Informed Consent Sebagai Pondasi Tindakan Medis

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
28 Maret 2024 17:37 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu hamil periksa ke dokter kandungan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ibu hamil periksa ke dokter kandungan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tindakan medis merupakan perikatan yang bersifat inspanningsverbintennis, yaitu perikatan yang prestasinya berupa upaya maksimal, dan bukan menjanjikan hasil. Meskipun tindakan medis tidak menjanjikan hasil, tetapi tindakan medis harus berdasarkan Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur-SOP), sesuai dengan keilmuan maupun pengalaman dalam bidang medis untuk mewujudkan upaya maksimal tersebut. Sengketa medis yang terjadi mayoritas disebabkan karena penyampaian informasi yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dari dokter kepada pasien.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang kesehatan, khususnya dalam tindakan medis, informasi ini dikenal dengan informed consent dan secara khusus diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam beberapa putusan pengadilan terkait dengan sengketa medis, pasien atau keluarga pasien merasa belum mendapatkan informasi atau informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan peraturan tersebut, seharusnya informasi yang disampaikan kepada pasien dan/atau keluarga pasien meliputi: diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; dan perkiraan pembiayaan.
Lebih lanjut, peraturan tersebut menjelaskan bahwa penjelasan tentang diagnosis meliputi: Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding; Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi: Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif; Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi; Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan; Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan; Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali: risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum; risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan; risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya unforeseeable. Penjelasan tentang prognosis meliputi: Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); Prognosis tentang fungsinya (ad fuctionam); Prognosis tentang fungsinya (ad sanationam).
ADVERTISEMENT
Mayoritas sengketa medis terjadi karena informed consent tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa kemungkinan yang sering terjadi adalah dokter dan/atau Rumah Sakit telah menyampaikan informasi tetapi pasien dan/atau keluarga pasien tidak peduli dengan informasi tersebut. Kemungkinan lainnya, dokter dan/atau Rumah Sakit menyampaikan informasi dalam bahasa yang tidak dipahami oleh pasien dan/atau keluarga pasien.
Namun, akhirnya pasien dan/atau keluarga pasien memberikan persetujuan (consent) meskipun tidak paham dengan informasi yang telah diterima. Pada umumnya, kendala yang sering terjadi adalah bersifat miskomunikasi antara dokter dengan pasien dan/atau keluarganya serta masih kuatnya pandangan dari pihak pasien dan/atau keluarga pasien mengenai hubungan yang bersifat resultaatsverbintennis.
Padahal, seharusnya pola hubungan antara dokter dan pasien adalah inspanningsverbintennis dan bukan merupakan resultaatsverbintennis. Implikasinya, pasien dan/atau keluarganya mengabaikan informasi yang disampaikan oleh dokter dan/atau Rumah Sakit dan hanya fokus kepada hasil dari tindakan medis, dimana menurut persepsi pasien dan/atau keluarganya merupakan keharusan dari dokter dan/atau Rumah Sakit untuk menyembuhkan pasien.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg jo Putusan Pengadilan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG, penggugat sebagai orang tua pasien menyatakan bahwa dalam mengambil tindakan medis dalam rangka merawat pasien (pasiennya adalah pasien anak), dokter tidak memberi penjelasan kepada penggugat selaku orang tua pasien mengenai efek dan dampak tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
Oleh karena itu, penggugat menggolongkan tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Dokter telah melanggar kewajibannya untuk memberikan penjelasan atas tindakan medis yang akan diambil terhadap pasien. Dokter melanggar asas informed consent dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
Namun, Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan Rumah Sakit sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan Medis. Hal ini diperkuat dengan hasil Audit Medis yang telah dilaksanakan oleh Komite Medis Rumah Sakit. Dokter dan Rumah Sakit tidak terbukti telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam hal ini, Rumah Sakit tidak dapat digugat berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit karena tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan Rumah Sakit bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Demikian juga dalam Putusan Kasasi Nomor 2811 K/Pdt/2012, pasien menyatakan bahwa dokter tidak memberikan informasi mengenai adanya risiko medis dalam tindakan medis. Selain itu, pasien juga mendalilkan bahwa dirinya menjadi lumpuh akibat injeksi cement yang telah dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan pasien. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa telah ada persetujuan pasien yang dituangkan dalam informed consent. Miskomunikasi terjadi karena pasien merasa tidak memperoleh informasi pada saat prosedur penerapan informed consent.
ADVERTISEMENT
Miskomunikasi dapat juga terjadi pada saat pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan penjelasan yang memadai terkait dengan risiko medis sebelum dilakukannya tindakan medis. Penjelasan mengenai risiko medis adalah hal yang paling krusial dalam penerapan informed consent. Dokter dan/atau Rumah Sakit harus berhati-hati dan proporsional dalam menjelaskan mengenai risiko medis.
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI, Konsil Kedokteran Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor 19/KKI/KEP/VI/2013 tanggal 26 Juni 2013 Tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia telah mencabut Surat Tanda Registrasi Dokter. Salah satu pertimbangannya adalah dokter tidak memberikan penjelasan tentang risiko medis dari tindakan Operasi Caesar untuk yang keempat kalinya kepada pasien beserta keluarganya (khususnya adalah suami dari pasien).
ADVERTISEMENT
Pada saat pasien hamil dan melahirkan anak ketiga, pasien menanyakan perihal risiko medis terkait dengan Operasi Caesar yang keempat kepada Dokter. Dokter menyatakan bahwa tindakan Operasi Caesar yang keempat terhadap diri pasien tidak berisiko. Pasien kemudian hamil dan dilakukan Operasi Caesar yang keempat terhadap dirinya. Terjadi kegawatdaruratan dan pasien meninggal dunia.
Informed consent menjadi suatu hal yang riskan apabila pasien dalam kondisi gawat darurat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam kondisi gawat darurat, hal yang pertama dan utama harus dilakukan adalah tindakan medis untuk mengatasi kegawatdaruratan pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, barulah pasien atau keluarganya diberikan informasi atau dilakukan prosedur informed consent. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 (1) menyatakan bahwa, “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.”
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pemberian informed consent dalam kondisi darurat dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 (3) yang menyatakan bahwa, “Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.”
Namun, dalam praktiknya, penerapan informed consent dalam kondisi darurat dapat menimbulkan perselisihan antara dokter dan Rumah Sakit dengan pihak pasien serta keluarga pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST jo Putusan Pengadilan Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI jo Putusan Kasasi Nomor 215 K/Pdt/2014, pasien yang sedang ditangani oleh dokter dan Rumah Sakit sedang berada dalam kondisi gawat darurat. Namun, keluarga pasien (orang tua pasien) tidak bersedia untuk menandatangani informed consent.
ADVERTISEMENT
Penggugat yaitu orang tua pasien meminta agar dilakukan tindakan medis yang terbaik oleh dokter dan Rumah Sakit terhadap pasien. Tetapi, penggugat tidak bersedia untuk menandatangani berkas apa pun (termasuk juga informed consent) terkait dengan tindakan medis yang akan dilakukan oleh Rumah Sakit dan dokter.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa ketiadaan consent secara tertulis dari pasien atau keluarga pasien bukan merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Selain itu, kondisi pasien adalah darurat (emergency) dan tindakan medis bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dalam putusannya, Majelis Hakim menolak gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
Penerapan informed consent dalam kondisi gawat darurat dan menimbulkan sengketa medis antara dokter dan Rumah Sakit dengan pasien, juga terdapat di dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt. Dalam putusan ini, penggugat (pasien) mendalilkan bahwa telah dilakukan pengangkatan 2 (dua) indung telur (ovarium) dan usus umbai cacing (usus buntu) tanpa informed consent.
ADVERTISEMENT
Consent atau persetujuan pasien hanya terhadap pengangkatan kista. Pasien menyatakan bahwa informasi pengangkatan 2 (dua) indung telur (ovarium) dan usus umbai cacing (usus buntu) baru disampaikan kepada pasien, pada saat pasien menyelesaikan pembayaran sebelum pasien meninggalkan Rumah Sakit. Dalam kasus ini, dokter dan Rumah Sakit menyatakan bahwa informed consent telah diberikan secara lengkap dan jelas kepada pasien dan pengantar pasien.
Tindakan medis yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi kondisi darurat. Dokter melakukan tindakan perluasan operasi terhadap pasien karena adanya kondisi darurat karena kanker telah menyebar dan mengenai 2 (dua) indung telur (ovarium) pasien. Dokter melakukan tindakan perluasan operasi dengan tujuan untuk life saving, yaitu untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Demikian juga dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng, penggugat (suami pasien) menyatakan bahwa dirinya menolak untuk memberikan persetujuan tindakan Operasi Caesar terhadap pasien (istrinya), karena menurutnya, kondisi pasien tidak sedang dalam kondisi darurat.
ADVERTISEMENT
Hal ini ditolak oleh pihak Rumah Sakit yang menyatakan bahwa kondisi pasien adalah darurat dan tindakan Operasi Caesar dilakukan oleh pihak Rumah Sakit serta dokter untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving). Pihak Rumah Sakit juga menyatakan bahwa pasien telah mendapatkan informasi yang memadai mengenai tindakan anestesi dan Operasi Caesar yang dilakukan dalam kondisi darurat tersebut.
Informed consent, kadang juga ditindaklanjuti oleh pasien atau keluarga pasien dengan penolakan tindakan medis (informed refusal). Dalam Putusan Pengadilan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt, pasien memberikan informed refusal setelah diberikan informasi oleh pihak Rumah Sakit dan dokter mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Dalam kasus ini, pasien datang ke Rumah Sakit dalam kondisi katarak congenital/kedua matanya tidak dapat melihat dan menolak untuk dilakukan operasi.
ADVERTISEMENT
Informed consent merupakan pondasi tindakan medis. Namun, pondasi ini menjadi rapuh apabila pasien dan/atau keluarga pasien tidak jujur terhadap dokter dan Rumah Sakit terkait dengan kondisi kesehatan pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 47/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Ut, ada pemberian informasi yang tidak jujur dari pengantar pasien kepada pihak dokter dan Rumah Sakit bahwa kondisi pasien adalah positif HIV.
Pengantar pasien menyembunyikan informasi mengenai kondisi pasien yang positif HIV. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim, meninggalnya pasien disebabkan karena komplikasi berbagai penyakit sebelumnya dan pasien tidak jujur mengenai kondisi tersebut (komplikasi berbagai penyakit sebelumnya). Pasien beserta keluarganya menutupi informasi tersebut.
Dalam rangka mengatasi kondisi darurat terhadap pasien, pihak Rumah Sakit dan dokter melakukan tindakan perluasan operasi. Pada dasarnya, di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, perluasan operasi diperkenankan apabila ada kondisi darurat dan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving).
ADVERTISEMENT
Pemberian informasi diperkenankan setelah dilakukan tindakan perluasan operasi, di saat kondisi pasien telah stabil. Namun, dalam praktiknya, hal ini beberapa kali menimbulkan permasalahan atau perselisihan antara dokter dan Rumah Sakit dengan pasien dan/atau keluarga pasien.
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn jo Putusan Pengadilan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY, penggugat (pasien) memperoleh informasi bahwa rahimnya telah diangkat setelah dilakukan tindakan operasi myoma uteri pro op. Menurut pasien, hal ini sangat merugikan karena akibat dari tindakan pengangkatan rahim, pasien tidak akan memperoleh keturunan.
Pasien menyatakan bahwa dokter dan Rumah Sakit tidak pernah memberikan penjelasan terkait dengan tindakan medis tersebut (informed consent). Namun, pihak dokter dan Rumah Sakit menyatakan bahwa informed consent telah diberikan kepada pasien dan keluarganya (khususnya adalah suami dari pasien).
ADVERTISEMENT
Tindakan pengangkatan rahim merupakan salah satu bentuk dari tindakan perluasan operasi yang dilakukan oleh dokter. Tindakan pengangkatan rahim dilakukan oleh dokter dengan pertimbangan bahwa kondisi pasien darurat dan usia pasien sudah hampir 50 (lima puluh) tahun (menopause).
Menurut dokter, tindakan pengangkatan rahim sebagai bentuk dari tindakan perluasan operasi yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving). Dalam putusannya, Majelis Hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Penggugat mendalilkan bahwa dokter dan Rumah Sakit telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
Pertimbangan Majelis Hakim adalah, pasien datang ke Rumah Sakit dalam kondisi darurat dan diperlukan operasi pengangkatan rahim (Total Abdominal Histertomi- Bilateral Salpingo Oovarectomy). Dokter dalam melakukan tindakan medis tersebut (pengangkatan rahim) telah sesuai dengan Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur - SOP) dan telah melaksanakan informed consent.
ADVERTISEMENT
Tindakan medis selain bersifat inspanningsverbintennis, juga bersifat unpredictable (tidak dapat diprediksi). Dalam beberapa tindakan medis, dilakukan tindakan perluasan operasi dengan tujuan untuk mengatasi kondisi darurat dan untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving). Perluasan operasi berpotensi menimbulkan perselisihan atau sengketa medis antara pihak pasien dan/atau keluarga pasien dengan pihak dokter dan Rumah Sakit.
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt, penggugat (pasien) mempermasalahkan tindakan medis yang berupa pengangkatan 2 (dua) indung telur (ovarium) dan usus umbai cacing (usus buntu) tanpa informed consent. Sebelum tindakan operasi, informed consent hanya meliputi tindakan pengangkatan kista.
Pasien mempermasalahkan informasi pengangkatan 2 (dua) indung telur (ovarium) yang baru disampaikan kepada pasien saat pasien menyelesaikan pembayaran untuk meninggalkan Rumah Sakit. Dalam kasus ini, dokter dan Rumah Sakit menyatakan bahwa informed consent telah diberikan secara lengkap dan kondisi pasien pada saat itu adalah darurat.
ADVERTISEMENT
Informed consent atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Persetujuan Tindakan Medis merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter dan/atau pihak Rumah Sakit mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.
Informed consent merupakan salah satu wujud pengakuan terhadap hak dasar manusia dalam bidang kesehatan, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini, pasien memberikan persetujuan setelah diberikan informasi yang memadai. Namun, adakalanya, pasien memberikan penolakan (informed refusal) terhadap tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah pasien tersebut memperroleh informasi dari dokter dan/atau Rumah Sakit.
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad, penggugat (pasien) menolak tindakan medis yang disarankan oleh dokter dan Rumah Sakit. Dokter mendiagnosis adanya kebocoran pada sambungan usus sejak hari kelima pasca operasi, tetapi pasien menolak dilakukan colostomy meskipun Dokter telah memberikan penjelasan secara proporsional. Pasien melakukan informed refusal terhadap tindakan medis yang disarankan oleh dokter.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst, pasien sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit lain. Pada saat dirawat di Rumah Sakit tersebut, pasien disarankan untuk dilakukan tindakan medis yang berupa operasi. Namun, pasien menolak (informed refusal) terhadap usulan tindakan medis dari dokter dan Rumah Sakit.
Kemudian, pasien pulang dan meninggalkan Rumah Sakit setelah kondisinya dinyatakan relatif stabil. Setelah sekian lama kemudian, kondisi pasien drop dan pasien dibawa kembali ke Rumah Sakit. Usia pasien sudah lebih dari 76 (tujuh puluh enam) tahun. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dokter dalam melakukan tindakan medis sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan gugatan ditolak.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa keadaan pasien sebelum dirawat di Rumah Sakit, kondisinya sudah sakit-sakitan, ada gangguan fungsi keluar karena telah lanjut usia dan hasil CT Scan ada pendarahan subdural kiri serta kanan yang biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Selain itu, pasien pernah melakukan informed refusal terhadap tindakan medis yang sebelumnya pernah disarankan oleh dokter dan Rumah Sakit, yaitu operasi.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt, pasien datang ke Rumah Sakit dalam kondisi katarak congenital/kedua matanya tidak dapat melihat. Pasien menolak (informed refusal) tindakan medis yang disarankan oleh dokter dan Rumah Sakit yaitu operasi mata. Selain itu, pasien juga tidak mematuhi nasihat yang diberikan oleh dokter, yaitu agar pasien melakukan kontrol medis setelah dilakukan tindakan medis.
Informed refusal merupakan implementasi dari salah satu hak dasar manusia dalam bidang kesehatan, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng, penggugat (suami pasien) melakukan penolakan terhadap tindakan medis yang disarankan oleh dokter dan Rumah Sakit. Penggugat menolak (informed refusal) untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan medis yang berupa Operasi Caesar.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan penggugat melakukan penolakan adalah karena menurutnya, kondisi pasien (istrinya) tidak dalam keadaan darurat. Namun, dalam hal ini, dokter dan Rumah Sakit mengabaikan informed refusal yang telah diberikan oleh penggugat. Dokter dan Rumah Sakit tetap melakukan tindakan kegawatdaruratan untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving), yaitu dengan melakukan tindakan Operasi Caesar dan melaksanakan prosedur anestesi spinal sebelum dilakukan tindakan Operasi Caesar.
Informed consent terhadap tindakan anastesi dan Operasi Caesar dilakukan oleh pihak Rumah Sakit dan dokter, setelah kondisi pasien stabil serta kondisi kegawatdaruratan pasien teratasi. Dalam hal ini, dokter dan Rumah Sakit mengabaikan informed refusal dan mengutamakan life saving terhadap pasien.
Informed consent dan informed refusal ibaratnya seperti sekeping mata uang yang mempunyai 2 (dua) sisi yang berbeda. Persamaannya, baik informed consent maupun informed refusal merupakan implementasi dari hak dasar manusia dalam bidang kesehatan, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri.
ADVERTISEMENT
Implementasi lainnya dari hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak pasien atas second opinion. Artinya, dalam hal ini, apabila pasien tidak yakin dengan tindakan medis yang akan ditempuhnya, pasien berhak untuk melakukan second opinion kepada dokter dan/atau Rumah Sakit lainnya.