Mengulik Kondisi Sosial Masyarakat Sumsel Pasca-Vaksinasi COVID-19

Konten Media Partner
23 Januari 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Outlook Series AJI Palembang menggelar bincang dengan nara sumber terkait vaksinasi. (Foto. Humas AJI Palembang)
zoom-in-whitePerbesar
Outlook Series AJI Palembang menggelar bincang dengan nara sumber terkait vaksinasi. (Foto. Humas AJI Palembang)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Satu pekan pasca pengadaan vaksinasi COVID-19 menimbulkan beragam sikap dan perilaku masyarakat, khususnya di Sumsel. Ada masyarakat yang ingin sekali divaksin namun ada juga yang ragu bahkan tidak mau.
ADVERTISEMENT
Ahli Epidemiologi Sumatra Selatan Dr Iche Andriyani Liberty mengatakan, hasil pendataan angka kurva epidemi tiga bulan terakhir di Sumsel berdasarkan kasus harian mencapai di atas seribu kasus. Adanya minat publik menerima vaksinasi COVID-19 mampu mengurangi penambahan kasus harian secara angka.
Iche bilang, kebanyakan orang tanpa gejala yang terpapar COVID-19 mulai umur 20 tahun. Kondisi ini membuat potensi percepatan kasus tinggi dan menyebabkan data kurva epidemi yang belum stabil. “Vaksinasi harus dibarengi dengan upaya pencegahan yang kuat,” kata Iche, saat menjadi nara sumber Otulook Series AJI Palembang, Jumat (22/1).
Meski data harian COVID-19 menyentuh angka kesembuhan hingga 82,32 persen bahkan mencapai persentase tinggi jauh di atas nasional yang hanya sekitar 60 persen, namun pandemi tidak akan berhenti jika tidak ada rantai antisipasi dengan kunci utama siap vaksin.
ADVERTISEMENT
"Jika didorong tren mobilitas yang menurun, vaksinasi COVID-19 bisa berjalan baik, sebab penyebaran terjadi karena mobilitas tinggi,” katanya.
Pengawalan vaksin sinovac di Palembang. (Foto. Ary Priyanto/Urban Id)
Adanya persentase yang menurun terhadap aktivitas masyarakat, pelaksanaan vaksinasi COVID-19 ini menjadi harapan yang baik terhadap tren penyebaran COVID-19.
Ahli Mikrobiologi Unsri Prof Yuwono mengatakan, COVID-19 secara logika harus diketahui bahwa kasus ini tidak lebih besar dari HIV, influenza dan TBC. Namun penderita COVID-19 memiliki angka kematian 0,4 persen kasus aktif bagi pasien dengan kasus berat.
"Angka mutlak secara global, COVID-19 per hari kasus aktif mencapai 112.255 orang," jelas dia.
Sedangkan untuk kasus krisis COVID-19 dilihat berdasarkan tingkat penularan dan bagaimana riwayat perjalan penyakit. Sebab jika pasien psotif namun tanpa gejala penyakit, khatir menularkan kepada yang komorbit (memiliki penyakit penyerta).
ADVERTISEMENT
"Karena kalau sudah kena (terpapar COVID-19) ke yang berat, dampaknya akan berat dan sulit masuk fase membaik," katanya.
Pengamat sosial sekaligus Guru Besar Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Prof Abdullah Idi mengatakan, sebaiknya pemerintah dan pemangku kepentingan memberikan transparansi agar tidak menimbulkan paradigma negatif di tengah masyarakat.
"Seperti memberikan riwayat pengadaan, anggaran dan bagaiamana target sasaran vaksin COVID-19 harus terinformasi jelas,"
Menanggapi keraguan vaksin COVID-19 di tengah masyarakat, Abdullah Idi menilai hal ini bukan kali pertama yang terjadi. Sebab sebelum ada vaksin COVID-19, sudah banyak rasa tidak percaya dari masyarakat terhadap kehadiran vaksin-vaksin lain.
"Saya mengutip artikel kesehatan, bahkan perbandingan sebelumnya (vaksin lain) di banyak negara tingkat kepercayaannya hanya 50-60 persen yang bersedia divaksin. Ini tantangan pemerintah tentu untuk menumbuhkan kepercayaan (terhadap vaksin)," kata dia.
ADVERTISEMENT
Plt Kepala Dinas Kesehatan Palembang dr Fauzia menuturkan, sebenarnya vaksinasi COVID-19 tidak membuat pandemi hilang begitu saja. Namun kehadiran vaksin membantu memperkuat antibodi dan meningkatkan kekebalan imunitas tubuh.
"Vaksinasi tidak bisa menghalangi masuk kuman, tetapi vaksinasi COVID-19 dalam satu waktu membuat 2/3 kelompok masyarakat dari 270 jiwa melindungi dari terpapar virus," katanya. (eno)