Memaknai Hari Konsumen Nasional dalam Relasi Dokter-Pasien

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dokter sebagai pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen, ibaratnya seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi yang berbeda dan berlawanan arah. Meskipun berbeda dan berlawanan arah, tetapi keberadaan dokter sebagai pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan serta melekat erat dalam hubungan yang diatur oleh Hukum Perlindungan Konsumen.
ADVERTISEMENT
Hari Konsumen Nasional diperingati setiap tanggal 20 April. Adapun tema hari Konsumen Nasional tahun ini adalah, “Konsumen Kritis Cerdas Bertransaksi”. Terkait dengan hubungan antara dokter dan pasien, ada beberapa hal yang memerlukan perhatian apabila dihubungkan dengan tema tersebut. Pertama, apakah dokter merupakan pelaku usaha? Kedua, apakah pasien merupakan konsumen? Ketiga, apakah hubungan dokter-pasien merupakan hubungan hukum yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, penulis akan menelusuri definisi dari pelaku usaha sebagaimana yang diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
Pertama, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. (Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN No. 22 Tahun 1999 No. TLN No. 3821, Pasal 1 (3)). Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. (Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN No. 22 Tahun 1999 No. TLN No. 3821, Penjelasan Pasal 1 (3));
ADVERTISEMENT
Kedua, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. (Peraturan Pemerintah Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 1 (3));
Ketiga, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. (Undang-Undang Tentang Larangan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999 No. TLN No. 3817, Pasal 1 (5)).
ADVERTISEMENT
Pelaku usaha dalam hukum merujuk pada individu atau entitas yang terlibat dalam kegiatan bisnis atau perdagangan. Mereka adalah person atau badan hukum yang menjalankan usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam hukum, pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban tertentu yang harus mereka penuhi.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 13 disebutkan bahwa seorang pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Dari rumusan pasal ini dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan jasa yang tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, pada saat seorang dokter memberikan jasa pelayanan kesehatan, dan menerima pembayaran untuk jasa yang diberikannya tersebut, seorang dokter dapat disebut sebagai pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
Dokter sebagai pelaku usaha, dalam menjalankan kegiatan usahanya harus selalu mengutamakan mutu pelayanan medis. Mutu pelayanan medis, parameternya adalah standar (baik standar pelayanan medis, standar profesi, dan standar operasional prosedur) dan kebutuhan medis pasien. Dokter harus memperhatikan mutu pelayanan medis, kebutuhan medis pasien dan patient safety dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya.
Untuk menjawab pertanyaan kedua maka penulis akan menelusuri definisi dari konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan:
Pertama, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN No. 22 Tahun 1999 No. TLN No. 3821, Pasal 1 (2)). Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian Konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir. (Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN No. 22 Tahun 1999 No. TLN No. 3821, Penjelasan Pasal 1 (2));
ADVERTISEMENT
Kedua, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Peraturan Pemerintah Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 1 (2));
Ketiga, konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa sesuai kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. (Undang-Undang Tentang Larangan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999 No. TLN No. 3817, Pasal 1 (15));
Jadi, “konsumen” yang dimaksud di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Penjelasan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian Konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
ADVERTISEMENT
Pasien merupakan konsumen akhir sehingga definisi mengenai konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selaras dengan definisi mengenai pasien. Pasien sebagai konsumen berbeda dengan konsumen pada umumnya. Beberapa hak pasien sebagai konsumen berbeda dengan hak konsumen lainnya. Salah satu hak konsumen adalah hak untuk memilih jasa, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasien sebagai konsumen juga berhak untuk memilih akses terhadap pelayanan kesehatan (termasuk juga berhak untuk memilih dokter). Namun, hak ini tentunya tidak berlaku mutlak. Hak untuk memilih pelayanan kesehatan akan terhapus bagi: pasien yang kondisinya gawat darurat (emergency) sehingga memerlukan tindakan medis yang sifatnya cito dan tidak dapat ditunda lagi; pasien yang mengikuti Program Jaminan Kesehatan Nasional yang harus mengikuti mekanisme rujukan pada saat mengakses pelayanan kesehatan; pasien yang mengikuti asuransi kesehatan swasta yang harus mematuhi ketentuan (polis) dari perusahaan asuransi; pasien yang berada di wilayah dengan sarana prasarana kesehatan serba terbatas; dan pasien dengan keterbatasan kondisi finansial (keuangan). Pasien yang harus mengikuti mekanisme rujukan berdasarkan pertimbangan dari dokter serta Rumah Sakit, juga tidak sepenuhnya dapat mempergunakan haknya untuk memilih pelayanan kesehatan karena pertimbangan kondisi kesehatan dan ketersediaan layanan yang memenuhi standar sesuai dengan kebutuhan pasien lebih diutamakan agar kondisi pemulihan kesehatannya dapat segera terwujud.
ADVERTISEMENT
Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 4 (3) jo Pasal 7 (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan ini tidak dapat berlaku mutlak bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie" menjelaskan bahwa terdapat 4 (empat) kelompok pasien yang tidak memerlukan informasi yaitu, jika terapi menghendaki demikian (terapi palsebo atau suggestive terapeuticum), jika merugikan pasien, jika pasien sakit jiwa, dan jika pasien belum dewasa. Terapi plasebo merupakan bentuk perawatan yang terlihat seperti terapi medis asli, tetapi sebenarnya tidak menggunakan bahan aktif yang terbukti mengobati penyakit tersebut. Adakalanya, pasien datang kepada dokter dengan berbagai keluhan, misalnya badannya merasa demam, kepalanya merasa sakit, merasa tensinya tinggi, gangguan tidur dan sebagainya. Namun, setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kondisinya normal. Pasien sakit hanya karena perasaan dari pasien tersebut (psikhis). Dalam kondisi seperti ini, maka dokter akan melakukan terapi plasebo dan seringkali dokter memerankan sosok sebagai psikolog. Pasien diberikan obat, dan anjuran pemakaiannya. Padahal, obat tersebut adalah obat plasebo yang tidak mengandung zat aktif dan tidak berpengaruh terhadap kesehatan (seringkali disebut dengan obat kosong). Terapi plasebo bisa berupa pil, suntikan, atau jenis perawatan lainnya. Terdapat sekelompok pasien yang dikecualikan dari hak atas informasi karena pemberian informasi tersebut justru akan merugikan pasien (membuat kondisi kesehatan pasien semakin menurun). Biasanya, pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah pasien dengan kondisi stadium terminal (misalnya; penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS dengan kondisi stadium terminal). Pasien dalam kondisi ini (stadium terminal) memerlukan perawatan khusus, yang disebut dengan perawatan paliatif sebagaimana yang diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif. Bagi pasien sakit jiwa yang terkadang masih memungkinkan untuk berkomunikasi maka informasi dapat disampaikan langsung kepada pasien tersebut pada saat kondisinya memungkinkan. Namun, bagi pasien sakit jiwa yang sama sekali tidak memungkinkan untuk berkomunikasi maka informasi dapat disampaikan kepada pengampunya. Demikian juga bagi pasien yang belum dewasa maka informasi dapat disampaikan kepada orang tua atau wali dari pasien tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa pelayanan kesehatan yang telah dipergunakannya. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tentunya, penyampaian pendapat dan keluhan tersebut harus melalui mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan (biasanya diatur di dalam peraturan internal rumah sakit dan disosialisasikan kepada pasien dalam bentuk standing banner atau poster). Apabila pasien atau keluarga terdekat pasien menginformasikan kondisi kesehatan pasien (termasuk pendapat dan keluhan) melalui media massa maka akan menimbulkan 2 (dua) buah konsekuensi. Yang pertama adalah, pasien dianggap telah melepaskan hak atas rahasia kedokterannya kepada umum. Yang kedua adalah, tenaga kesehatan (termasuk tenaga medis) dan/atau fasillitas pelayanan kesehatan diperkenankan untuk membuka dan/atau mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab.
ADVERTISEMENT
Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantiannya. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 (8) jo Pasal 7 (f) (g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mempertegas pengaturan mengenai ganti rugi dengan menyatakan bahwa pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Ketentuan tersebut (mekanisme dan tenggang waktu ganti kerugian) dalam penerapannya di bidang kesehatan tentunya memerlukan penafsiran dan pemahaman tersendiri (berbeda dengan bidang lainnya) karena 3 (tiga) hal sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Yang pertama adalah hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang bersifat inspanningsverbintennis (perikatan yang prestasinya berupa usaha maksimal) dan bukanlah hubungan hukum yang bersifat resultaatsverbintennis (perikatan yang prestasinya adalah hasil). Seorang dokter dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin dan bekerja sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran serta tidak dapat dituntut untuk memberikan hasil sesuai dengan keinginan pasien. Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie" menjelaskan bahwa unsur dari Standar Profesi Kedokteran meliputi: Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama); Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis); Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama); Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama); Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut). Oleh karena itu, penerapan ganti kerugian dalam perikatan yang berbentuk inspanningsverbintennis, tentunya berbeda dengan perikatan yang berbentuk resultaatsverbintennis karena titik berat dari perikatan inspanningsverbintennis bukanlah hasil, tetapi upaya maksimal sesuai dengan standar keilmuaan, pengalaman dalam bidang medis dan kebutuhan medis pasien.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang berkarakter spesifik. Seorang dokter yang berhadapan dengan 2 orang pasien dengan gejala yang sama yaitu demam, belum tentu akan memberikan terapi dan obat yang sama karena masing-masing individu mempunyai sifat yang spesifik. Oleh karena itu, jangka waktu ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 19 (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) sulit untuk diimplementasikan karena adanya kondisi spesifik yang berbeda-beda untuk setiap individu.
Yang ketiga, kegagalan dalam tindakan medis tidak semata-mata disebabkan karena malpraktik medis (dokter bekerja tidak sesuai atau menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran). Namun, kegagalan tersebut dapat juga disebabkan karena berbagai faktor, di antaranya adalah resiko medis (misalnya: anaphylactic shock, steven johnson syndrome), kecelakaan medis (misalnya: sarana prasarana medis tidak berfungsi dengan baik sesuai standar); atau contributory negligence dari pasien (adanya kontribusi kesalahan pasien sehingga menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis).
ADVERTISEMENT
Pasal 5 (a) (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan kepada konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian jasa. Dalam bidang kesehatan, kelalaian terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai contributory of negligence dari pasien. Susan O’Neal di dalam tulisannya yang berjudul “Contributory Negligence in Medical Malpractice: Recent Application in The Context of The Suicidal Patient,” yang dipublikasikan oleh Mississippi Law Journal pada tahun 1999, menjelaskan mengenai 3 (tiga) bentuk contributory negligence yang berpotensi dilakukan oleh pasien, yaitu: A patient’s refusal to follow a physician’s instructions (pasien menolak untuk mengikuti petunjuk dokter); A patient’s failure to return for follow up (pasien lalai untuk kembali melakukan pemeriksaan lanjutan yang telah dijadwalkan atau pasien lalai untuk melakukan kontrol secara rutin sesuai dengan jadwal kepada dokter); A patient’s failure to convey accurate information to the physician (pasien lalai untuk menyampaikan informasi yang akurat kepada dokter).
ADVERTISEMENT
Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut membuktikan bahwa pasien merupakan konsumen yang unik, berbeda dengan mayoritas konsumen lainnya. Sebagai konsumen yang unik, pasien mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri.
Dokter merupakan pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 (3). Sedangkan pasien merupakan konsumen sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 (2). Hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen sehingga baik subjek hukum, objek hukum maupun hubungan hukumnya termasuk materi muatan yang diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Objek hukum dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah kegiatan usaha. Dalam hal ini, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kegiatan usaha ini dimaknai sebagai kegiatan usaha yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam implementasinya, kegiatan usaha yang mempunyai nilai ekonomis adalah penjualan barang dan/atau jasa. Jadi, tindakan kedokteran termasuk juga ke dalam penjualan barang dan/atau jasa.
ADVERTISEMENT
Sumber Foto: https://pixabay.com/id/photos/search/dokter%20pasien/