Kisruh Deklarasi 2019 Ganti Presiden

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
3 September 2018 8:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaos Ganti Presiden 2019. (Foto: dok. Bekti Prasetya via Bukalapak)
zoom-in-whitePerbesar
Kaos Ganti Presiden 2019. (Foto: dok. Bekti Prasetya via Bukalapak)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tagar #2019GantiPresiden tidak muncul tiba-tiba. Tagar ini lahir dari rahim kegelisahan sebagian rakyat yang merasa kecewa terhadap kepemimpinan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Akibat dari pencabutan subsidi listrik dan BBM, mahalnya harga kebutuhan hidup, sulitnya cari pekerjaan, membuat sebagian rakyat mulai mempertanyakan kapabilitas Jokowi dalam memimpin bangsa ini.
Bukan hanya soal kemampuan, mereka juga meragukan integritas Jokowi ketika Indonesia banjir tenaga China ilegal, terjadinya premanisme hukum dan persekusi ulama, juga sejumlah janji politik yang dianggap sengaja tak ditunaikan.
Akibat dari ini semua menjadi antiklimaks bagi sebagian rakyat untuk tidak saja melakukan evaluasi dan kritik, tapi menarik dukungan kepada Jokowi untuk memimpin kembali negeri ini di tahun 2019-2024.
Soal kecewa rakyat yang kemudian mengambil ekspresi gerakan tertentu adalah hal yang biasa dalam proses berdemokrasi. Semua presiden Indonesia menghadapinya. Hanya beda presiden, beda cara menanganinya.
ADVERTISEMENT
Tak ada presiden, di manapun dan kapan pun, yang mampu memuaskan semua rakyatnya. Ada yang merasa puas, tapi tak sedikit yang merasa tidak puas. Itu hukum sosial.
Tagar #2019GantiPresiden yang kemudian mengambil pola gerakan deklarasi adalah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan sebagian rakyat kepada pemimpinnya. Sepatutnya direspon secara wajar. Tak perlu berlebihan. Sebab, jika dosisnya berlebihan, justru akan jadi kontraproduktif. Gerakan ini akan makin membesar dan merepotkan presiden sendiri.
ADVERTISEMENT
Deklarasi #2019GantiPresiden dimulai di Car Free Day (CFD) Jakarta sebagai testimoni. Dapat respon positif. Antusiasme masyarakat cukup besar.
Sukses di CFD Jakarta, deklarasi #2019GantiPresiden berlanjut di kota-kota besar lainnya. Mulai dari Solo, Medan, Batam, Pekan Baru, Surabaya dan lainnya.
Kehadiran deklarasi 2019GantiPresiden mulai jadi magnet berita. Tidak hanya media, lembaga survei pun tertarik memotret datanya. Median merilis survei bahwa jumlah masyarakat yang ingin ganti presiden naik angkanya. Dari 46,4% di bulan April jadi 47,9% di bulan Juli. Naik 1,5%.
Data ini menyimpulkan bahwa deklarasi #2019GantiPresiden mengancam elektabilitas Jokowi untuk Pilpres 2019. Dengan data ini memaksa istana, mau tidak mau, harus merespon. Ini keniscayaan politik. Bagaimana respon istana?
Perang opini di media kemudian jadi sarana pihak pendukung istana untuk melawan deklarasi #2019GantiPresiden. Di awal-awal, perang opini masih tampak datar. Eskalasi debatnya masih wajar dan normal. Tak beda dengan debat yang lain.
ADVERTISEMENT
Perdebatan mulai panas dan tinggi eskalasinya ketika ada pihak yang menganggap bahwa deklarasi #2019GantiPresiden itu makar. Mengacaukan masyarakat.
Makin panas lagi, ketika sejumlah acara deklarasi tidak dapat ijin, dihalangi, bahkan dipersekusi. Kasus di Batam, Pekanbaru, dan Surabaya berhasil memperbesar gelombang berita deklarasi #2019GantiPresiden. ILC tertarik mengangkat tema ini (28/8). Tapi gagal tayang. Kenapa? Hanya Karni Ilyas dan Tuhan yang tahu.
Banyak pihak menganggap penguasa mulai over dosis. Apalagi deras anggapan publik bahwa persekusi itu melibatkan aparat dari institusi tertentu secara struktural dan menggunakan jasa ormas maupun preman.
Sweeping kaos #2019GantiPresiden oleh gerombolan orang di jalanan membuat situasi makin tak kondusif. Ini tentu akan mencoreng wajah demokrasi Indonesia yang sudah membaik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, deklarasi #Jokowi2Periode dan #2019TetapJokowi mendapatkan ruang kebebasan yang nyaman. Tak ada kekisruhan dan persekusi. Semakin dirasakan oleh sebagian rakyat betapa ada perlakuan yang berbeda.
Tidakkah demokrasi, menurut J.J. Rousseau, mensyaratkan adanya unsur equal (kesamaan) dan freedom (kebebasan). Diperlakukan secara sama dan ada kebebasan. Selama kebebasan itu tidak melanggar aturan hukum yang ada, maka harus diberikan jaminan keamanan.
ADVERTISEMENT
Secara hukum, deklarasi #2019GantiPresiden tak melanggar. Para pakar hukum mengatakan demikian. Curi start kampanye? KPU dan Bawaslu tak melarang. Pernyataan pakar hukum, KPU, dan Bawaslu ini mestinya menjadi dasar membangun opini dan mengambil tindakan.
Maka, pernyataan bahwa deklarasi #2019GantiPresdiden itu makar, mengacaukan masyarakat, dan mengancam stabilitas tak lebih dari opini dalam perdebatan politik. Satu dengan yang lain bisa membangun asumsi dan argumentasinya. Tak ada hubungannya dengan pelanggaran hukum.
Yang pasti, deklarasi #2019GantiPresiden tidak menguntungkan buat penguasa. Jadi ancaman. Hasil survei memberikan angka ganti presiden selalu lebih tinggi dari Jokowi dua periode.
Dari semua data ini, maka simple saja membuat kesimpulan. Bahwa deklarasi #2019GantiPresiden bukan ancaman terhadap keamanan, tapi ancaman buat elektabilitas incumbent. Ini persoalan utamanya. Semua opini dan debat bersumber dari sini, lalu mengambil narasi hukum dan keamanan. Padahal, secara substansial, tidak ada kaitannya dengan soal hukum dan keamanan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan persekusi? Secara hukum itu pelanggaran. Sebab, mengganggu hak kebebasan berpendapat adalah pelanggaran hukum. Kenapa tidak ditindak? Tanya aparat dong.
Ada pihak yang berpendapat bahwa para deklarator #2109GantiPresiden itu lebih dulu melanggar hukum, maka kami hadang. Kami persekusi. Kami gebuk.
Di dalam ungkapan tersebut ada kesalahan nalar. Pertama, bahwa untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran hukum itu sumbernya undang-undang. Bukan opini. Kalau pelanggaran parameternya itu opini, apalagi opini para politisi yang bukan ahli hukum, kacau negara ini. Kedua, yang berhak melakukan pencegahan itu aparat. Dalam konteks ini adalah polisi. Tentu berbasis pada KUHP dan KUHAP yang berlaku. Bukan ormas, politisi, apalagi preman.
Akibat opini politik yang dijadikan legal standing untuk penghadangan, sweeping dan melakukan persekusi terhadap kebebasan berdemokrasi justru ini yang jadi sumber primer adanya kekisruhan dan kekacauan itu. Jadi, kekisruhan dan kekacauan itu faktor penyebabnya bukan deklarasi 2019GantiPresiden. Itu keliru. Faktor utamanya karena ada persekusi.
ADVERTISEMENT
Secara politik, respon yang overdosis terhadap deklarasi 2019GantiPresiden justru merugikan incumbent. Jika ini terus terjadi, maka akan jadi faktor penggerusan yang serius terhadap elektabilitas incumbent. Terlibat atau tidak terlibat penguasa di dalamnya, dampak dari semakin besarnya kekisruhan akibat respon over dosis itu akan semakin membuat elektabilitas incumbent tergerus.