PENYIDIK INDEPENDEN KPK

Konten dari Pengguna
2 Oktober 2017 13:37 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usurna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya teringat tahun 1993 saat pertama kali saya masih sekolah di Akpol dengan pangkat Sersan Taruna atau taruna tingkat II, itulah untuk pertama kalinya saya berlatih memeriksa seseorang dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
ADVERTISEMENT
Menggunakan mesin tik manual bergandaran besar, kami berlatih dua jam sehari dengan menggunakan 2 karbon untuk mendapatkan 3 hasil ketikan BAP.
Selama 3 bulan kami mengulang dan mengulang membuat pertanyaan dan jawaban sesuai dengan skenario yang dibuat oleh para pelatih di Akpol.
Masih sangat sederhana, hanya tentang SIADI DEMEN BABI yaitu Siapa, Dimana, Dengan Menggunakan Apa, Bagaimana dan Bilamana.
Setelah 3 bulan belajar mengarang pertanyaan dan jawaban, meningkat pada sesi bertanya beneran, alias berhadapan dengan teman yang pura-pura menjadi pihak yang diperiksa.
Inipun membutuhkan 2-3 bulan, kadang-kadang jengkel karna temen suka-suka dalam memberikan jawaban yang kadang tidak sesuai dengan skenario dari pelatih.
Apakah lancar mengetiknya? Jangan membayangkan program MS Words seperti saat ini yang tinggal pencet back space untuk menghapus kesalahan ketik, bahkan cairan penghapus (tipe ex) saja masih susah belinya😅.
ADVERTISEMENT
Tak tik tuk suara mesin ketik menjadi nada yang saat-saat sekarang ini dirindukan.
Tahun 1994 hingga 1995 saya naik pangkat menjadi Sersan Mayor Taruna atau Taruna tingkat III. Kami diberikan latihan praktek ke polres dan polsek di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Saat itu kami diberikan kesempatan untuk menjadi Polisi sungguhan bergiliran semua fungsi yaitu Reserse, Intelejen, Lantas, Binmas dan Sabhara.
Saat mendapatkan giliran menjadi reserse, kami mulai benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang perperkara di kantor polisi namun sebatas memeriksa pelapor dan saksi, itupun bersandingan bersama penyidik pembantu Polri beneran yang melakukan pemeriksaan, posisi kami dimana? Kami di meja sebelah penyidik pembantu tersebut sambil mengetik hal yang sama yang diketik oleh penyidik pembantu tersebut. Nah hasil ketikan kami akan dinilai oleh kanit atasan penyidik pembantu, alias masih untuk kepentingan latihan saja.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan waktu pelantikan, 1995 bulan Juli, saya dan teman-teman diberikan pangkat Letnan Dua atau Inspektur Dua untuk pangkat saat ini. Setahun dilalui menjadi Perwira Remaja yaitu sudah perwira namun masih di lembaga pendidikan untuk menambah bekal sebagai anggota Polri dan setahun penuh hanya praktek saja. Termasuk pada fungsi reserse, kami sudah pada tataran menangani kasus dan memberkas kasus, hanya pada kasus-kasus pidana umum yang ringan pembuktiannya.
Setelah praktek selama satu tahun, pada tahun 1996 saya ditempatkan di Polda dan polres sebagai perwira samapta selama 2 bulan saja dan setelah itu hingga saat ini saya keluar masuk di fungsi reserse dari tingkat Polsek hingga Bareskrim, dari kanit di Polda hingga Direktur.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia tindak pidana, suatu peristiwa pidana dibagi berdasarkan tingkat kesulitannya.
Pidana paling mudah pembuktiannya adalah pidana umum yaitu yang banyak terjadi dalam kehidupan keseharian masyarakat seperti saling memaki, penganiayaan, pencurian dan lain sebagainya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tingkat kedua adalah yang biasa dikenal dengan nama White Color Crime atau kejahatan Kerah Putih, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan karena memiliki suatu keahlian atau jabatan atau posisi tertentu, biasanya diatur dalam undang-undang tertentu diluar KUHP, misalnya illegal mining, illegal fishing, Perdagangan Orang, Narkotika dan lain sebagainya
Tingkat tertinggi dan tersulit adalah Tindak Pidana Extra Ordinary Crimes atau tindak pidana yang luar biasa, diantaranya adalah Tindak Pidana Korupsi, dimana efeknya negatifnya sangat luar biasa bukan hanya dari kerugian materi namun juga efek ke negara dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika menjadi seorang penyidik tindak pidana umum saja membutuhkan waktu yang panjangan sehingga bukan hanya menguasai teori dan praktek namun juga terbangunnya insting penyidik, bagaimana menangani tindak pidana korupsi yang termasuk kejahatan extra ordinary crime?
Apakah merasa cukup mengikuti pendidikan reserse dasar yang hanya 3 bulan kemudian merasa bisa menjadi penyidik tindak pidana korupsi?
Mengenai penyidik independen di KPK, masih menjadi perdebatan panjang baik dari sisi legal formal (insyaallah saya akan bahas tersendiri) maupun dari kemampuannya. Jika banyak pengamat memberikan argumen dari pemahaman asas legal formal saja, saya lebih tertarik membahas dari sisi kemampuannya.
Apakah para penyidik (independen) di KPK sudah cukup panjang jam terbangnya, bukan hanya pada penguasaan unsur pasal-pasalnya saja, namun juga dari sisi pengalaman dan terutama insting penyidik, sehingga berani menyebut diri penyidik tindak pidana korupsi?
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat hasil pekerjaan penyidik (independen) KPK.
Jujur saya saja saya tidak memiliki data tentang berapa keuangan negara telah dikembalikan oleh penyidik (independen) KPK selama mereka menjadi penyidik (independen) di KPK. Apakah sesuai dengan anggaran negara yang mereka pakai atau justru negara harus nombok karna besar pasak dari pada tiang, alias negara lebih banyak membiayai KPK dari pada banyaknya penyelamatan keuangan negara yang bisa dikembalikan oleh penyidik (independen) KPK.
Mari kita tanyakan kepada para penyidik (independen) KPK, ada berapa berkas mereka selesaikan yang menggunakan pasal bawah, yaitu pasal 2, 3 dan 5 UU Tindak Pidana Korupsi dibandingkan produksi berkas mereka dengan menggunakan pasal atas yaitu pasal 11 dan atau 12 atau publik lebih mengenal dengan sebutan OTT. Saya kok ngga yakin penyidik (independen) KPK banyak memproduksi berkas pasal bawah dari pada pasal atas.
ADVERTISEMENT
Dengan sangat terpaksa saya harus mengeluarkan argumen bahwa penindakan OTT di KPK hanya jalan singkat untuk mendapatkan panggung di masyarakat melalui media sehingga seolah penyidik independen adalah solusi bagi KPK untuk melepaskan diri dari Polri dalam penyediaan kebutuhan penyidiknya..
Yahh OTT menjadi penyelamat penyidik (independen) KPK karna OTT paling mudah namun paling mahal ongkos yang harus dibayar oleh negara. Berapa negara harus menginvestasikan dana untuk membeli alat-alat penyadap, perekam, pencari lokasi? Sementara saat OTT dilakukan, tidak serupiahpun uang negara bisa diselamatkan.
Bahkan lebih hebatnya lagi, bagian humas atau juru bicara KPK selalu meninabobokan para penyidik (independen) KPK dengan menyebut jumlah pihak yang bisa diamankan dan ditahan dan berapa jumlah uang yang bisa disita saat OTT....lho apa itu uangnya negara yang dikorupsi oleh koruptor ? tidak serupiahpun, itu uang orang yang nyogok ke pejabat.
ADVERTISEMENT
Jadi...apakah KPK sudah siap semua penyidiknya independen?
Mari kita selamatkan KPK
umar s fana (huruf kecil semua)