Fikih Peradaban: Dari Indonesia untuk Peradaban Dunia

Wahyu Nugroho
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konten dari Pengguna
29 April 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kitab turaṡ (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kitab turaṡ (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam momentum satu abad Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar acara Halakah Fikih Peradaban yang diselenggarakan di 250 titik. Dapat dikatakan, Halakah Fikih Peradaban merupakan pemecah kejumudan pembahasan fikih yang ada dalam masyarakat selama ini.
ADVERTISEMENT
Fikih peradaban yang menjadi topik utama dalam halakah tersebut membawa angin segar dalam pemahaman fikih yang telah lama terkurung dalam orientasi fikih klasik. Kondisi yang demikian tentu membuat paradigma fikih yang berkembang dalam masyarakat cenderung bernuansa mażhabī (ideologis) dan dipahami secara saklek (taqlīd buta).
Bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur), paradigma fikih yang berkembang di masyarakat selama ini bersifat legalis-stagnan-final, sehingga menghendaki fikih hanya sekadar simbolisme formalistik dalam beribadah. Lebih lanjut, Masdar Farid Mas’udi mengatakan bahwa kondisi ini terjadi karena tidak adanya pemahaman dan penggalian lebih lanjut mengenai alasan penetapan suatu hukum dan siapa saja yang memiliki kepentingan di dalamnya (Nasruddin, 2022: 7). Padahal, fikih itu sendiri merupakan produk ijtihād yang dapat mengalami dinamisasi, dan produk-produk hukum di dalamnya seharusnya mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat secara universal.
ADVERTISEMENT
Apa Itu Fikih Peradaban?
Fikih peradaban secara umum didefinisikan sebagai sebuah pemahaman hukum Islam terhadap peradaban yang didialogkan dengan naṣṣ syara’ (Al-Quran dan sunnah) untuk menjawab problematika peradaban secara aktual dan solutif. Dalam hal ini, fikih peradaban menghendaki kontekstualisasi fikih dengan kenyataan masyarakat.
Hukum-hukum fikih yang lahir dari rahim pemahaman fikih peradaban akan disesuaikan dengan kontekstual dan kebutuhan masyarakat yang ada pada zaman itu. Hal ini yang tidak dapat dijawab dengan fikih klasik secara holistik, sebab kehadiran fikih klasik itu sendiri memiliki kontekstual masyarakat dan paradigma hukum Islam yang berbeda.
Kontekstualisasi teks-teks fikih sebagaimana dimaksud dalam konsepsi fikih peradaban harus dibarengi dengan spirit ilmiah dari disiplin ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sosial, budaya, ekonomi, dan sains—yang kemudian dalam peristilahan studi Islam disebut sebagai studi interdisipliner. Melalui integrasi keilmuan juga menjadikan seseorang memiliki sikap yang toleran, moderat, inklusif, dan demokratis (Nikmah, 2022: 1089).
ADVERTISEMENT
Relasi Fikih Peradaban dengan Moderasi Beragama
Secara umum, moderasi beragama dipahami sebagai suatu sikap atau cara pandang dalam mengamalkan ajaran agama yang mengedepankan jalan tengah dalam memahami, merespon, dan menyelesaikan problematika keagamaan. Moderat dalam arti tidak berlebih-lebihan (ekstrim). Sehingga pada titik ini, dapat diketahui bahwa unsur yang dimoderasi itu adalah cara dan praktik menjalankan ajaran agama, bukan agamanya.
Dalam Islam, term moderasi dikenal dengan istilah "wasaṭiyyah". Istilah ini merujuk pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 143 sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Dalam ayat tersebut, termaktub kata وَّسَطًا (tengah) yang merupakan na’at (sifat) dari kata اُمَّةً (umat). Hal ini mengandung penegasan bahwa Allah Swt. ingin menjadikan umat Islam itu bukan hanya sekadar umat biasa melainkan “umat pertengahan” atau umat yang moderat.
Fikih peradaban merupakan konsep fikih moderat yang mengetengahkan dua kutub pemahaman yang saling besebrangan. Kelompok pertama dengan pemahaman fikih tekstualis yang menekuni wilayah praktis tanpa diimbangi dengan pemahaman fikih dan usul fikih yang memadai. Kelompok kedua dengan dekonstruksi pemahaman Islam klasik dan menjadikan naṣṣ syara’ sebagai teks hukum yang dapat dipahami sesuai konteks yang dibutuhkan, tanpa menghiraukan kaidah-kaidah tafsir dan metode istinbaṭ hukum dalam menafsirkan dan memahami naṣṣ syara’ (liberal).
ADVERTISEMENT
Secara terang, fikih peradaban merupakan sintesis dari kedua kutub pemahaman tersebut. Konsepsi fikih peradaban menghendaki naṣṣ syara’ dan kitab fikih klasik sebagai dasar hukum dalam memecahkan permasalahan, namun hal tersebut harus diimbangi dengan konsep dan pendekatan yang memperhatikan akar masalah yang muncul di masyarakat.
Dari Indonesia untuk Dunia: Refleksi Terhadap Realitas Masyarakat Islam
Islam wasaṭiyyah ala Indonesia nyatanya mendapat perhatian khusus dari berbagai negara di dunia (Nikmah, 2022: 1087). Kondisi masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan perbedaan prinsip membuat cara beragama masyarakat Indonesia cenderung toleran, moderat, dan akomodatif. Karakter yang demikian membuat masyarakat Indonesia dalam berislam lebih memilih penghindaran konflik terbuka dan menerima perbedaan yang ada sebagai sebuah keniscayaan.
Konflik dan konfrontasi yang mengatasnamakan agama selama ini sebenarnya bukan berasal dari jati diri masyarakat Indonesia, melainkan berasal dari doktrin gerakan Islam transnasional yang berpusat di Timur Tengah (Azra, 1996: 123). Dalam posisi ini, seharusnya potret toleransi dan moderatisme tidak dikiblatkan pada Timur Tengah, melainkan kiblat tersebut seharusnya ditujukan pada Indonesia.
ADVERTISEMENT
Potensi yang dimiliki Indonesia hendaknya dapat dijadikan sebagai modal dalam memberikan alternatif penyelesaian masalah radikalisme global yang lebih humanis dengan menggunakan pendekatan nonmiliter (soft approach). Menurut Yon Machmudi, model Indonesia harus diperkenalkan ke dunia internasional terutama kawasan Timur Tengah, bukan sebaliknya malah mengikuti cara rezim-rezim di Timur Tengah dalam menghadapi problematika yang minus dialog (Machmudi, 2021: 127).
Dengan prinsip fikih peradaban yang mengedepankan dialog terhadap problematika masyarakat tentu dapat menjadi solusi dalam memecahkan masalah tanpa menimbulkan masalah yang baru. Adanya fikih peradaban pula dapat menjadi solusi atas kejumudan pemahaman fikih klasik dalam masyarakat Indonesia maupun dunia yang selama ini cenderung pada pemahaman yang saklek. Hal ini semata-mata untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan beragama sehingga dapat tercipta kerukunan antar sesama.***
ADVERTISEMENT
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.