Haruskah Penjahat Menjadi Pahlawan?

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
16 September 2021 20:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Melihat fenomena selebritas pelaku kejahatan di negeri ini. Korupsi, pelecehan seksual, pembunuhan, pemerkosaan, perundungan, penggelapan pajak dan lain-lain. Sorot mata kamera menyaksikan, bagaimana fasilitas kenikmatan serta pemotongan masa tahanan terpapar di seluruh media. Sebutlah beberapa kasus korupsi, seperti kasus Jaksa Pinangki, Setya Novanto, Djoko Tjandra, dan sederet lainnya.
ADVERTISEMENT
Terbaru, kasus penyanyi kondang, Saiful Jamil. Artis tersebut dihukum karena melakukan pedofilia terhadap anak di bawah umur. Dan, dalam proses peradilan ia juga terbukti melakukan penyuapan aparat, artinya selain predator juga pelaku tindak korupsi.
Penjemputan meriah oleh penggemarnya pasca bebas bak pahlawan pulang dari medan pertempuran.
Rasanya negeri ini sedang mengalami surplus kebaikan. Lah, kok bisa?
Seluruh keburukan terbiaskan oleh berita-berita yang seolah menguntungkan sang pesakitan.
Perampasan uang rakyat, penyuapan petugas, remisi tahanan, hingga putusan masa tahanan yang terkesan berat sebelah. Ibarat tontonan sehari-hari. Pendek kata, dari awal sampai akhir para pelaku kejahatan "berduit tebal" menikmati hukuman dengan berbagai kemudahan dan fasilitas kenikmatan.
Bergidik bulu kuduk melihat kondisi ini. Syaraf kemaluan telah sirna. Senyum simpul dan lambaian tangan gemulai sang pesakitan bak sinetron kejar tayang di layar TV.
ADVERTISEMENT
Seorang anak bahkan dengan lantang menceritakan aib ibunya ke media masa, dan tega menjebloskan ke penjara. Alih-alih membahagiakan orang tua yang tak berdaya, sepetak rumah yang ditinggali si ibu pun dirampasnya.
Prihatin melihat ini semua. Anak-anak kita yang sedang menjalani daring dicekoki dengan berita-berita seperti itu. Aku sendiri lebih sering mematikan TV ketimbang harus mengorbankan psikologis anak-anak.
Efek jera hanyalah jargon saja. Tidak tampak raut penyesalan terpancar dari wajah sang penjahat. Kebebasan artis Saiful Jamil, seolah menciptakan peluang bisnis melalui infotainment. Dengan dalih, ada hikmah dari kejahatan yang dialami untuk diambil pelajaran oleh publik. Sang artis sebagai simbol keburukan agar masyarakat paham dan tidak melakukannya.
Mari kita perhatikan definisi Pahlawan.
ADVERTISEMENT
Salah satu penggalan pengertian pahlawan menurut KBBI, adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Istilah membela kebenaran terkesan sumir. Tetapi kebenaran ini memang selalu diperjuangkan oleh para tersangka guna membuktikan bahwa mereka tidak bersalah, minimal mengurangi bobot kesalahannya.
Nah, seandainya para koruptor tersebut dianggap pahlawan?
Awal tulisan di atas, disampaikan bahwa negeri kita surplus kebaikan. Jelas satire, sehari-hari kita menyaksikan praktik kejahatan, dan nyaris menuju kebiasaan (habit). Karena habit, keburukan menyublim kebaikan, sehingga kita mengalami surplus kebaikan.
Politik demokrasi memberikan ruang luas kepada mayoritas, sekalipun minoritas tetap memiliki kans. Sehingga sublimasi baik-buruk menjadi sangat lazim.
Nah, kalau kepahlawanan selama ini kita imajinasikan dengan kebaikan, saya khawatir kebaikannya menjadi bias. Untuk itu, dalam konteks gelar kepahlawanan, perlu adanya trade-off kejahatan dan kebajikan.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami keburukan dan kejahatan yang telah dilakukan, diharapkan masyarakat semakin paham untuk selalu merawat kebaikan. Cita-cita Pendiri Republik untuk menjadikan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur keniscayaan untuk diwujudkan. Tujuan berbangsa dan bernegara ideal yang sering didengungkan oleh para ulama dan umara.
Penanganan kejahatan negeri ini terkesan baik-baik saja. Kebijakan yang dihasilkan dari spirit kepahlawanan semakin meluntur seiring praktik-praktik kejahatan yang semakin terlindungi. Paradoks.
Dilansir dari tempo.co, “Pada tahun 2011, pengadilan di Den Haag juga memutuskan bahwa para janda di Rawagede di Jawa harus diberi kompensasi atas kerusakan yang diderita oleh eksekusi selama perang kemerdekaan. Pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban kejahatan perang selama revolusi kemerdekaan Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Semestinya kita sepakat, bahwa Belanda penjahat perang dan musuh terbesar bangsa kita. Bangsa-bangsa di dunia pun akan mengecam segala bentuk imperialisme terhadap negara lain. Atas nama kemanusiaan, keputusan pengadilan Den Haag membenarkan praktik penyiksaan tentara Belanda terhadap rakyat kita. Secara etis, pemberian kompensasi adalah ksatria mengakui kesalahan, atau pahlawan kejahatan. Meskipun implikasinya Belanda harus dikucilkan bertahun-tahun oleh bangsa lain.
Pemahaman tersebut, dapat ditarik kesimpulan pahlawan adalah penyebar kebaikan, namun di sisi lain juga sebagai contoh keburukan. Kebaikan dan keburukan merupakan sebuah fakultas yang berada pada diri manusia. Dengan akal sehat yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia, dan sisanya terpulang kepada diri kita masing-masing.
Sebuah perenungan dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan kesimpulan sementara menuju kehakikian.
ADVERTISEMENT
Sekian, salam sehat, dan jangan lupa bahagia.
*Penulis, Master Marine dari PIP Semarang
Kejahatan & Kepahlawanan (Foto by Pexels)