Anak yang Terjebak di Dalam Dunia Orang Dewasa

Vera Itabiliana Hadiwidjojo
A child psychologist & one lucky mom.
Konten dari Pengguna
15 Mei 2018 20:59 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vera Itabiliana Hadiwidjojo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak anak bomber. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak anak bomber. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Satu keluarga: bapak, ibu, dan anak-anaknya. Tidak hanya satu keluarga, bukan juga dua keluarga, melainkan tiga keluarga, yang terlibat sebagai pelaku pengeboman di beberapa tempat di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Saat tulisan ini dibuat, saya terus berdoa semoga ini berhenti sampai di sini. Cukup sudah korban yang jatuh.
Selain orang-orang tak bersalah yang menjadi korban, para pelaku pun bisa dibilang juga korban. Yang saya maksud tentu anak-anak di dalam tiga keluarga pelaku pengeboman tersebut.
Untuk orang dewasa pelaku pengeboman yang juga orangtua dari anak-anak tersebut, mungkin mereka juga korban, entah korban dari siapa. Mungkin korban dari sistem, situasi, atau doktrinasi paham radikal?
Apapun itu, saya enggan membahasnya karena saya bukan psikolog yang mendalami tentang terorisme ataupun radikalisme.
Namun, saya berani pastikan anak-anak mereka adalah korban, paling tidak korban dari orang tua mereka sendiri. Mereka adalah anak-anak yang terjebak di dalam dunia orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Hancur, remuk, patah hati, sepertinya tidak bisa mewakili bagaimana perasaan saya melihat fakta bahwa anak-anak ini dibawa orangtuanya untuk mati bersama.
Saya tidak mau membayangkan kira-kira bagaimana para orangtua ini mengajak anak-anaknya. Apa yang mereka ucapkan pada anak? Atau mungkin juga anak-anak itu tidak tahu apa-apa selain diajak sekedar jalan-jalan oleh orangtuanya.
Saya juga seorang ibu.....
Serangkaian peristiwa mengerikan ini membuat saya ingin memeluk anak-anak saya lebih erat.
Serangkaian peristiwa ini juga membuat saya mempertanyakan: Who are we to judge a child? Who are we to decide a child’s life? Yes, we are the parents! Apakah ini lantas membuat kita berhak menentukan kapan hidup dan matinya seorang anak? Yang saya tahu, anak hanya dititipkan pada kita....
ADVERTISEMENT
Ingat film Life Is Beautiful (1997) yang dimainkan oleh aktor Roberto Benigni sebagai peran ayah?
Di film ini diceritakan bagaimana seorang anak begitu mempercayai apa yang dikatakan ayahnya kalau mereka sedang berada dalam kompetisi untuk memenangkan sebuah tank. Padahal mereka sedang berada di dalam kamp tawanan perang Nazi.
Si anak begitu percaya pada apa yang dikatakan ayahnya, sehingga menuruti semua yang diperintahkan oleh sang ayah, termasuk untuk sembunyi tanpa suara karena jika ada suara maka poin untuk mendapatkan tank akan dikurangi.
Cerita bagaimana anak bisa sangat meyakini apa yang disampaikan oleh ayahnya, bukanlah sekedar karangan penulis cerita film tersebut tanpa dasar.
ADVERTISEMENT
Setelah dilahirkan, anak tumbuh dalam pembiasaan dari lingkungannya yang disebut sebagai proses sosialisasi (socialization) yang mencakup mulai dari apa yang diajarkan oleh orangtua, guru, teman, agama, budaya, dan sebagainya.
Dalam proses sosialisasi ini, anak mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, nilai, sikap dan belajar bagaimana berperilaku.
Sosialisasi pertama anak adalah di dalam keluarganya dimana dia menerima pengasuhan dari orangtua. Pengasuhan dari orangtua dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang melatarbelakangi orangtua itu sendiri seperti ideologi politik, status ekonomi, profesi/pekerjaan orangtua, budaya dan agama (Berns, 2013).
Ilustrasi keluarga (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga (Foto: Thinkstock)
Latar belakang orangtua yang beragam ini membuat setiap orangtua memiliki gaya tersendiri dalam pengasuhan anak-anaknya.
Dalam mengasuh anak, orangtua tidak bisa sendiri tentunya. Orangtua dibantu oleh sekolah dan lingkungan sosial lainnya di sekitar keluarga.
ADVERTISEMENT
Namun, orangtua tetap punya kuasa untuk memilihkan sekolah dan lingkungan lainnya dimana anak dapat berinteraksi, yang tentunya sesuai dengan visi misi orangtua dalam membesarkan anak. Jadi orangtua punya kuasa untuk membatasi atau meluaskan interaksi anak di lingkungan selain lingkungan keluarga.
Setiap orangtua mengajarkan anak-anak mereka tentang nilai-nilai, sikap dan ketrampilan yang dianggap orangtua akan menunjang keberhasilan anak di dalam kehidupan (Tomasello, 1993). Nilai-nilai (values) merupakan kualitas atau keyakinan yang dianggap penting atau cocok.
Nilai ini mendasari sikap, yaitu kecenderungan kita berespons terhadap sesuatu atau seseorang, bisa positif atau negatif. Sikap ini yang menentukan bagaimana kita membawa diri di lingkungan, bagaimana kita mengolah informasi dan bagaimana kita berespon pada informasi tersebut. Sikap menentukan bagaimana perilaku kita.
ADVERTISEMENT
Pembentukan sikap pada anak sangatlah dipengaruhi oleh keluarga dimana anak ini hidup. Pembentukannya melalui berbagai cara, yaitu (Berns, 2013):
Modelling atau meniru. Anak peniru ulung memang. Mereka meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya sebagai figur dewasa terdekat dan yang paling sering berinteraksi dengan mereka.
Anak belajar tentang peran dewasa dari orangtuanya melalui proses identifikasi, termasuk bagaimana peran dewasa dalam hidup bermasyarakat. Anak akan melihat bagaimana ayah dan ibunya berinteraksi dengan orang lain di sekitar mereka termasuk bagaimana menyikapi perbedaan. Dari orangtua, anak merekam dan menyimpulkan nilai serta sikap yang nantinya diterjemahkan dalam perilaku mereka.
Reinforcement and punishment. Anak belajar bersikap dan berperilaku melalui serangkaian reinforcement/reward dan hukuman yang ia terima. Tentu perilaku yang mendapatkan konsekuensi positif/reward/reinforcement, akan diulang dan seterusnya menjadi perilaku menetap pada diri anak. Contoh, anak yang mendapatkan pujian karena patuh pada orangtuanya, maka cenderung akan mempertahankan perilaku patuhnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Instruksi. Sikap di dalam diri anak dapat juga dibentuk melalui intruksi/ apa yang dikatakan langsung oleh orangtua atau orang yang mereka kagumi. Anak menerima apa yang dikatakan oleh orangtuanya sebagai suatu kebenaran karena pengalaman mereka yang masih terbatas.
Dengan kemampuan kognitif yang masih berkembang, mereka mudah terpengaruh ucapan/komentar yang bersifat stereotipikal dan penuh prasangka dari orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Ilustrasi ibu dan anak.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Thinkstock)
Sebuah eksperimen tentang hal ini pernah dilakukan pada anak-anak usia 7-12 tahun yang tengah mengikuti program sekolah di musim panas (Bigler, Brown & Markell, 2001) dimana sebagian dari mereka dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kaos kuning dan kelompok kaos biru.
Guru sengaja membuat kesan seolah kelompok kaos kuning lebih istimewa dibanding dari kelompok kaos biru; ditunjukkan melalui pengaturan tempat duduk, pembagian tugas dan keistimewaan lainnya. Pada saat mereka, baik di kelompok kuning maupun biru, diminta untuk menilai satu sama lain, ditemukan bahwa anak di kelompok kuning menilai tinggi satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Lain halnya di kelompok biru, anak cenderung menilai rendah satu sama lain. Sedangkan sebagian anak lain yang tidak mendapatkan perlakuan istimewa rekayasa dari guru tadi, tidak memiliki prasangka apapun terhadap satu sama lain.
Betapa rentannya anak terhadap pengaruh dari orangtuanya, bukan? Orangtua atau siapapun yang punya arti signifikan bagi anak punya kuasa untuk membentuk sikap dan perilaku anak. Namun, apa iya kita sebagai orangtua benar-benar tahu apa yang terbaik untuk anak?
Anak tidak bisa memilih siapa orangtuanya. Jadi bukankah sepatutnya kita yang berutang kehidupan pada anak-anak kita? Kita bertanggung jawab untuk memberikan kehidupan dimana anak dapat hidup sebagaimana layaknya anak-anak.
Bukan menempatkan mereka untuk berperilaku melampaui usia mereka. Bukan memaksakan mereka untuk menerima suatu pemikiran yang masih jauh di luar batas pemahaman mereka.
ADVERTISEMENT
Bukan melibatkan mereka seolah turut mengemban beban yang sebenarnya adalah beban kita orangtuanya. Bukan menjebak mereka di dalam dunia orang dewasa.
Who are we to judge a child? Who are we to decide a child’s life?
Referensi:
Berns, Roberta M., Child, Family, School, Community – Socializing & Support, 9th edition, Wadsworth, Cengage Learning, 2013. Siegle, Robert S., Children’s Thinking, 3rd edition, Prentice-Hall Inc., 1998.