Mengaku Gagal Hadapi Tiktok, Mark Zuckerberg Frustasi?

Wawan Rhee
Pengajar Ilmu Komunikasi (Founder Gardapati Link)
Konten dari Pengguna
4 Januari 2023 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wawan Rhee tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mark Zuckerberg akan fokus dukung bisnis dan komunitas di tahun 2023 melalui perusahaanya, META. (sumber foto : Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mark Zuckerberg akan fokus dukung bisnis dan komunitas di tahun 2023 melalui perusahaanya, META. (sumber foto : Kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mark Zuckerberg belum mengakui kegagalannya dalam persaingan bisnis media sosial berhadapan dengan Tiktok pada Oktober 2022 lalu. Tak seperti biasanya, kerap berdialektika optimis dalam menghadapi kontestasi bisnis, sang founder META (induk Facebook, Instagram dan WhatsApp) seakan berbesar hati mengaku lalai mengantisipasi kompetitornya itu.
ADVERTISEMENT
Tiktok di mata Zuckerberg dianggap sebagai pesaing tangguh. Pesaing yang tidak menutup kemungkinan menyalip raksasa media sosial yang masih dipegang Facebook hingga saat ini. Dalam sebuah wawancara, konglomerat dunia yang bertengger di urutan 12 versi Bloomberg Billionaires Index ini mengaku jika perusahaanya lamban mengonter tren positif Tiktok.
Pernyataan Zuckerberg bisa diartikan sebagai sebuah gambaran frustasi atas berbagai pressure yang selama ini dialami oleh korporasi META. Mulai dari hantaman berbagai kasus seperti skandal Cambridge Analytica. Hingga saham yang beberapa kali terjun bebas. Atau, Zuckerberg justru sedang mempersiapkan strategi jitu menghadapi persaingan mempertahankan tahta sebagai raja media sosial yang tengah merealisasikan megaproyek Mateverse.
***
Meski pengguna aktif Facebook hampir mencapai 3 miliar pada kuartal III tahun 2022, namun konsistensi Tiktok di industri platform digital disebut menimbulkan tantangan signifikan. Efeknya, terjadi penurunan pengguna dan merosotnya harga saham lebih dari 56% yang terjadi di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Di negara asalnya, pengguna remaja Amerika Serikat terus mengalami penurunan hingga 13% sejak 2019. Pengguna aktif yang tak lagi mengaktifkan akun di Facebook menganggap platform yang didirikan 2004 lalu itu telah kehilangan daya tarik.
Dibanding Facebook dan Instagram, Tiktok yang dirintis Zhang Yiming itu menawarkan experience yang berbeda dari media sosial yang lebih dulu ada. Platform di bawah naungan ByteDance ini menawarkan produksi konten dalam mengeksplorasi apa yang menjadi kegemaran penggunanya.
Konten lebih didominasi dalam bentuk video tarian, lipsing hingga challenge yang serba fun ringan karena berdurasi pendek. Creator juga diuntungkan karena memudahkan dalam memproduksi konten. Platform didukung fitur kekinian dimana telah disematkannya musik yang bisa digunakan sebagai latar dan aneka filter serta efek. Ini yang menjadi magnet Tiktok dalam menggaet pengguna aktif yang mayoritas generasi boomers.
ADVERTISEMENT
Serupa dengan Instagram dan Youtube, Tiktok ikut berpartisipasi lahirnya pesohor-pesohor baru melalui konten yang diikuti banyak penggemar. Khaby Lame salah satunya, Tiktokers (konten kreator Tiktok yang serupa dengan selebgram dan youtuber) dengan jumlah pengikut terbanyak di dunia mencapai 143,1 juta follower.
Dalam mengantisipasi pergerakan Tiktok serta menggaet pengguna aktif, META sebenarnya telah melakukan sejumlah langkah taktis. Salah satunya dengan membenamkan fitur reels yang disematkan pada Instagram dan belakangan juga tampak hadir di Facebook.
Fitur reels Instagram yang menghadirkan video pendek dengan format portrait justru memicu persaingan kedua platform ini kian meruncing. Tiktor lantas mengolok-olok META sebagai platform yang membangun aplikasi peniru.
Tudingan Tiktok membangun aplikasi peniru sebenarnya didasarkan pada fitur yang kembangkan META pada 2018 silam. Saat itu META mengembangkan Lasso, sebuah aplikasi video pendek serupa Tiktok. Sayangnya, aplikasi tidak berkembang sesuai yang diharapkan dan terpaksa “disuntik mati”.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Algoritma
Media sosial di bawah naungan META memiliki perbedaan algoritma dengan Tiktok yang cukup jauh. Kedua korporasi teknologi ini paham akan perbedaan mendasar pada rangkaian terbatas instruksi sistem komputasi yang dimiliki. Namun output keduanya jelas adalah untuk menjadi penguasa bisnis jejaring sosial.
Secara mendasar, algoritma yang dimiliki oleh Facebook adalah social platform yang bekerja menggunakan artificial intelligence (AI). Facebook dibangun atas algoritma yang beroperasi untuk merekomendasikan informasi yang dipersonalisasi. Bisa berupa informasi berita, foto, video dan juga teks berdasarkan kegemaran, kecenderungan berpikir termasuk pandangan politik tertentu.
Algoritma Facebook diduga bekerja menarik sebanyak mungkin pengguna ke situsnya demi business growth dari sumber periklanan. Hal tersebut pernah diungkap beberapa tahun lalu oleh seorang whistleblower bernama Frances Haugen. Ia menuding Facebook tidak terbuka dalam penggunaan perangkat lunak algoritmanya.
ADVERTISEMENT
Sementara, algoritma Instagram memiliki sistem operasi yang mempolarisasi konten yang digemari penggunanya. Algoritma akan mengembangkan konten berdasarkan feed yang diakses secara berkala atau apabila feed yang dibuka secara terus menerus.
President Global Business Solutions at ByteDance, Blake Chandlee menegaskan perbedaan algoritma Tiktok. Mantan eksekutif Facebook itu mengatakan jika algoritma yang dimiliki Tiktok tidak lebih dari sebuah platform hiburan semisal YouTube. Chandlee juga menekankan jika Tiktok tidak akan merancang algoritma sosial serupa dengan Facebook.
Dapat diartikan, algoritma TikTok bekerja merekomendasikan konten dari ranking video berdasarkan selera dan akan terus disesuaikan dengan kebiasaan saat menonton video. Algoritma akan terus menyajikan konten video yang diklaim Tiktok sebagai hiburan kepada penggunanya berdasarkan apa yang pengguna gemari dan sukai.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah penelitian, Tiktok disebut menyimpan sisi gelap algoritma yang bisa mempengaruhi sistem kerja otak manusia yang menyebabkan penggunanya mengalami kecanduan hingga ketergantungan. Dr. Jessica Griffin seorang forensik klinis di USA menerangkan jika aplikasi Tiktok secara teratur, menunjukkan respons seperti kecanduan, dan beberapa subjek penelitian bahkan tidak memiliki cukup kontrol diri untuk berhenti menonton.
Jika diasumsikan, meroketnya pengguna Tiktok lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan menampilkan konten yang bisa memberikan kesenangan terhadap penggunanya sehingga disebut oleh peneliti sebagai sebuah kecanduan. Sementara, Facebook masih dianggap monoton, algoritma kerap berubah-ubah dalam waktu singkat hingga belum bisa menyajikan daya tarik baru bagi penggunanya.
Respons Terhadap Gejolak
ByteDance cukup cepat memberikan respons terhadap gejolak sosial yang disebabkan oleh produknya, Tiktok. Tahun 2018 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan alasan Kominfo memblokir aplikasi Tiktok pada 3 Juli 2018.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menilai, Tiktok banyak memuat konten-konten negatif yang bisa memberi dampak buruk kepada pengguna. Terlebih aplikasi ini juga banyak digunakan anak-anak yang sangat berbahaya untuk mengonsumsi konten tidak senonoh, mengandung unsur kekerasan dan tidak mendidik.
Berselang sehari atau tepatnya 4 Juli 2018, CEO ByteDance Kelly Zhang didampingi Senior Vice President Bytedance Technology, Zhen Liu menanggapi pemblokiran Tiktok yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia dengan langsung menemui Menkominfo Rudiantara kala itu. Di hadapan Rudiantara, ByteDance berkomitmen untuk mengubah peraturan umur pengguna menjadi minimum 16 tahun serta akan menghapus berbagai konten negatif.
Dari pertemuan itu pula, pemerintah menyatakan untuk membuka kembali blokir Tiktok. Kebijakan pemerintah dipengaruhi karena kesanggupan ByteDance untuk merancang infrastruktur guna mengawasi sekaligus menyaring berbagai bentuk konten yang beredar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Facebook sebelum berubah menjadi Meta pernah beberapa kali mendulang gejolak sosial. Gelombang protes terhadap Facebook dipicu sejak isu anti rasisme mencuat di Amerika. Peristiwa itu mengakibatkan over reaksi massa atas respons kematian George Floyd, seorang lelaki Afrika - Amerika yang meninggal pada 25 Mei 2020, setelah mendapat aksi kekerasan dari oknum polisi Minneapolis berkulit putih.
Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika, sangat menyesalkan sikap Facebook yang enggan menghapus unggahan Donald Trump. Presiden AS kala itu mengancam bakal menerapkan tindakan kekerasan kepada para pengunjuk rasa yang menuntut keadilan atas tragedi kemanusian yang menimpa George Floyd.
Akibat lambannya merespon tuntutan publik Amerika, Facebook terpaksa menerima pil pahit, dicap tidak mampu meredam ujaran kebencian. Hal itu pula yang memicu masifnya kampanye tagar #StopHateforProfit sebagai bentuk serangan terhadap Facebook dan terpaksa menerima kenyataan ditinggal 90 perusahaan yang menjadi kliennya dalam beriklan.
ADVERTISEMENT
Cara merespon gejolak sosial yang diperlihatkan oleh kedua platform ini jelas berdampak sangat besar terhadap eksistensi sebuah bisnis. Bytedance sigap dalam menyelesaikan masalah karena paham akan potensi pengguna aktif yang bersifat jangka Panjang. Sebaliknya, META seolah terjebak dalam success trap, merasa besar karena berhasil menjadi disruptor media massa konvensional.