Pisau Bermata Dua dalam Hak Asasi Manusia : Distorsi Arti Demokrasi

Konten dari Pengguna
27 Oktober 2020 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Velisia Natalie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu, aku mendapat pesan dari temanku. Dia mengirimkan tautan berisi tulisan dan kecaman terhadap mahasisa universitas lain yang tidak turut turun menyuarakan permasalahan Omnibus Law yang disahkan baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
“Menurutmu, ini hate speech, bukan?”
Aku membacanya sekilas. “Iya, lihat saja kata-katanya itu, menggiring opini buruk!” jawabku. “Buat apa bikin itu terus di-upload di sosmed?”
Nggak ngerti juga. Palingan kalau disuruh take down, dalihnya ‘ini kan negara free speech—demokrasi’! Kasihan demokrasi, dianiaya.”
Percakapan singkat bersama temanku itu terus bermain di pikiranku. Negara Indonesia memang menganut sistem demokrasi, yang artinya menjunjung tinggi hak kebebasan berpendapat. Hak kebebasan berpendapat ini diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945), spesifiknya pasal 28. Namun, sepertinya di era ini, kata “demokrasi” ini mengalami distorsi, selalu menjadi tameng untuk membenarkan seseorang melakukan hate speech atau ujaran kebencian.
Apalagi, sekarang sudah ada media sosial, orang-orang bisa dengan bebas mengutarakan apa yang mereka mau, tanpa menunjukan wajah. Ujaran kebencian virtual di balik layar. Praktis dan tanpa identitas.
ADVERTISEMENT
Media sosial menjadi pisau bermata dua dalam mengartikan demokrasi. Media, di satu sisi menunjukan kekasaran dan kebrutalan publik, namun di sisi lain berkontribusi pada komunikasi sosial secara linguistik. Namun secara metalinguistik, salah satu elemen disrupsi yang muncul adalah ujaran kebencian, yang digunakan untuk melabeli ucapan, tindakan, dan aktivitas kehidupan publik tertentu. Unsur linguistik dan metalinguistic semakin sering bersinggungan, mengaburkan batas antara apa yang merupakan deskripsi linguistik dari fakta dan apa yang merupakan kreasi metalinguistik yang terbentuk oleh opini. Fenomena tersebut terlihat dalam konteks kebencian yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah saat masyarakat tidak bisa membedakan yang mana ucapan kebencian yang sebenarnya, dan yang mana luapan ketidaknyamanan seseorang dalam melakukan pembelaan dalam sebuah debat.
ADVERTISEMENT
Ujaran Kebencian dalam Konteks Kebebasan Berpendapat
Ujaran kebencian ini melemahkan prinsip Pancasila. Jika dianalis secara legislatif, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ujaran kebencian mencakup pencemaran fitnah, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan kekerasan, dan menyebarkan kebohongan. Ujaran kebencian juga ditujukan untuk menghasut kebencian berdasarkan golongan tertentu. Sangat spesifik dibandingkan dengan pasal 28E ayat 3 di UUD 1945 yang berdasar hak asasi manusa (HAM), menyatakan setiap orang bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Jangan lupakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang membatasi berpendapat di media sosial. Semua aturan legislatif ini saling berbenturan satu sama lain, memiliki ketidakpastian hukum dan membuat masyarakat membuat asumsinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika seseorang mendukung kebebasan berbicara, apakah mereka juga harus mendukung kebebasan berbicara yang kotor dan kasar? Tidak.
Jika seseorang menyatakan bahwa dirinya adalah pendukung kebebasan berpendapat, namun dengan ketentuan ucapan tersebut akan menjadi ucapan yang baik, apakah dia benar? Sebenarnya tidak juga. Pasti ada saja yang mengganjal, bisa saja dicap “menutup-nutupi”, “munafik”, “mendukung hukum penyensoran”, dan segudang kata-kata lainnya yang dilontarkan seenaknya atas dasar kebebasan berpendapat.
Mau memilih sisi yang mana, tetap salah.
Namun, ini adalah pandanganku yang mutlak. Konten media memang harus bebas, tetapi tidak berarti bahwa apapun yang kita keluarkan dapat bebas dari tanggung jawab. Dalam kebebasan berbicara, wajib punya batasan untuk menghormati dan menghargai orang lain. Kita tidak boleh menyebarluaskan halhal yang salah dan mengkambinghitamkan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Reformasi Media dan Konflik
Menurut statistik, pengguna media sosial akan naik sebanyak 42,3% populasi dunia di tahun 2022 (Appel, 2019). Kemajuan teknologi dan reformasi era yang terjadi mendukung perubahan tren masyarakat dari luring menjadi daring.
Reformasi artinya perubahan. Reformasi media mengacu pada upaya mengubah konten media menjadi lebih baik tanpa adanya bias dalam segi manapun, terutama dunia politik. Menurutku, reformasi media yang terjadi sekarang hanyalah reformasi, perubahan teknis menjadi lebih canggih, namun tidak canggih dalam segi moral dan bias.
Coba lihat saja, selama sebulan terakhir, sudah berapa banyak media sosial mempengaruhi hidup kita? Ambil contoh konflik yang besar di bulan ini, yaitu Undang Undang Cipta Kerja. Setelah Undang-Undang Cipta Kerja resmi disahkan oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu, mahasiswa melakukan aksi mengunggah “analisis” di dunia maya, menampilkan sisi buruk dari UU tersebut, yang kemudian diprovokasi hingga berujung pada meledaknya respon publik di dunia nyata. UU baru ini memiliki tantangan untuk meredakan kondisi ekonomi Indonesia, namun malah belok menjadi tantangan untuk meredakan kondisi emosi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mundur ke belakang sedikit, pada tanggal 3 September 2020, seorang figur publik membuat kontroversi dari unggahannya. Unggahan yang berisi tentang pendapatnya mengenai fisik seorang wanita tersebut viral di media sosial, menyebut fisik wanita tersebut sebagai polusi visual. Banyak masyarakat internet mengkritisinya, menganggapnya melakukan ujaran kebencian, dan dalam prosesnya, mereka tidak sadar bahwa mereka sendiri melakukan ujaran kebencian terhadap figur publik tersebut.
Setelah menghabiskan beberapa bulan terakhir mengurung diri di rumah selama pandemi, aku tidak ragu bahwa kebrutalan yang berkecambah di internet dapat dengan cepat merambat ke peperangan yang mendarah daging. Di zaman penjajahan, bambu runcing bisa melukai kita. Di zaman sekarang, internet memiliki kekuatan untuk menikam.
Secara teori, kondisi dunia maya dan dunia nyata saling bersilangan, tetapi batas-batas dunia nyata kabur dalam proses reformasi media. Berkat media, tercipta rasa kehadiran tanpa kehadiran yang sebenarnya. Sesuatu yang tidak hadir secara fisik, namun kita bisa merasakannya mengganggu proses konflik kehidupan.
ADVERTISEMENT
Nurani dan Kontrol Diri
Jika seseorang memberi alasan demokrasi saat ujaran kebencian muncul, sebenarnya bukan salah demokrasi, bukan salah hak asasi manusia.
Lingkup batin manusia, dalam pengambilan keputusan individu, tergantung pada moral dan etika yang tentunya bergantung pada nilai dan nurani yang dianut individu tersebut. Kebebasan berbicara, dengan demikian adalah masalah hati nurani manusia. Setelah berputar-putar di segala sisi, pada akhirnya aku menunjuk manusia sebagai satu-satunya dan sumber evaluasi terakhir. Fakta bahwa orang membuat pilihan sesuai yang mereka mau bukanlah masalahnya.
Masalahnya terletak pada pertanyaan apakah seseorang memilih melakukan tindakan tersebut memiliki nurani yang baik, dan memiliki pengendalian diri yang dibentuk dengan benar. Pikiran boleh bebas, tetapi kebenaran dalam berucap, berkata, dan berbuat harus menjadi perhatian dasar setiap orang. Hati nurani yang benar harus menjadi dasar untuk moral setiap orang. Ini memungkinkan kita untuk merealisasikan hak kebebasan berbicara, dan dengan demikian memiliki dasar acuan untuk mengeksplorasi dan menyampaikan kebenaran. Ke depannya dalam era pandemi yang bergantung pada sistem daring ini, semoga masyarakat lebih sadar dalam fakta-fakta yang ada dan memilih untuk melakukan tindakan yang benar. Bahwa sebenarnya ujaran kebencian tidak dibenarkan dalam konteks apapun termasuk demokrasi.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
1. Appel G, et. al. 2019. The Future of Social Media in Marketing.
Journal of the Academy of Marketing Science. Vol. 48, no. 1