Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah dalam Sengketa Medis

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
3 Maret 2024 9:41 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertanggungjawaban hukum Pemerintah dalam praktik layanan kesehatan dan praktik kedokteran di rumah sakit sebaiknya diaplikasikan tidak menyimpang dari Peraturan Perundang-Undangan. Tujuan Nasional Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) memperkuat pernyataan yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pelayanan kesehatan yang dimaksud mencakup pelayanan kesehatan secara perorangan yang ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga, serta pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
Tanggung jawab negara di dalam bidang kesehatan dinyatakan dengan tegas di dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, apabila timbul permasalahan sengketa medis di rumah sakit, tanggung jawab hukum Pemerintah ini tidak tersentuh dalam proses hukum. Hal ini di antaranya terlihat di dalam Putusan Pengadilan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel, Putusan Pengadilan Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI, Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Nomor 907/Pdt.G/2021/PN Mdn. Bahkan, di dalam Putusan Pengadilan Nomor 907/Pdt.G/2021/PN Mdn, Pemerintah dan kuasanya tidak pernah hadir dan tidak pernah memberikan tanggapan di dalam persidangan.
Ketidakhadiran Pemerintah dan kuasanya dalam persidangan, tidak menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim. Tanggung jawab hukum Pemerintah tidak tersentuh karena telah terjadi pelimpahan kewenangan dalam bentuk delegasi dari pemerintah kepada rumah sakit.
Terkait dengan tanggung jawab hukum Pemerintah dalam sengketa medis di rumah sakit maka tanggung jawab hukum Pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit serta tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit. Pemerintah dikategorikan melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigee Overheidsdaad) apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan baik terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Salah satu parameter untuk menyatakan bahwa Pemerintah gagal atau kurang maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan baik terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis adalah apabila terjadi lack of skill dari tenaga kesehatan dan tenaga medis pada saat melaksanakan tugas profesinya.
Tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menyatakan bahwa dokter melakukan tindakan secara lack of skill adalah berdasarkan Standar Profesi Kedokteran. HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie" menjelaskan mengenai unsur-unsur dari Standar Profesi Kedokteran yang terdiri dari:
1. Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/saksama);
2. Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis);
3. Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama);
ADVERTISEMENT
4. Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama);
5. Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medis tersebut).
Berbuat secara teliti dan saksama mengandung makna bahwa dalam melakukan setiap tindakan kedokteran maka dokter harus senantiasa mengutamakan ketelitian dan kehati-hatian. Dalam regulasi, hal ini biasa disebut dengan patient safety. Beberapa hal yang dapat menyebabkan dokter kurang teliti dan berhati-hati di antaranya adalah beban kerja yang melampaui batas (oleh karena itu, dalam penerbitan Surat Izin Praktik Dokter ada pembatasan maksimal 3 tempat praktik).
Beban kerja yang melampaui batas ini juga dapat disebabkan karena manajemen rumah sakit kurang bagus dan bijak dalam mengatur mengenai beban kerja dan jam kerja dokter sehingga terdapat dokter yang mengalami overload. Seharusnya, mekanisme pengawasan dan pembinaan Pemerintah melalui mekanisme kredensial dan Komite Etik dan Medis Rumah Sakit dapat meminimalisir risiko yang terjadi akibat hal ini.
ADVERTISEMENT
Sesuai ukuran medis, mengandung makna bahwa dokter dalam melakukan tindakan medis harus sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Ilmu pengetahuan, diperoleh dokter melalui pendidikan formal (pendidikan di perguruan tinggi) dan keikutsertaan dalam berbagai kegiatan ilmiah. Oleh karena itu ada kewajiban bagi dokter untuk memperoleh bobot SKP (Satuan Kredit Profesi) tertentu sebagai prasyarat dalam memperpanjang Surat izin Praktik.
Artinya, tidak hanya mutu pendidikan tinggi yang menjadi perhatian dan tanggung jawab Pemerintah dalam pengawasan dan pembinaan terhadap dokter, tetapi juga kinerja dari dokter dalam meng-update dan memperdalam keilmuannya melalui keikutsertaan dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama artinya adalah seorang dokter harus mempunyai kemampuan rata-rata atau average yang sama dengan dokter dari keahlian medis yang sama. Misalnya, apabila seorang dokter umum dibandingkan dengan dokter umum yang lainnya maka kemampuannya tidak berada di bawah rata-rata atau average.
ADVERTISEMENT
Demikian juga, apabila seorang dokter spesialis dibandingkan dengan dokter spesialis lainnya (tentunya pembandingnya harus berasal dari spesialisasi yang sama) maka kualitasnya tidak berada di bawah kemampuan rata-rata atau average. Apabila terjadi sengketa medis dan terbukti disebabkan karena kemampuan dokter berada di bawah rata-rata atau average maka Pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawaban karena terdapat fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah semenjak dari hulu hingga hilir proses pendidikan dokter dan saat dokter menyelenggarakan praktik kedokteran.
Situasi dan kondisi yang sama mengandung makna bahwa seorang dokter dengan kemampuan rata-rata atau average yang sama akan melakukan tindakan medis yang sama apabila dibandingkan dengan dokter lain dalam situasi dan kondisi yang sama. Misalnya, seorang dokter umum yang berdinas di daerah pedalaman Papua apabila dibandingkan dengan dokter umum lainnya yang berdinas di pedalaman Kalimantan maka kedua dokter umum tersebut akan melakukan tindakan medis yang memenuhi unsur kemampuan rata-rata atau average yang sama.
ADVERTISEMENT
Menjadi hal yang tidak fair apabila dokter umum yang berdinas di daerah pedalaman Papua dibandingkan dengan dokter umum yang berdinas di Jakarta. Tentunya, tidak tergambarkan unsur kemampuan rata-rata atau average yang sama karena adanya perbedaan situasi dan kondisi (misalnya, sarana dan prasarana, transportasi, dan sebagainya).
Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medis mengandung makna bahwa seorang dokter harus mempertimbangkan upaya yang proporsional dalam melaksanakan tindakan medisnya. Artinya, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus seimbang dengan tujuan medisnya. Tindakan medis yang berlebihan dibandingkan dengan tujuan medisnya dapat digolongkan sebagai defensive medicine.
Pemerintah juga dapat dikategorikan melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigee Overheidsdaad) apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit. Salah satu parameter untuk menyatakan bahwa Pemerintah gagal atau kurang maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit adalah apabila rumah sakit gagal dalam melaksanakan duty of care dengan baik. Selain itu, terjadinya kecelakaan medis di rumah sakit yang disebabkan karena sarana dan prasarana yang ada tidak berfungsi dengan optimal, dapat dikategorikan sebagai kegagalan Pemerintah dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dikategorikan melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigee Overheidsdaad) apabila Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit, tidak menjalankan atau tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai, “Prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
Terkait dengan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigee Overheidsdaad) yang dilakukan oleh Pemerintah, di antaranya adalah Pemerintah tidak cermat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit sehingga terjadi sengketa medis. Misalnya, kecelakaan medis yang terjadi di Rumah Sakit terjadi karena secara berkala Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap perizinan peralatan dan kalibrasi dari peralatan medis yang dipergunakan oleh rumah sakit sehingga dalam operasional peralatan tersebut menyebabkan pasien meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil analisis Putusan Pengadilan dalam periode tahun 2010-2022, pola pertanggungjawaban hukum Pemerintah dalam sengketa medis yang terjadi di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) bentuk pertanggungjawaban hukum Pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu: (1) Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah dalam Pembinaan dan Pengawasan Dokter; (2) Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah dalam Pembinaan dan Pengawasan Rumah Sakit;
2. Pembinaan dan pengawasan dokter di rumah sakit merupakan tanggung jawab hukum dari Pemerintah dan bukan sepenuhnya merupakan tanggung jawab hukum dari rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel; Putusan Pengadilan Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 907/Pdt.G/2021/PN Mdn; Putusan Pengadilan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms);
3. Audit medis dan Perizinan Rumah Sakit (di antaranya adalah Izin Pendirian Rumah Sakit, Izin Operasional Rumah Sakit) merupakan bentuk tanggung jawab hukum dari Pemerintah terkait dengan pelaksanaan fungsi Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap mutu atau kualitas rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel; Putusan Pengadilan Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST; Putusan Pengadilan Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI; Putusan Kasasi Nomor 215 K/Pdt/2014);
ADVERTISEMENT
4. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan Perizinan Dokter (di antaranya adalah Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik) merupakan bentuk tanggung jawab hukum dari Pemerintah terkait dengan pelaksanaan fungsi Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap mutu atau kualitas dokter (Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim; Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad, Putusan Pengadilan Nomor 121/G/2013/PTUN-JKT, Putusan Kasasi Nomor 494 K/TUN/2014, Putusan Peninjauan Kembali Nomor 101 PK/TUN);
5. Standar Pelayanan Medis dalam bentuk Standar Pelayanan Kedokteran bagi dokter dan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit bagi rumah sakit merupakan bentuk tanggung jawab hukum dari Pemerintah terkait dengan pelaksanaan fungsi Pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap mutu atau kualitas dokter serta rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 24/Pdt.G/2020/PN Bau; Putusan Pengadilan Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg; Putusan Kasasi Nomor 3571 K/Pdt/2015; Putusan Pengadilan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg; Putusan Pengadilan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Pengadilan Nomor 71/Pdt.G/2012/PN.JBI; Putusan Pengadilan Nomor 63/PDT/2013/PT.Jbi; Putusan Kasasi Nomor 1361 K/Pdt/2014; Putusan Peninjauan Kembali Nomor 699 PK/Pdt/2017; Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 22/Pdt.G/2021/PN Bms; Putusan Pengadilan Nomor 567/Pdt/2021/PT SMG, Putusan Pengadilan Nomor 166/G/2020/PTUN.Sby);
ADVERTISEMENT
6. Pemerintah bertanggung jawab terhadap sarana prasarana pelayanan medis dan penyelenggaraan tindakan medis di rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 24/Pdt.G/2020/PN Bau; Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2010/PT BNA; Putusan Pengadilan Nomor 18/Pdt.G/2020/PN Mre);
7. Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan dalam menguji Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terkait dengan sengketa medis yang terjadi di rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Kasasi Nomor 1001 K/Pdt/2017, Putusan Pengadilan Nomor 121/G/2013/PTUN-JKT, Putusan Kasasi Nomor 494 K/TUN/2014, Putusan Peninjauan Kembali Nomor 101 PK/TUN);
8. Seharusnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan dalam memproses pertanggungjawaban hukum Pemerintah dalam sengketa medis di rumah sakit (Putusan Pengadilan Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby; Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2010/PT BNA; Putusan Kasasi Nomor 2921 K/Pdt/2018; Putusan Nomor 24/Pdt.G/2020/PN Bau).
ADVERTISEMENT