendanaan iklim diperlukan untuk mitigasi, karena diperlukan investasi skala besar untuk mengurangi emisi secara signifikan.
Pendanaan iklim juga sama pentingnya untuk adaptasi, karena diperlukan sumber daya keuangan yang besar untuk beradaptasi terhadap dampak buruk dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Sejalan dengan kebijakan dari PBB di atas, maka Pemerintah Indonesia mengimplementasikan secara nasional. Hal ini tertuang pada penyusunan APBN, APBN terus menjadi alat yang sangat penting untuk mendanai program mitigasi dan pencegahan perubahan iklim di Indonesia, salah satu kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia adalah implementasi ESG pada sektor keuangan.
Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK No. 51 /POJK.03/2017 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik. Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Khususnya dalam lingkungan hidup, di Indonesia dikenal dengan istilah Green Financing.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya peraturan OJK di atas, perbankan nasional semakin agresif mengembangkan inisiatif keuangan berkelanjutan dengan memberikan pendanaan pada keberlanjutan lingkungan. Hal ini ditandai dengan volume penyaluran kredit pada sektor hijau dan ESG dari perbankan nasional tahun 2023 mengalami peningkatan yang signifikan. Saat ini terdapat 13 bank yang berkomitmen sebagai perbankan berkelanjutan, bank tersebut adalah BNI, Mandiri, BRI, BCA, Bank Muamalat, BJB, Bank Artha Graha, BSI, CIMB Niaga, HCBC, OCBC NISP dan Maybank.
Di bawah ini adalah grafik peningkatan penyaluran kredit berbasis ESG oleh perbankan nasional khususnya perbankan yang masuk dalam kategori Buku IV.
Grafik Penyaluran Kredit berbasis ESG Perbankan Buku IV ( sumber laporan ESG masing-masing perbankan, data diolah kembali)
Bagi ke empat bank di atas, penyaluran Kredit berbasis ESG telah mengambil porsi yang cukup besar dari portofolio total kredit. Sebagai contoh adalah BNI, di mana penyaluran kredit berbasis ESG tahun 2023 mencapai Rp. 242,67 triliun atau mengambil porsi sebesar 40% dari total penyaluran kredit BNI di tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Begitupun dengan BRI, di mana penyaluran kredit Green Financing mengambil porsi sebesar 67.11% dari total penyaluran kredit BRI tahun 2023. Hal ini dikarenakan penyaluran kredit lebih banyak untuk bisnis UMKM. Jika diakumulasikan, portofolio penyaluran Green Financing 4 bank di atas mencapai 30% dari total penyaluran kredit perbankan tersebut.
Dari sini kita melihat bahwa perbankan nasional mempunyai komitmen untuk tidak menyalurkan pembiayaan pada nasabah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan memberikan dampak negatif pada lingkungan dan sosial.

Bagaimana ESG Diukur Dalam Jasa Keuangan?

Berbagai metrik digunakan untuk mengukur LST, yang bervariasi tergantung pada industri, perusahaan, atau aset tertentu yang dievaluasi. Namun, beberapa metode yang paling umum digunakan di sektor keuangan adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Peringkat ESG: Peringkat ini mengukur kinerja LST dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti emisi karbon, keragaman, dan kompensasi eksekutif
2. Indeks ESG: dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk investasi LST dan dapat digunakan untuk membangun produk investasi baru.
3. Integrasi ESG: Hal ini melibatkan penggabungan faktor-faktor LST ke dalam analisis keuangan, yang mungkin menggunakan pemodelan khusus.
4. Investasi berdampak: Tujuan dari investasi berdampak adalah memilih berinvestasi pada aset dan perusahaan yang memiliki dampak sosial dan lingkungan yang positif serta keuntungan finansial yang baik.

Tantangan Penyaluran Kredit Berbasis ESG

Tentunya dalam dalam menjalankan bisnis berbasis lingkungan ini, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pelaku bisnis dan juga perbankan. Beberapa tantangan dimaksud adalah:
ADVERTISEMENT
1. Biaya dari green industry cukup mahal, karena harus mendapatkan beberapa sertifikasi dari institusi negara terkait dengan industri ramah lingkungan, sehingga banyak industri yang belum mempunyai sertifikasi tersebut. Hal ini dapat menghambat pembiayaan hijau karena perbankan mempunyai standardisasi dalam pengecekan dokumen, termasuk dokumen/sertifikasi industri yang ramah lingkungan.
2. Dalam dataran teknis, standardisasi persyaratan dokumen terkait ramah lingkungan dari masing-masing perbankan belum ada, sehingga penentuan industri ramah lingkungan menurut beberapa bank akan berbeda-beda.
3. Kurangnya insentif pembiayaan ke sektor hijau bagi lembaga jasa keuangan yang menerbitkan instrumen keuangan yang berkelanjutan. adanya tambahan biaya yang dikenakan untuk verifikator independen untuk melihat sektor yang bisa termasuk kategori pembiayaan berkelanjutan atau tidak, juga menjadi tantangan tersendiri.
ADVERTISEMENT
4. Kurangnya Kesadaran dari beberapa calon peminjam dan investor mungkin kurang menyadari atau kurang memahami manfaat dari Green Financing. Bank-bank perlu menyediakan edukasi kepada klien mereka tentang pentingnya proyek-proyek berkelanjutan.

Langkah-Langkah untuk Memajukan Kredit Berbasis ESG

Untuk mengantisipasi tantangan di atas, maka beberapa langkah yang dapat diambil oleh para pemangku kepentingan adalah :
1. Pemberian insentif kepada pelaku bisnis hijau, baik perbankan yang menerbitkan green bond dan memberikan fasilitas green financing, juga kepada calon peminjam atau investor. Pemberian dapat berupa diskon kupon pembelian bond, bunga pinjaman yang rendah bagi debitur, pemberian komisi kepada perbankan yang menyalurkan green financing dan penghapusan biaya transaksi jika ada.
2. Pemerintah dapat mendukung keuangan ramah lingkungan dengan memberikan insentif pajak, peraturan yang menguntungkan, atau kebijakan lain yang mendorong investasi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
3. Perlu adanya standardisasi Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan sebagai pedoman bagi perbankan dalam penyaluran green financing ini, contohnya adalah standardisasi tingkat emisi karbon yang wajar.
4. Meningkatkan kesadaran di kalangan lembaga keuangan, investor, dan masyarakat umum tentang pentingnya keuangan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye pendidikan, seminar dan informasi.
Melakukan kemitraan strategis dengan organisasi lingkungan, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya adalah langkah penting dalam mendukung green financing. Kemitraan ini dapat membantu dalam mengidentifikasi peluang, mengurangi risiko, dan mempromosikan green financing.