Saling Memaafkan saat Idul Fitri dengan Kupat

WILON TRI AKBAR
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
18 Mei 2022 12:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari WILON TRI AKBAR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Ketupat sayur sumber: Wilon Tri Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Ketupat sayur sumber: Wilon Tri Akbar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang berwarna hitam. Mobil tersebut tampak penuh dengan penumpang. Semua penumpang mengenakan baju serba putih, kontras dengan warna mobil hitam mengkilap mereka.
ADVERTISEMENT
Dari dalam mobil, seorang perempuan paruh baya keluar, di tangan kanannya menggantung ketupat berbentuk segi empat sebanyak lebih dari lima biji. Dari sisi mobil lainnya, semua penumpang turut berjalan ke luar. Terlepas apa yang mereka bawa, semua orang yang berada di mobil tersebut masing-masing keluar dengan membawa senyum bahagia.
Di depan pagar hitam, tiga orang sudah pula terbit dengan senyuman hangat mereka. Masing-masing dari mereka mencakupkan kedua tangan mereka di depan dada, lagi-lagi sembari tersenyum. Sembari menyerahkan ketupat yang mereka bawa, para penumpang mobil tersebut dipersilakan masuk ke dalam rumah mereka.
Ngaku Lepat dan Tradisi Saling Memaafkan
Di atas meja dapur, ada setidaknya lebih dari lima anyaman janur yang membungkus beras. Satu persatu anyaman yang telah berisi beras dimasukan ke dalam panci untuk direbus. Begitu setidaknya langkah-langkah membuat kupat yang kerap dilakukan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kupat nyatanya bukan hanya sekadar makanan yang dibuat secara iseng oleh pendahulu kita. Kupat memiliki filosofi yang mendalam, terlebih jika dikonsumsi saat Hari Raya Idul Fitri.
“Keluargaku biasanya beli (kupat) sih,” ucap Zalfa (19) yang turut mengonsumsi kupat ketika Hari Raya Idul Fitri.
Walau kerap dikonsumsi ketika Hari Raya Idul Fitri dan identik dengan hidangan umat muslim, kupat ternyata telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Kemudian, Wali Songo menggunakan kupat sebagai alat untuk menyebarkan Agama Islam di Nusantara.
Kupat berasal dari kalimat ngaku lepat yang memiliki arti mengakui kesalahan. Maka dari itu, kupat identik dengan Hari Raya Lebaran. Oleh karena itu pula, kupat kerap disandingkan dengan kalimat “Minal aidzin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin”.
ADVERTISEMENT
Uniknya, kupat tidak hanya memiliki makna ngaku lepat. Kupat juga memiliki makna laku papat, yang memiliki arti empat tindakan. Keempat tindakan tersebut adalah lebaran, leburan, luberan, dan laburan, begitu setidaknya dijelaskan dalam buku “Belajar dari Makanan Tradisional Jawa”.
Lebaran memiliki makna usai. Hal tersebut menandakan berakhirnya puasa Ramadan bagi Umat Muslim. Luberan memiliki makna meluber atau melimpah, yang berarti pula ajakan kepada Umat Muslim untuk melimpahkan sebagian harta mereka kepada orang yang tidak mampu. Leburan memiliki makna habis atau melebur, yang pula diyakini sebagai peleburan dosa atau kesalahan manusia ketika Idul Fitri. Terakhir adalah laburan yang berasal dari kata labur atau kapur yang berwarna putih atau dapat digunakan sebagai penjernih air. Hal tersebut berarti bahwa agar manusia dapat menjaga kejernihan atau kesucian lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
Setelah diangkat dari panci yang telah pula habis airnya karena digunakan untuk merebus kupat, kupat kemudian dihidangkan di atas meja makan. Semua keluarga dan tamu yang hadir ke rumah duduk melingkar di kursi meja makan tersebut.
Kupat dihidangkan di atas meja makan, bersamaan dengan berbagai macam lauk yang bersantan. Sebelum melahap hidangan yang ada di atas meja, seorang pria yang duduk ujung meja makan kembali mengucapkan kalimat-kalimat permintaan maaf kepada mereka yang turut duduk di meja makan.
Di hadapan kupat santan, pria tersebut berkata kulo lepat, nyuwun ngapunten. Semua orang yang duduk di meja makan akhirnya bersalam-salaman kembali sembari mengucapkan kalimat yang sama.