Jembatan dengan Anggaran Rp 400 Juta di Malang Hanya Bertahan 3 Bulan

Konten Media Partner
1 Februari 2020 16:03 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jembatan di Desa Gadingkulon yang ambruk pada Kamis (30/1/2020) lalu. (Foto: Khusnul Hasana)
zoom-in-whitePerbesar
Jembatan di Desa Gadingkulon yang ambruk pada Kamis (30/1/2020) lalu. (Foto: Khusnul Hasana)
ADVERTISEMENT
Malang – Tanda tanya besar seakan muncul di benak masyarakat Malang kala jembatan Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang baru berusia 3 bulan, ambruk diterjang air sungai Kamis (30/1/2020) lalu.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, Kepala Desa Gadingkulon, Wahyu Edi Priyanto, mengaku tidak tahu menahu tentang jembatan yang memakan anggaran Rp 400 juta tersebut bisa ambruk.
“Proyek (jembatan, red) dari Bina Marga sebagai penerima proyek. Terkait pendanaan kami tidak ikut mengawal karena tender ini kan punya kabupaten (Kabupaten Malang, red),” ujar Edi pada tugumalang.id ketika ditemui di lokasi robohnya jembatan, Sabtu (1/2/2020).
Untuk diketahui, jembatan tersebut merupakan bangunan yang telah dianggarkan dari APBD Kabupaten Malang guna untuk menghubungkan Desa Solorejo dengan Desa Gadingkulon. Jembatan itu juga baru usai dibangun pada Oktober 2019 silam. Namun karena arus sungai yang melewati Sungai Metro tersebut, bangunan tersebut ternyata roboh.
Selama pembanguan berlangsung mulai September 2019 hingga Oktober 2019 ia mengaku hanya membantu kelancaran dan keamanan pembangunan saja.
Pihak kontraktor dan binamarga mulai melakukan perbaikan di lokasi ambruknya jembatan di Desa Gadingkulon, Dau, Kabupaten Malang. (Foto: Khusnul Hasana)
Saat ditanya mengenai konstruksi bangunan, Edi tak mengetahui hal itu.
ADVERTISEMENT
“Kalau dari saya yang jelas masalah bencana. Saya kurang tahu mengenai konstruksi,” ungkapnya.
Meski ia tak mengetahui bagaimana pendanaan dalam pembangunan tersebut, Edi mengatakan bahwa pihaknya lah yang mengajukan permohonan pembangunan jembatan itu kepada Pemkab Malang.
Awalnya jembatan tersebut merupakan jembatan biasa. Ukurannya pun tak sebesar jembatan sekarang. Bangunan jembatan merupakan bangunan kuno dengan tumpukan bata merah. Meski demikian jembatan itu tak pernah rusak.
Edi lalu mengajukan permohonan pembangunan kepada Pemerintah Kabupaten Malang. Setelah itu, pada September 2019, permohonan tersebut dikabulkan oleh Pemkab Malang.
“Mengajukan pembangunan ini sudah lama, baru dibangun September kemarin,” imbuhnya.
Jembatan tersebut juga bukan merupakan jembatan akses utama masyarakat yang ada. Jembatan tersebut hanya akses petani menuju ke kebun jeruk.
ADVERTISEMENT
“Kalau di sana ada jembatan swadaya masyarakat, dibangunnya dari masyarakat sendiri,” tutur Edi sembari menerangkan ada jembatan lain yang tak ambruk karena derasnya air pada hari bersamaan dengan ambruknya jembatan.
Ia menyatakan bahwa untuk sementara ini pihaknya akan menyediakan jembatan alternatif untuk akses sementara untuk motor.
“Sementara ini akan dibangun jembatan darurat. Ini sudah disiapkan materialnya. Untuk jembatannya (yang ambruk) nanti akan dibangun ulang,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PU Bina Marga Kabupaten Malang Romdhoni sebelumnya mengatakan bahwa robohnya jembatan itu karena arus sungai yang begitu deras.
“Kemarin kan Gunung Butak mengalami kebakaran, jadi hutan yang seharusnya menyerap air sekarang jadi padang Savana,” kata Romdhoni, Jumat (31/1).
Karena material lumpur dan bebatuan yang dibawa oleh arus sungai tersebut,menjadikan fondasi bangunan jembatan tidak kuat untuk menyangga, dan akhirnya roboh.
ADVERTISEMENT
“Belum lagi fondasi jembatan tergerus sedalam 3 meter yang sebelumnya sedalam 5 meter,” pungkasnya.