Kasur Baru Simbah

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
26 September 2021 19:56 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Simbah (sumber : pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Simbah (sumber : pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Hidup ini cari apa?” dia terkekeh. Giginya yang sudah tidak utuh membuat lekukan di pipinya sangat dalam ketika dia tertawa, “jangan suka aneh-aneh, kamu masih kecil.”
ADVERTISEMENT
Ketika beranjak dari cangkrukannya di amben, dia meraih kertas rokok, mengisinya dengan sejumput tembakau memanjang, membumbuinya dengan beberapa bunga cengkeh kering, melintingnya dan menyelipkan hasil rasil racikan itu di sela daun telinga kanannya.
Aku ikut mengambil sehelai kertas rokok dan melintingnya. Kosong tanpa tembakau dan cengkih. Lalu membawanya ke bibirku untuk menghirup aromanya. Aku memang suka sekali mencium aroma kertas, hingga sekarang.
“Anak kecil nggak boleh ikut-ikutan,” hardiknya sambil meraih lintingan di tanganku.
“Kosong kok Mbah.” Aku membuka kembali lintingan kertas rokok itu untuk memperlihatkan isinya.
“Justru nggak boleh kalau kosong.” Kembali terkekeh, dia mengulurkan hasil lintingan yang terselip di telinganya kepadaku.
Simbah menjepitkan lintingan itu dengan tegas di sela bibirku dan tanpa ampun memantiknya dengan korek api batangan yang entah sejak kapan ada di tangannya. Kontan aku terbatuk begitu lintingan itu membara dan reflek memuntahkan lintingan yang masih menyala itu dari bibirku.
ADVERTISEMENT
“Nggak enak..” aku bersungut-sungut, dengan rasa gatal di tenggorokan.
“Makanya jangan suka ikut-ikutan orang tua.” Simbah buru-buru menginjak lintingan membara di lantai dengan sandal swallownya hingga padam.
“Tapi kok Simbah suka?”
“Siapa bilang aku suka?
“Itu… katanya mulut asem kalau nggak ngelinting..”
“Iya… memang asem.” Simbah memasukkan tangannya di balik kutang dan menarik selembar uang kertas kumal dari sana, “ beli pia saja sana.”
Aku bersorak dan segera berlari ke warung Pak Min di perempatan jalan untuk membeli kue pia berisi kacang hijau kesukaanku diiringi suara terkekeh-kekeh Simbah di belakangku.
Simbah memang orang yang antik. Meskipun perempuan, dia suka sekali merokok. Rokoknya pun bukan sembarang rokok, harus rokok yang diracik dan dilintingnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sejak aku kecil, Simbah tak pernah melarangku melakukan apapun. Justru didorongnya aku melakukan hal-hal yang tidak baik supaya aku kapok sendiri dan tidak mau melakukannya lagi, seperti masalah lintingan tadi.
Suatu ketika aku pernah mencari uang receh dari kamarnya untuk membeli ciki. Simbah bukannya marah, justru membelikanku berbungkus-bungkus ciki dan menungguku memakannya sampai habis. Akhirnya aku muak dengan snack berbumbu msg itu dan tak pernah menyentuhnya lagi hingga sekarang.
Entah berapa usia Simbah yang sebenarnya, tak ada yang tahu. Rambutnya sudah seluruhnya memutih dan kulitnya keriput seperti kulit jeruk kering. Tapi matanya masih awas dan gerak-geriknya gesit.
Sehari-hari Simbah memakai kebaya dan kain seperti orang-orang dari masa lalu. Tak ada apa-apa lagi di balik kainnya. Aku tahu karena sering melihatnya kencing berdiri dengan mengangkangkan kaki supaya kainnya tidak basah.
ADVERTISEMENT
Dia senang tertawa terkekeh-kekeh meskipun giginya sudah banyak yang tanggal. Mungkin sejak muda dia memang periang. Dia tinggal bersama keluargaku sejak aku belum lahir. Aku tahu dari cerita Ibu.
Sebenarnya Simbah tak punya hubungan darah denganku. Ia adalah ibu tiri ayahku. Dulu kakek memang punya dua orang istri. Ayahku adalah anak tunggal dari istri kakek yang pertama. Simbah tidak punya anak kandung. Ketika kakek dan nenek meninggal, Simbah pun tinggal bersama keluarga kami karena kami tinggal di rumah warisan kakek.
Dulu Simbah adalah orang yang sangat galak, sehingga dia mendapat julukan Mbah Galak. Hobinya marah-marah dan gemar menghardik siapapun yang tidak menuruni kehendaknya. Padalah profesi Simbah adalah penjual makanan.
Kalau jaman sekarang pasti tidak ada orang yang mau membeli makanan bila penjualnya segalak Simbah. Tapi Simbah pintar masak, kata orang tangannya enak sehingga apapun yang dimasaknya selalu sedap. Aku pernah melihat sendiri Simbah memasak dengan bumbu seadanya, karena di dapur hanya ada satu siung bawang putih, tapi anehnya masakannya tetap laris.
ADVERTISEMENT
Galaknya perilaku Simbah memang hanya aku dengar dari cerita Ibu. Sejauh ingatanku, aku tak pernah melihatnya marah-marah.
Kata Ibu, Simbah dulu pernah punya anak. Ketika berumur tujuh tahun, anak itu sakit keras hingga meninggal dunia. Kabarnya anak Simbah sakit setelah dipukul Simbah, badannya panas sepanjang malam sebelum meninggal pada pagi hari.
Aku tidak terlalu mempercayai cerita itu, namun sejak saat itu perangai Simbah berubah drastis. Dia menjadi lebih ringan memandang hidup.
Terkadang aku menemukan dia melamun di jendela dengan mata menerawang. Mungkin teringat anaknya. Atau teringat kakek. Entahlah..
Nenekku sudah lama meninggal karena TBC. Kakekku bahkan sudah lebih lama lagi berpulang, sebelum aku lahir, sehingga aku tak sempat merasakan punya kakek, baik kakek dari pihak Ibu maupun dari pihak Ayah. Mungkin pria memang berumur lebih pendek dari perempuan. Atau bisa jadi kakek-kakekku menikahi perempuan-perempuan yang jauh lebih muda dari usia mereka. Aku tak tahu pasti karena tak punya referensi valid tentang usia nenek moyangku.
ADVERTISEMENT
Aku tidak terlalu lama tinggal bersama Simbah. Usai SMA, aku merantau ke Jakarta, meninggalkan Simbah bersama keluargaku di kampung. Setahun dua kali aku pulang menengok mereka. Simbah masih tambah sehat terakhir aku pulang ketika lebaran.
Tak lama setelah itu, pada suatu sore Ibu menelepon, “kalau sempat, pulanglah dulu.. Simbah minta dibelikan kasur baru.”
Aku mengernyit. Kenapa aku harus pulang hanya karena Simbah ingin dibelikan kasur baru? Ibu seperti menyimpan rahasia namun tak ingin membaginya denganku.
Karena waktu itu aku sedang training dan sibuk dengan pekerjaan baruku, aku hanya mengirimkan uang dan berpesan supaya Ibu membelikan Simbah kasur baru seperti yang diinginkannya.
Dua hari setelah menikmati kasur barunya, Simbah berpulang. Ternyata Ibu sudah punya firasat bahwa permintaan kasur baru itu hanyalah cara Simbah berpamitan. Ibu tak ingin membebaniku sehingga tak mengatakan apapun tentang firasat itu.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu sudah lama, sekitar sepuluh tahun yang lalu, namun bila berziarah ke makamnya aku sering bercanda, “ hidup ini cari apa? Cari kasur baru.”
***