Wajah Ideal Amien Rais sang Bapak Reformasi

3 Juni 2017 7:02 WIB
ADVERTISEMENT
Amien Rais saat memberi keterangan di rumahnya (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
“Saudara sekalian, tolong jangan dipelintir ya. ‘Amien Rais terlihat sayu dan pucat,’ jangan, wong saya tidak pucat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Diapit anak laki-lakinya, Hanafi Rais, dan mantan petinggi partai yang didirikannya, Drajad Wibowo, laki-laki berumur 73 tahun itu kembali menjadi episode utama politik nasional.
Beberapa waktu terakhir, persona Amien Rais kembali menguat sebagai pihak yang vokal mengkritik jalannya pemerintahan. Memang, namanya tak pernah benar-benar hilang dari pemberitaan media.
Amien berkali-kali muncul, seperti pada aksi-aksi yang menuntut proses hukum Ahok berjalan lancar. Sejak Oktober tahun lalu, Amien konsisten mengikuti hampir semua aksi bertajuk 212, 112, dan 313 tersebut.
Namun, nama Amien Rais betul-betul kembali menjadi target pertanyaan beberapa hari terakhir, meski bukan untuk alasan yang membanggakan.
ADVERTISEMENT
Ia diduga menerima uang senilai Rp 600 juta yang bersumber dari dana alat kesehatan. Rangkaian kasus tersebut terjadi sekitar 10 tahun yang lalu.
Apabila tuduhan tersebut ternyata benar, sungguh ironis mengingat perjalanan dan citra yang selama ini dibangun Amien sebagai aktivis yang anti kebobrokan politik.
Amien Rais (kiri) saat bersama Gus Dur. (Foto: Wikimedia Commons)
Putra Muhammadiyah
Sedari muda, Amien Rais sudah menunjukkan obsesi berorganisasi dan menjadi unggul di dalamnya. Saat masih menjadi mahasiswa, Amien Rais tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan dipercaya menjabat sebagai sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI Yogyakarta.
Pilihan politik mudanya yang selalu dekat dengan Muhammadiyah ini dapat dimengerti. Ia berasal dari keluarga yang memang dekat dengan kelembagaan Muhammadiyah. Lahir dari pasangan Suhud Rais dan Sudalmiyah, Amien dididik disiplin lewat nilai-nilai Islam yang kental.
ADVERTISEMENT
Ibunda Amien, Sudalmiyah, adalah seorang guru, mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Sementara kakek Amien, Wiryo Soedarmo, adalah salah satu pendiri Muhammadiyah di Gembong, Jawa Tengah. Maka tak heran, Amien menghabiskan bangku Sekolah Dasar hingga SMA di sekolah Muhammadiyah.
Langkah politik pertamanya pun tak jauh-jauh dari Muhammadiyah. Tak hanya tergabung dalam HMI, Amien Rais yang berkuliah di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ini juga salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saat masih mahasiswa.
Ketika berkuliah, Amien juga cukup aktif di dunia pers mahasiswa. Sembari berkuliah ganda di IAIN Sunan Kalijaga untuk tetap dekat dalam keilmuwan Islamnya, Amien merupakan penulis kolom rutin tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan Harian Kami di Jakarta. Amien dikenal sebagai penulis yang produktif dan cukup tajam dalam menyikapi berbagai hal.
ADVERTISEMENT
Akademisi Sejati
Usai menyelesaikan pendidikan sarjana, Amien Rais melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat. Selepas itu, ia juga pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Gelar Ph.D dalam ilmu politik ia dapatkan kemudian di Chicago University, Amerika Serikat. Tahun 1988-1989, ia juga mengikuti program post-doctoral degree di George Washington University, AS.
Menjadi akademisi memang pilihan Amien Rais --agaknya melanjutkan tradisi turun-temurun dari orang tuanya. Sekembalinya dari S2, Amien Rais berkarier sebagai dosen di almamaternya sendiri, UGM. Profesi tersebut ia teruskan hingga bertahun-tahun setelahnya, hingga ia menjadi guru besar di kampus rakyat tersebut.
Meski begitu, Amien Rais di masa produktifnya sama idealisnya dengan saat berada di masa-masa perkuliahan. Amien tak hanya berdiri di menara gading.
ADVERTISEMENT
Ia masih meneruskan kegiatan ber-Muhammadiyah-nya, yaitu menjadi pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menjadi wakil ketua di tahun 1991, dan pada akhirnya ditunjuk menjadi ketua pada tahun 1995 hingga 2000. Ia juga aktif menjadi peneliti senior di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Amien juga mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), sebuah lembaga pengkajian dan penelitian yang mencermati masalah strategis bangsa dari perspektif masyarakat lemah. Dari sinilah Amien disebut-sebut turut merancang lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) --yang mengikutsertakan nama-nama kondang seperti Moeljoto Djojomartono hingga Ahmad Syafi’i Maarif.
Di masa-masa ini pulalah pemikiran Amien yang tajam itu berkembang. Salah satu yang paling mencolok adalah gagasan suksesi yang mulai ia publikasikan sejak 1993. Sederhananya, gagasan tersebut lahir dari kosakata Bahasa Inggris, succession, yang diartikannya sebagai penyegaran dan pergantian unsur-unsur kepemimpinan nasional, menyangkut presiden hingga orang-orang yang berada di kursi legislatif.
ADVERTISEMENT
Gagasan ini tergolong berani pada konteks tahun tersebut. Amien melemparkan ide menggunakan rumus dasar balance sheet, menimbang-nimbang: lebih berat mana antara kebaikan yang dibawa pembangunan selama 30 tahun kekuasaan Soeharto, dan keburukannya. Meski mengakui ada kebaikan-kebaikan yang diraih, Amien menyoroti beberapa drawback seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan melempemnya proses demokratisasi.
Meski sempat dingin usai Sidang Umum MPR tahun 1993 yang antiklimaks, di mana Harmoko masih mengajukan Soeharto sebagai calon presiden dari Golkar --yang jelas tak bisa dikalahkan dengan keadaan legislatif masa itu, konsepsi suksesi Amien Rais makin kuat menemukan relevansinya dari tahun ke tahun.
Puncaknya adalah di tahun 1997-1998, di mana kondisi ekonomi Indonesia semakin memburuk bersama datangnya krisis di Asia, dan bangunan politik Soeharto yang kuat itu perlahan-lahan mulai runtuh.
ADVERTISEMENT
Amien Rais saat Reformasi 1998 (Foto: Istimewa)
Lokomotif Reformasi
Saat masyarakat luas turun ke jalan menuntut perubahan, Amien Rais sudah berdiri di depannya. Amien yang memang sangat fasih berbicara soal sosial politik, ditambah lagi dengan bekal keilmua dan konsepsi suksesi yang sudah ia bawa sejak lama, membuatnya mudah diterima berbagai golongan yang menuntut turunnya Soeharto.
Hasilnya, terjadi proses simbolisasi gerakan masyarakat dalam melawan Soeharto di diri Amien Rais. Berkali-kali ia mendapatkan ancaman dari berbagai pihak. Meski begitu, Amien tetap berada di tengah masyarakat --menjadi satu dari yang banyak, menjadi perwakilan dari masyarakat luas.
Sampai akhirnya Soeharto turun, muncullah foto legendaris itu. Amien yang duduk di atas mobil di depan Gedung DPR, diarak mahasiswa yang mengelu-elukannya. Sampai detik itu, Amien Rais berhasil memertahankan ideal ideologinya, menjadi mata badai dalam pergolakan politik yang, meski menggairahkan, tak jelas bakal ke mana lari dan tersungkurnya.
ADVERTISEMENT
Itu, tentu saja, cerita dulu...