Cak Imin Perawat dan Penebar Politik Santun

Usep Saeful Kamal
Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Konten dari Pengguna
9 April 2018 23:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usep Saeful Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah dua kali penulis menyaksikan talk show dengan narasumber H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di televisi. Pertama di Mata Najwa yang tayang di Trans 7 bertajuk Cak Imin Ditengah Dua Pilihan Capres, kedua di acara Rosi dengan tajuk Jalan Politik Cak Imin: Berharap Sebatas Cawapres yang tayang di Kompas TV.
ADVERTISEMENT
Yang menarik bagi penulis, kedua talk show itu melibatkan narasumber Rustika Herlambang Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, perusahaan di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis untuk pengambilan keputusan. Tetapi, bukan berarti narasumber yang lain tidak mumpuni, semua pakar dibidangnya.
Menurut hasil penelitian Rustika Herlambang terkait para figur di Indonesia yang dipresentasikan pada kedua acara talk show tadi bahwa sentimen negatif yang ditujukan ke Cak Imin hanya 4-5 persen dan merupakan sentimen negatif terendah selama ini. Konteks inilah yang memancing ketertarikan penulis.
Betapa tidak, sudah menjadi rahasia umum bila media sosial di Indonesia mengalami disfungsi karena dimanfaatkan tidak selayaknya oleh para pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menebar isu-isu negatif dan kampanye hitam demi meraih kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Cak Imin sebagai pelaku aktif media sosial (medsos) yang digadang-gadang menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2019 mendatang menunjukkan sikap adiluhung dengan menjaga sensitifitas rasa baik bagi para followernya maupun siapa saja yang mengakses akun medsosnya.
Selebihnya, data itu menunjukkan bahwa Cak Imin senantiasa ngetwit hal-hal yang jauh dari kesan negatif. Bahkan sejauh yang penulis ikuti, Cak Imin nyaris tidak pernah melibatkan diri pada percakapan-percakapan negatif meskipun dalam keadaan “diserang”.
Selanjutnya, Rustika Herlambang mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil survei menunjukkan 85 persen pengguna twitter pendukung Cak Imin adalah manusia, bukan robot. Artinya, pengikut dan pendukung Cak Imin di medsos bukan akun abal-abal.
Penulis jadi teringat kiprah kelompok Muslim Cyber Army (MCA) yang belum lama ini terungkap pihak kepolisian karena berperan sebagai penebar kebencian di negeri ini melalui akun-akun anonim (memakai nama samaran).
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah menarik, menurut penuturan Rustika bahwa netizen yang merespon terhadap Cak Imin mayoritas berusia 18 sampai 25 tahun setara 38,1 persen. Selebihnya usia 26 sampai 35 sebanyak 22,4 persen dan usia diatas 35 tahun sebanyak 37 persen.
Penulis kira, fakta ini sungguh menunjukkan sentimen positif bagi figur Cak Imin diantara banyak figur di Indonesia. Dalam konteks pemanfaatan jejaring medsos, Cak Imin menegaskan perannya sebagai Panglima Santri sekaligus politisi santri.
Sebagai Panglima Santri tentu Cak Imin faham betul bagaimana menerapkan kesantunan yang diajarkan kiai di pondok pesantren baik dalam kehidupan nyata maupun dikehidupan maya melalui jejaring media sosial.
Bila merujuk pada angka tadi dari kategori usia, respon generasi milenial terhadap ketokohan Cak Imin di medsos cukup signifikan. Terlebih bila dikaitkan dengan politik, bahwa politik santun ala Cak Imin sungguh menjadi harapan semua kalangan.
ADVERTISEMENT
Politik Santun
Sebagai tokoh politik, tentu semua hal tentang Cak Imin selalu dikaitkan dengan politik pula. Tetapi dari data tadi, penulis kira ada optimisme lebih betapa kaum muda milenial kita memiliki ketertarikan yang kuat terhadap politik santun yang dipraktekkan Cak Imin.
Betapa tidak, kerinduan generasi milenieal terhadap praktek politik santun sungguh tidak bisa dianggap enteng. Apatisme mereka saat ini boleh jadi akibat warna politik kita yang seringkali menampakkan kesan menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan.
Sudah menjadi rahasia umum bila setiap kali menghadapi hajat politik di Indonesia baik itu Pilkada, Pileg maupun Pilpres hampir dipastikan selalu timbul kegaduhan yang berlatarbelakang kebencian, hinaan, fitnah, caci maki dan lain sebagainya.
Menjatuhkan lawan politik melalui kampanye hitam tak jarang terjadi bahkan dicontohkan oleh para elit politik kita. Wajar jika kemudian citra politik selalu negatif ditengah masyarakat karena ulah para tokoh elitnya.
ADVERTISEMENT
Sekedar contoh, Pemilu 2014 yang lalu pemilih muda kita didominasi oleh swing voter (pemilih galau) dan cuek sebagaimana hasil penelitian lembaga survei, Alvara Research Center salah satunya.
Penulis kira, tingkat partisipasi generasi muda dalam setiap proses politik di Indonesia dipengaruhi oleh sejauh mana praktek-praktek para elit politik. Lahirnya pemilih cuek (apathetic voters) boleh jadi bersumber dari praktek politik tidak santun.
Wajar, bila kemudian tingkat loyalitas generasi milenial terhadap partai politik menjadi sangat rendah. Apalagi bila dikaitkan dengan keterpilihan terhadap partai politik, mereka cenderung pasif dan cenderung mimilih di detik-detik akhir pemilu.
Memang menggunakan media sosial dalam menebar instrumen komunikasi politik terhadap generasi milenial dipandang belum cukup. Paling tidak ikhtiar ini berlaku bagi generasi milenial di perkotaan yang nota bene basis wawasan politiknya lebih besar dibanding generasi milenial di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Poinnya adalah jangan sampai kemudian generasi milenial yang wawasan politiknya mencukupi tetapi ia bertindak cuek dalam proses pengambilan keputusan politik. Elok kiranya bila mereka juga disuguhi tontonan dan praktek-praktek politik yang lebih menonjolkan etika tinimbang caci maki dan hinaan.
Dalam konteks ini ikhtiar Cak Imin sungguh sangat tepat karena bertujuan menarik minat generasi milenial supaya aktif terlibat dalam proses politik partai. Bila ini tidak dilakukan, tak menutup kemungkinan wajah demokrasi kita takkan pernah tampakkan wajah cantiknya.
Terang betul Cak Imin sedang ingin mengawal adagium arab “syubbanul yaum rijalul gad” yang populer dikalangan santri dan memiliki makna pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari. Rupanya prinsip leadership inilah yang sedang ditebar Cak Imin supaya generasi muda kita apatis terhadap politik.
ADVERTISEMENT
Cak Imin sedang memberi contoh bagi masyarakat Indonesia bahwa kesantunan harus menjadi elan vital dalam praktek politik yang beradab. Menggapai tujuan tertentu tidak mesti menafikan yang lain apalagi membuatnya seolah lebih nista darinya.
Sikap menebar fitnah, kebencian, saling menjatuhkan dan nyiyir dalam berpolitik sama sekali bukan karakter asal bangsa ini. Bila perilaku politik model ini masih dipertahankan, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap elit politik akan semakin terpuruk.
Perawat Warisan
Secara nasab, Cak Imin adalah cucu KH. Bisri Syansuri yang dikenal sebagai pendiri NU yang ahli fiqh dan cenderung konsisten bahkan keras dalam sikap politik. Karenanya beliau senantiasa menjaga akhlaq politik.
Melalui tiga kiayi pendirinya, NU diwarisi tiga dimensi dan persfektif sekaligus, antara lain: dimesi teologis atau spiritual, dimensi akhlaq atau tasawuf dan dimensi hukum atau fiqih. Semuanya diposisikan saling support dan melengkapi. Dimensi inilah yang membentuk kultur politik tokoh NU, termasuk Cak Imin.
ADVERTISEMENT
Pertama, dimensi teologis atau spiritual. Dimensi ini berfungsi untuk menghantarkan politik duniawi menjadi spirit perjuangan yang berorientasi jangka panjang, bukan sesaat. Karenanya praktek politik untuk kemaslahatan nasional yang lebih besar selalu diletakkan diatas kepentingan pribadi atau kelompok.
Kedua, dimensi akhlaq atau tasawuf. Dimensi ini dikembangkan untuk membangun suasana dan kultur politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, politik tanpa etika hanya menjadi praktek kaum pragmatis.
Ketiga, dimensi hukum atau fiqih. Dimensi ini dikembangkan sebagai supporting system pelembagaan politik sehingga praktek-praktek politik berjalan dalam relnya sampai membentuk sistem yang kokoh. Tanpa dimensi ini, keadilan dan tujuan utama politik hanya sebatas isapan jempol semata.
Penulis kira, warisan inilah yang membentuk karakter gerbong politik PKB sebagai anak kandung NU dan Cak Imin sebagai masinisnya. Tak heran bila jargon “Berpolitik itu Ibadah dan Ber-PKB itu berkah” yang digelorakan Cak Imin terhadap kader dan simpatisannya melahirkan karakter dan citra positif.
ADVERTISEMENT
Dengan karakter kepemimpinan Cak Imin, diakui atau tidak berimplikasi pada pembangunan karakter PKB ditengah kepercayaan pubik terhadap partai yang semakin redup akibat terdegradasi dan gagal membangun sistem internal yang kokoh.
Melalui warisan tiga dimensi teologis, akhlaq dan fiqih tadi yang dipraktekkan langsung oleh Cak Imin telah membangkitkan kesadaran bahwa politik tidak melulu berorientasi pada kekuasaan yang sifatnya jangka pendek.
Selanjutnya, tiga dimensi tadi selalu menjadi alasan kuat bagi Cak Imin untuk keluar dari demokrasi prosedural yang justeru tidak menumbuhkan kultur demokrasi sesungguhnya. Sebaliknya, ia cenderung tercerabut dari akar nilai demokrasi itu sendiri.
Penulis kira, fenomena politik saling curiga, saling tidak percaya, saling jatuhkan dan lainnya yang mewarnai kehidupan politik negeri ini sebagai akibat tidak adanya tiga dimensi tadi sebagai basis moralnya.
ADVERTISEMENT
Walhasil, karena fitrah manusia memiliki keinginan untuk hidup bersama secara berdampingan dengan aman dan damai, maka tidak ada alasan untuk tidak menghargai sesama manusia.
Setiap orang berkewajiban menjaga marwah orang disekelilingnya tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras bahkan warna kulit. Praktek politik santun Cak Imin inilah yang seharusnya digugu dan ditiru bagi siapa saja yang menggandrungi kemaslahatan di bumi Indonesia.
Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.