IKN Nusantara, Sebuah Jati Diri Kepemimpinan

Ubaidillah Amin Moch
Santri Kyai NU Yang ingin mengabdi untuk negeri, Bukan orang Baik, ingin menjadi baik
Konten dari Pengguna
21 Januari 2022 7:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ubaidillah Amin Moch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: H. Ubaidillah Amin Moch (pengasuh pondok pesantren Kaliwining Jember)
Desain Istana Kepresidenan karya Nyoman Nuarta di ibu kota baru. Foto: Dok. Nyoman Nuarta
Presiden Joko Widodo akan tercatat dalam sejarah nasional, sebagai tonggak sejarah baru, dengan memindahkan ibu kota dari pulau Jawa ke Kalimantan. Setelah itu terjadi, penulisan sejarah tentang ibu kota akan selalu menyebut Kalimantan di dalamnya. Narasi yang betul-betul baru akan disaksikan oleh generasi kita hari ini, dan generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Ibu kota negara tersebut diputuskan diberi nama Nusantara, karena selain ikonik juga memiliki konteks historis yang panjang. Nusantara tidak saja menjadi satu kosakata dalam naskah berupa babad, serat, kidung dan suluk melainkan juga kosakata yang telah dieksplorasi dalam kajian ilmiah, baik yang bercorak eropasentris maupun hasil karya anak bangsa. Ada pijakan ilmiah untuk menerima Nusantara sebagai nama bagi Ibu Kota baru kita.
Tidak saja persoalan historis, pemindahan dari Jawa ke Kalimantan juga bernilai simbolik. Pemaknaan simbolis ini bisa berupa bahwa ibu kota tidak harus di Jawa, tetapi juga boleh di luar Jawa. Sebagai turunannya, pemimpin negeri ini juga tidak harus dari Jawa melainkan boleh orang non-Jawa. Tentu tidak ada keterkaitan langsung. Tetapi, bila letak geografis ibu kota bisa diubah, maka perubahan alam pikir manusia tentang mitos kepemimpinan juga bisa direkonstruksi.
ADVERTISEMENT
Selama ini ada mitologi bahwa seorang pemimpin haruslah orang Jawa. Mitos ini bisa dimengerti setidaknya melalui dua alasan: pertama, karena letak ibu kota negara berada di atas pulau Jawa, sehingga mereka yang hidup di Jawa sudah terbiasa, terlatih, berurusan dengan politik kekuasaan. Jadi, ketika ada ajang perebutan kekuasaan, maka skill dan keahlian berpolitik sudah sangat matang, dewasa sekali.
Alasan keduanya adalah tingkat kepadatan penduduk di Jawa sangat tinggi, melebihi kepadatan di pulau-pulau lain. Bila potensi suara ini bisa dimobilisir ke dalam satu dukungan yang sama, yaitu orang-orang Jawa, maka kemungkinan besar untuk menang dalam pemilihan umum sangat besar. Itu juga terbukti dari perjalanan politik selama ini, di mana suara Jawa sangat menentukan perolehan akhir. Dari dua alasan mendasar ini, mitologi kepemimpinan Jawa di Indonesia menjadi sulit terbantahkan
ADVERTISEMENT
Peta politik nasional telah banyak berubah. Ibu kota negara disepakati bersama untuk dipindah. Dengan pemindahan semacam itu, budaya baru akan terbentuk. Alam pikir baru juga lahir. Nusantara akan mendapatkan pemaknaannya yang juga baru. Salah satunya tentang rekonstruksi mitologi kepemimpinan, bahwa pemimpin Indonesia tidak harus orang Jawa. Sebagai upaya untuk mengembalikan makna hakiki kebhinekaan.
Sejak era kemerdekaan di tahun 1945, para pemimpin negeri ini semuanya dari Jawa, sebut saja Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi. Sedangkan kepemimpinan B. J. Habibie hanya proses transisi semata. Jika pun Habibie hendak dipahami sebagai esensial, maka dominasi orang Jawa masih belum bisa disangkal. Karena hanya Habibie seorang di antara 7 presiden yang bukan Jawa.
ADVERTISEMENT
Pemindahan ibu kota ke Kalimantan, dengan begitu, bukan semata-mata pemindahan fisik, tetapi idealnya diikuti oleh pemindahan kesadaran berbangsa dan negara; dari yang jawasentris ke kebhinekaan. Tentu saja, arti kebhinekaan itu sendiri sangat kompleks. Tidak harus dipahami dari segi suku dan ras, misal antara Jawa dan non-Jawa. Lebih dari itu, kebhinekaan juga bisa dilihat dari segi agama, karena representasi kepentingan agama-agama di Nusantara sangat beragam.
Sebagaimana selama ini pemimpin berasal suku Jawa, para pemimpin negeri juga didominasi dari kalangan muslim. Sejak era kemerdekaan, semua pemimpin Indonesia adalah orang muslim, yaitu muslim Jawa. Sebagaimana tidak banyak representasi suku non-Jawa yang jadi pemimpin, begitu juga tidak pernah ada representasi pemimpin dari non-muslim. Ini semua realitas sosial-politik yang menjadi pengetahuan umum di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Pemindahan fisik Ibu Kota Negara idealnya melahirkan perubahan kesadaran sosial-politik. Di Indonesia, ada banyak suku dan agama, sehingga memberikan ruang kesempatan bagi mereka untuk eksis sama saja memasukkan ruh sejati kebhinekaan ke dalam kata Nusantara. Namun, harus disadari, perubahan mentalitas dan rohani dalam urusan sosial-politik semacam ini jauh lebih berat dari pada perubahan fisik berupa pemindahan ruang ibu kota negara.
Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, manusia luar Jawa tidak punya kekuatan literasi dan pembangunan yang sematang Jawa. Ini lazim sebagai konsekuensi sentralisasi pembangunan yang selama ini berpusat di Jawa. Jadi, di masa depan, penguatan literasi (dan) pembangunan di luar Jawa adalah modal utama untuk menggeser kosmologi dan mitologi kepemimpinan. Dengan begitu maka mengapa orang luar Jawa menjadi pantas untuk eksis sebagai pemimpin di negeri ini menjadi lebih mudah dipahami.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pematang kesadaran berpolitik orang luar Jawa juga harus ditingkatkan, sehingga kualitas dan kemampuan berpolitik menjadi seimbang dengan Jawa. Dua tantangan ini tidak bisa diwujudkan dengan bimsalabim, dalam tempo yang singkat. Tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Misalnya dengan memanfaatkan pemindahan fisik ruang ibu kota, perubahan kesadaran tentang arti kebhinekaan harus tercapai. Utopia macam ini harus diperjuangkan, karena jika berpijak pada sejarah masa lalu, kita temukan tak ada pemimpin dari non-Jawa dan non-muslim.
Alhasil, IKN Nusantara adalah sepenuhnya tentang hakikat jati diri kepemimpinan di negeri yang plural dan majemuk ini. IKN Nusantara akan gagal melahirkan perubahan mendasar apabila yang terjadi hanya sebatas perubahan ruang fisik, bukan perubahan mentalitas politik dan kebangsaan itu sendiri. Padahal, nilai-nilai ideal jauh lebih penting dari sekadar pencapaian fisik-material. Tentu kita berharap, kebhinekaan betul-betul memberikan kesempatan yang sama pada yang baru, walaupun tidak ada preseden apapun sebelumnya. Wallahu a'lam bis shawab.
Tokoh Muda NU