Penghasilan Rp 10 Ribu per Hari, Wanita di Gunungkidul Rawat Anaknya yang Lumpuh

Konten Media Partner
29 September 2020 16:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yatmi (depan) dan Karjiyem saat ditemui di rumahnya di Padukuhan Ngondel Kulon RT 04, Kalurahan Krambil Sawit, Kapanewonan Saptosari Gunungkidul, Selasa (29/9/2020). Foto: Erfanto/Tugu Jogja.
zoom-in-whitePerbesar
Yatmi (depan) dan Karjiyem saat ditemui di rumahnya di Padukuhan Ngondel Kulon RT 04, Kalurahan Krambil Sawit, Kapanewonan Saptosari Gunungkidul, Selasa (29/9/2020). Foto: Erfanto/Tugu Jogja.
ADVERTISEMENT
Yatmi (31), warga Padukuhan Ngondel Kulon RT 04, Kalurahan Krambil Sawit, Kapanewonan Saptosari, Gunungkidul ini kesehariannya hanya terduduk di kursi roda. Posisinya pun tak terduduk dengan sempurna karena kakinya sama sekali tak bisa ditekuk. Tangannya pun tak bisa digerakkan akibat penyakit yang dideritanya sejak lahir
ADVERTISEMENT
Jika makan, Yatmi harus disuapi oleh orang lain. Untuk buang air besar dan buang air kecil, Yatmi harus dibantu oleh ibunya Karjiyem (63). Jika ditinggal pergi ke pasar oleh Karjiyem, Yatmi buang air kecil dan buang air besar hanya 'ngebrok' atau di kursi roda ataupun tempat tidurnya
Beban berat memang harus ditanggung oleh Karjiyem (63), di usianya senja seperti sekarang ini, ia harus tetap mencari nafkah sembari merawat anak ketiganya yang mengalami kelumpuhan akibat penyakit polio yang dideritanya sejak lahir.
Setiap hari Karjiyem harus mengurus anak ketiganya, Yatmi (31) yang sama sekali tak bisa beraktivitas. Sepanjang hari, Yatmi harus berada di kursi roda ataupun tidur di tempat tidur lusuh miliknya. Ketika mau buang air besar ataupun kecil, Karjiyem harus membopong anaknya tersebut ke kamar mandi.
ADVERTISEMENT
"Kalau makan harus disuapi. Tetapi alhamdulillah, apa saja mau makan," ujar Karjiyem, saat ditemui, Selasa (29/9/2020).
Tak hanya itu, Karjiyem juga harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan anaknya tersebut. Setiap hari Karjiyem harus berangkat ke Pasar Playen Gunungkidul pukul 01.00 WIB untuk berjualan sayuran. Wanita renta ini harus menempuh perjalanan cukup jauh sekitar 35 kilometer (km) untuk pergi ke Pasar Playen.
Tak banyak sayuran yang ia bawa ke pasar untuk dijual kembali. Ia hanya mampu membawa dedaunan yang laku dijual seperti daun singkong ataupun sawi hijau untuk dijual. Sesekali Karjiyem membawa buah Nangka Muda yang sudah dipotong kecil-kecil.
"Sudah tua, ndak bisa bawa kalau banyak. Tidak seperti waktu muda dulu," ujar Karjiyem.
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang ia dapat dari berdagang sayuran di Pasar Playen. Dari sayuran yang ia beli Rp 60 ribu dari para tetangga, Kartiyem mengaku akan mendapat uang Rp 100 ribu. Namun keuntungan Rp 40 ribu tersebut harus dipotong untuk ongkos naik mobil milik tetangganya sebesar Rp 30.000. Ia bersama tetangganya memang selalu berombongan ke pasar Playen dengan ongkos patungan perorang Rp 30.000.
"Ya berarti sehari hanya Rp 10 ribu saja," ungkapnya lirih.
Meski demikian, profesi yang telah ia jalani puluhan tahun tersebut tetap harus ia lakukan karena tak ada lagi yang bisa ia tekuni untuk menyambung hidupnya. Suaminya sudah meninggal puluhan tahun yang lalu, tepatnya ketika Yatmi berusia 9 tahun.
ADVERTISEMENT
Sebuah beban tersendiri ketika Karjiyem harus meninggalkan anaknya di rumah untuk berjualan di pasar Playen. Sebenarnya Yatmi tinggal di dekat saudaranya atau anak keduanya yang juga terkadang membantu Karjiyem mengurus Yatmi. Namun saudara tua Yatmi tersebut kini memiliki anak yang masih balita dan terkadang harus membantu suaminya mencari nafkah, sehingga Yatmi sering tinggal sendirian di rumahnya.
Jika Yatmi sendirian, Karjiyem pasti pulang ketika matahari baru beranjak dari peranduan. Namun ketika Yatmi ditemani saudara kandungnya maka Karjiyem bisa lebih leluasa untuk berdagang di Pasar Playen.
"Kalau Yatmi ada temannya, saya bisa pulang sekitar pukul 09.00 WIB untuk mengurus Yatmi kembali," terangnya.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Karjiyem agar anaknya bisa sembuh dan beraktivitas normal seperti yang lainnya. Mulai dari rumah sakit, tabib, kyai hingga orang pintar telah ia datangi untuk berobat, namun tak ada yang manjur membuat anaknya normal.
ADVERTISEMENT
Kini di usia senja ia pasrah dengan kondisi anaknya tersebut. Terlebih bantuan pemerintah tak pernah ada yang sampai ke tangannya kecuali kursi roda dari Dinas Sosial. Wanita ini pun tak banyak berharap kepada pemerintah agar memberi perhatikan lebih kepada puterinya tersebut.
"Pasrah saja. Terserah pemerintah saja, saya coba menanggungnya sekuat tenaga," jawabnya singkat.
Tempat tinggal Karjiyem dan Yatmi adalah bangunan semi permanen berukuran 9x12 meter persegi. Dan beberapa bulan yang lalu nyaris roboh karena lapuk dimakan usia. Dan warga sepakat merobohkannya karena dinilai membahayakan Karjiyem dan anaknya. Namun keduanya mengalami kesulitan untuk membangun kembali rumah yang telah dirobohkan tersebut.
"Ndak ada duit. Mau mbangun gimana," keluh Karjiyem.
Ketua RT 04 Padukuhan Ngendol Kulon Kalurahan Krambil Sawit, Murdiyanto (43) menuturkan, warganya tersebut sama sekali tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Dia berharap agar pemerintah lebih perhatian terhadap masyarakat yang bernasib sama dengan Yatmi dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
"Ya mohon dibantu dan diberi perhatian lebih. Seperti Mbah Karjiyem ini tidak ada yang membantu lagi," harap Murdiyanto.