Kisah Insipratif Guru SD di Gunungkidul Tempuh Ratusan Kilometer untuk Mengajar

Konten Media Partner
24 Juli 2020 13:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jumidah, guru SD N Wonolagi, Gunungkidul. Foto: Erfanto.
zoom-in-whitePerbesar
Jumidah, guru SD N Wonolagi, Gunungkidul. Foto: Erfanto.
ADVERTISEMENT
Banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Gunungkidul merupakan para Penglajon (datang ke Gunungkidul dari Kabupaten lain hanya untuk bekerja). Mereka rela menempuh jarak puluhan hingga ratusan kilometer untuk memenuhi kewajibannya setiap hari di Gunungkidul. Datang pagi dan pulang sore hari menjadi rutinitas kaum penglaju ini.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Jumidah (51), guru kelas 1 SD N Wonolagi yang kini sudah berstatus PNS. Wanita yang telah memiliki dua orang cucu rela menempuh ratusan kilometer untuk bisa sampai ke tempatnya mengajar. Jarak dari rumahnya Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman dengan sekolahnya di SDN Wonolagi, Padukuhan Ngleri, Kalurahan Ngleri, Kepanewonan Playen, cukup jauh.
Sejuta kenangan menyertai perjuangan ibu dari satu anak ini untuk tetap bisa mengajar di sejumlah SD di Gunungkidul. Sebab, hampir 23 tahun ini ia menempuh perjalanan dari rumahnya di seputaran kantor TVRI Yogyakarta yang berada di jalan Magelang hingga tempatnya mengajar di wilayah pelosok Gunungkidul.
Wanita ini mengaku hampir setiap hari ia harus menempuh perjalanan puluhan kilometer menembus dinginnya pagi untuk sampai ke SD N Wonolagi. Belum lagi kalau hari hujan, tentu perjuangannya bertambah berat.
ADVERTISEMENT
Meskipun jauh dan terkadang berat, ia mencoba menikmatinya. Ia mengaku sangat mencintai anak didiknya dan ingin melihat mereka berhasil suatu hari nanti. Dulu, sewaktu anaknya masih kecil sering mendapat protes karena jarang bertemu dengannya. Kini setelah memiliki cucu, ia mencoba menikmatinya.
Jumidah sendiri setiap hari berangkat pukul 05.00 WIB dari rumahnya. Ia harus menyiapkan kebutuhan anak dan suaminya sejak pukul 03.00 WIB. Karena baginya pantang untuk keluar rumah ketika kebutuhan anak dan suaminya selama sehari belum tersedia.
Sebelum salat subuh, ia harus sudah mandi dan berdandan pakaian seragam untuk berangkat ke sekolah. Dingin memang, namun ia mengaku selalu melakukannya karena ternyata mandi sebelum sholat subuh justru sangat bagus untuk kesehatan. Selepas subuh, ia sarapan kemudian memanasi motornya selama beberapa menit.
ADVERTISEMENT
"Ya harus berangkat, hujan atau panas," katanya, Jumat (24/7/2020).
Sekitar pukul 05.00 WIB, ia berangkat menggunakan sepeda motor seorang diri. Daripada melewati tengah Kota Yogyakarta, ia memilih menyusuri jalan ringroad sebelum akhirnya sampai di terminal Giwangan. Alasannya enggan melewati tengah kota adalah jalanan lebih ramai dan banyak lampu merah. Namun ketika melewati ringroad, ia merasa jalanan lebih lengang.
Sesampai di Terminal Giwangan, wanita kini kemudian menitipkan sepeda motornya di tempat penitipan yang sudah menjadi langganannya. Motor tersebut akan ia ambil kembali ketika pulang nanti. Ia lebih memilih menitipkan motornya dan naik kendaraan umum ke Gunungkidul, karena jalan menuju ke Gunungkidul cukup beresiko.
"Ongkosnya sehari Rp 3 ribu, lumayan murah sih wong 12 jam," ujar Jumidah ketika ditemui di sekolahnya, Jumat (24/7/2020).
ADVERTISEMENT
Dari terminal ia harus berganti naik bus umum Jurusan Jogja-Wonosari. Lagi-lagi ongkos harus ia keluarkan Rp 10.000 untuk sekali jalan sampai di perempatan Patuk Kepanewonan Patuk Gunungkidul. Selama hampir 1 jam, ia menikmati goyangan bus Jogja-Wonosari yang armadanya rata-rata sudah berusia lanjut. Bus Jogja-Wonosari memang masih banyak yang bertahan karena jasa para penglaju ini.
Di dalam bus itu terkadang ia gunakan untuk memejamkan mata, mengobati kantuknya yang telah terampas karena bangun jam 03.00 dinihari. Dengan tidur sebentar di dalam bus, kantuk dan lelahnya sedikit terobati sehingga ketika bertemu dengan anak didiknya bisa kembali fresh.
Begitu sampai di perempatan Patuk, Kernet Bus yang menjadi langganannya langsung membangunkannya. Ia pun bergegas turun mengambil sepeda motor yang telah ia titipkan di tempat penitipan motor langganannya. Sejak beberapa tahun mengajar, ia memang membeli dua sepeda motor untuk ditempatkan di Terminal Giwangan dan di Gunungkidul.
ADVERTISEMENT
"Satu di Giwangan dan satu di Patuk, Lha soalnya jalan menuju ke sekolah tidak ada kendaraan umum. Ada juga ojek, tapi mahal di ongkos," ungkapnya.
Di tempat penitipan sepeda motor perempatan Patuk, ia harus membayar Rp 40.000 selama 1 bulan. Ongkos tersebut cukup terjangkau karena sudah menjadi langganan. Dari tempat penitipan sepeda motor di perempatan Patuk, ia meneruskan perjalanan sekitar 5 kilometer menuju ke SD tempatnya mengajar.
Beruntung sekarang sudah ada jembatan Praon yang melintas di atas sungai Oya yang menghubungkan kepanewonan Patuk dengan Playen, sehingga perjalanannya lebih singkat. Namun tahun lalu, selama hampir 2 tahun ia harus memutar perjalanan lebih jauh 7 kilometer karena jembatan Praon ambruk diterjang arus sungai ketika terjadi badai.
ADVERTISEMENT
"Saya di sini sejak (SD Wonolagi) sejak November 2011. Kalau sekarang dari tempat penitipan hanya 15 menit, kalau pas jembatan ambruk kemarin harus memutar 1 jam lamanya," ceritanya.
Dia menjadi guru sejak tahun 1998 yang lalu. Sebelum ditempatkan di SD Wonolagi, ia sudah bertugas di SD Tambakromo Kepanewonan Ponjong. Selama 12 tahun ia menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk sampai ke SD Tambakromo. Ia juga sempat bertugas selama 1 tahun di SD N Gading Asri yang juga ada di Kepanewonan Playen.
23 tahun ia menikmati perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer untuk tetap bisa mengajar. Berbagai pengalaman ia dapatkan mulai dari ban bocor sehingga harus menuntun sepeda motornya cukup jauh. Pengalaman paling membekas di hatinya adalah ketika pulang dalam keadaan larut dalam kondisi hujan lebat dan listrik mati.
ADVERTISEMENT
"Terkadang saya harus nginep di sekolahan kalau situasi tidak memungkinkan untuk pulang," tambahnya.
Ia bahkan rela menyisihkan gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membantu operasional sekolah karena termasuk sekolah yang kekurangan murid. Seperti di SD Wonolagi, sangat kekurangan murid sehingga semua Guru PNS di sekolah itu rela menyisihkan gajinya untuk operasional sekolah.