Kita Tidak Berhak Menghukum Mati Seseorang meski Itu Herry Wirawan

Potan
Lulusan HI, kerja di Kolaborasi kumparan.
Konten dari Pengguna
1 April 2022 21:48 WIB
·
waktu baca 10 menit
Tulisan dari Potan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukuman mati. Foto: Dariush M/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukuman mati. Foto: Dariush M/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya tergugah ketika membaca judul berita ini: Fakta-fakta Kekejian Herry Wirawan yang Seharusnya Pantas Dihukum Mati.
ADVERTISEMENT
Apa kita punya hak menghukum mati seseorang?
Oke. Herry, sang pemilik pondok pesantren di Bandung itu, terbukti memperkosa 13 santriwatinya. 8 santriwati itu di antaranya hamil dan ada 9 bayi yang dilahirkan.
Dan Herry "hanya" divonis hukuman penjara.
Mari kita bayangkan apabila Herry dihukum mati.

Mata Dibalas Mata, Hanya Akan Buat Dunia Buta

Mahatma Gandhi (tengah). Foto: Getty Images
Mahatma Ghandi bilang, an eye for an eye makes the whole world blind. Founding father India itu meyakini bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan, hanya akan menciptakan kekerasan lainnya. Sehingga untuk memutus rantai kekerasan tersebut adalah dengan tidak membalasnya dengan kekerasan. Sebab jika tidak diputus yang tercipta adalah keyakinan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan juga, tidak ada jalan lainnya.
ADVERTISEMENT
Atau jika diartikan secara harfiah, ketika satu mata si A dilukai, adil rasanya bila si B juga dilukai matanya. Namun, mengapa berhenti dengan satu, sekaligus saja keduanya sebagai bentuk hukuman karena memulainya.
Terima? Si B mungkin iya, namun bagaimana dengan kerabatnya, rekannya, atau loyalisnya? Apalagi ketika si B sudah dibuat buta sepenuhnya dengan alasan keadilan karena ia yang memulainya, sehingga bukan tak mungkin akan ada si C yang akan membalaskan hukuman yang diterima si B itu kepada si A yang masih punya satu mata lagi. Hingga pada akhirnya ketika si A juga buta sepenuhnya, aksi membutakan mata tersebut berlanjut, meski si A dan si B sudah sama-sama buta sepenuhnya. Tidak menutup kemungkinan akan ada si D, si E, hingga si Z, atau dengan kata lain buta semuanya.
ADVERTISEMENT
Konsep mata dibalas mata inilah, yang secara sadar atau tidak, mendasari dari adanya hukuman mati. Ketika pelaku kejahatan telah menyebabkan hilangnya kehidupan orang lain, maka jika berdasarkan konsep ini baru adil rasanya jika balasannya adalah nyawa.
Maksud saya, apa alasan lainnya yang mendasari dari adanya hukuman mati. Apakah agar memberikan efek jera dan menjadi hal yang menakutkan sehingga mencegah kejahatan serupa terjadi lagi? Saya rasa tidak.
Kenapa? Sebab kita masih melihat banyaknya aksi terorisme dari wajah-wajah baru usai Imam Samudra dan pelaku teroris pada bom Bali 2002 lainnya yang dieksekusi mati pada tahun 2008 silam. Terkininya pun soal eksekusi mati pelaku terorisme kembali hanya tinggal menunggu tanggal mainnya saja bagi Aman Abdurrahman, seorang tersangka teroris yang divonis mati karena dinilai terlibat dalam peristiwa bom di Jalan MH Thamrin di awal 2016.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika diingat-ingat lagi, antara 2002 hingga 2016 tidak hanya dua peristiwa terorisme bom Bali dan bom di Jl MH Thamrin saja yang terjadi di Indonesia. Oh iya, jika kalian punya waktu lebih setelah ini, coba juga telusuri terkait hubungan kelompok teroris di 2002 (Jemaah Islamiyah) itu dengan yang di 2016 (Jamaah Ansarut Daulah (JAD)). Kalian akan menemukan benang merah bahwa mereka berasal dari organisasi yang dibentuk oleh orang yang sama, yakni Abu Bakaar Ba’asyir.
Perhatikan saja grafik di bawah ini, apakah kira-kira berbagai peristiwa terorisme yang terjadi tersebut merupakan bentuk dari terdapatnya efek jera dan fungsi deteren dari hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku terorisme? Saya rasa tidak.
ADVERTISEMENT
Grafik di bawah menampilkan setiap serangan teroris yang menggunakan bom atau bahan peledak sejak 2002 hingga 2018. Hasilnya ada sebanyak 166 serangan. Sementara jika disesuaikan sejak hukuman mati bagi pelaku bom Bali 2002 dilakukan pada 2008, ada sebanyak 90 insiden serangan teroris yang masih terjadi.
Meskipun demikian, mungkin akan ada yang bertanya, kalau tidak mati, lantas apa hukumannya bagi pelaku terorisme? Nah, terkait hal tersebut ada baiknya untuk dibahas terpisah, sebab tidak akan selesai jika hanya dibahas dalam satu tulisan saja.
Namun kembali, jika melihat data dan realitanya, hukuman mati dinilai tidak berhasil memutuskan rantai terorisme. Sehingga kerugian yang melekat dari terorisme pun tetap berlanjut, mulai dari ratusan nyawa yang meninggal hingga berbagai kerusakan materiel yang nilainya tak murah. Kalau pun aksi terorismenya belum terjadi, adanya hukuman mati pun tampaknya tak mampu mengobati mereka yang sudah terdoktrin hingga tercuci otaknya.
ADVERTISEMENT

Jika Sudah Dilakukan, Tak Ada Jalan untuk Mengubahnya

Ilustrasi meninggal dunia Foto: Shutterstock
Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, seberapa yakin Anda dengan sistem hukum dan peradilan yang ada di negara ini? Apakah Anda punya keyakinan tak terpatahkan bahwa sistem hukum kita itu sangat sempurna, sehingga layak memberikan hukuman yang tidak bisa ditarik lagi ketika sudah dilakukan?
Kalau saya jelas akan jauh dari kata yakin, mengingat bahwa di negara ini adalah negara yang berutang keadilan terhadap mereka yang dihilangkan tidak tanpa jejak sejak tahun 1998. Begitu pun negara ini juga yang membiarkan bebas berkuasanya mereka yang dinilai punya andil atas mereka-mereka yang hilang itu.
Atau yang terkininya saja kalau gitu. Coba tengok kasus Mba Minto. Lucu bukan, melihat bahwa ini adalah negara yang sama yang masih menerapkan hukuman mati, tapi buat banyak dahi mengernyit karena keanehannya dalam mengatasi kasus yang jelas seharusnya ditangani jadi satu.
ADVERTISEMENT
Lantas bagi saya, janggal rasanya untuk yakin 100 persen pada sistem yang lemah untuk menentukan hidup matinya seseorang.
Dan itu pun terbukti, bahwa banyak kasus di mana terpidana hukuman mati yang akhirnya dibebaskan dari hukuman itu, setelah akhirnya terbukti tidak bersalah atau tidak seharusnya dihukum mati. Di Amerika Serikat, berdasarkan data dari Amnesty International, sejak tahun 1973, setidaknya ada 184 orang terpidana mati yang akhirnya dibebaskan atau diringankan hukumannya. Adapun bila dipikirkan lebih dalam, artinya vonis pertama mereka yang merupakan hukuman mati itu adalah sebuah kesalahan. Luar biasa.
Selain itu, akibat tak mungkinnya untuk mengoreksi kematian bila sudah terjadi, hukuman mati pun juga menciptakan permasalahan baru lainnya. Yaitu, munculnya fenomena deret tunggu (waiting on death row). Fenomena itu adalah fenomena menunggu yang harus dilalui oleh terpidana mati sebelum akhirnya dieksekusi. Kalau boleh saya analogikan, itu adalah fenomena yang sama seperti antrean naik haji. Tapi bedanya kalau ini yang ditunggu adalah waktu eksekusi matinya.
ADVERTISEMENT
Menurut Institute Criminal Justice Reform (ICJR), fenomena deret tunggu ini di Indonesia bisa membuat terpidana mati menanti eksekusinya mulai dari 8 sampai 25 tahun sejak divoniskan. Mirisnya lagi, ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dialami oleh negara lain. Bahkan sekelas negara adidaya seperti Amerika Serikat pun juga menjadi korban dari buruknya sifat alamiah hukuman mati. Menurut Pusat Informasi Hukuman Mati AS, waktu tunggu umumnya lebih dari 10 tahun, bahkan paling lamanya adalah selama 25 tahun. Artinya, jika satu orang divonis mati pada 2022 di AS, kemungkinan paling cepat baru akan dieksekusi adalah di 2032.
Memang, jika melihat argumen pembelaannya, bahwa deret tunggu adalah salah satu alternatif untuk menghindari kesalahan dari hukuman mati, karena adanya kemungkinan proses hukum seperti grasi hingga komutasi pidana. Begitu pun dengan sebagai bentuk rehabilitasi yang efektif bagi para pelaku, karena jelas, siapa yang tak akan bertobat apabila tahu dirinya akan mati. Akan tetapi, pada praktiknya justru berbeda.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kisah Bahar Matar adalah salah satu contoh menyedihkannya dari bagaimana realita sebenarnya dari fenomena deret tunggu.Terpidana mati ini meninggal di lapas pada 2012 karena TBC, usai menanti eksekusinya sejak 1970.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Laporan dari ICJR yang mengutip temuan dari KontraS, menyebutkan terpidana mati di Indonesia ditempatkan di lapas, sehingga mereka berada di satu tempat yang sama dengan para warga binaan biasa lainnya.
Saya pertegas lagi. Di lapas, tempat yang sudah melebihi kapasitas dan rentan dengan tindak kekerasan itu.
Menurut laporan yang merupakan hasil wawancara dengan beberapa terpidana mati itu, para terpidana mati ditempatkan di sel yang minim pencahayaan dan terisolasi. Selain itu, karena terpidana mati ini adalah tahanan yang berbeda dengan warga binaan lainnya, yup memang betul mereka itu bukan warga binaan menurut aturan Indonesia, jadinya tak jarang mereka menerima diskriminasi, pengekangan, bahkan nihilnya akses kepada makanan dari luar hingga terbatasnya bahan bacaan yang bisa dibaca.
ADVERTISEMENT
Namun, anggap saja permasalahannya bukan soal fasilitas dan para terpidana mati punya tempat tersendiri yang membinanya selama masa tunggu dan akhirnya dianggap sudah lebih baik dari sebelumnya. Menurut Anda apakah masih tepat untuk menghukum mati terpidana tersebut? Dan apabila tidak, bukankah artinya hukuman mati itu berubah menjadi pembinaan, layaknya hukuman kurungan seperti biasa? Jadi, buat apa masih ada hukuman mati?
Lagipula, bila memang masa tunggu itu diciptakan demi tujuan tersebut, bukankah secara tak langsung menghilangkan urgensi dari adanya hukuman mati itu sendiri? Itu kenapa sekali saya katakan, bila sistem hukum itu rentan dengan kesalahan buat apa menghilangkan kesempatan untuk merevisi.
Oh iya, kasus PTSD atau trauma yang terjadi pada para pembuat keputusan hukuman mati itu juga nyata adanya loh. Jadi di mana manfaatnya hukuman mati?
ADVERTISEMENT

Mengganggu Hubungan Baik dengan Negara Lain

Ilustrasi wisata bersama keluarga. Foto: Shutterstock
Tahukah kalian berapa banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati di negaranya? Bila tidak, ini saya beritahu. Per April 2021 ada 108 negara. Sisanya, yakni 92 (Indonesia salah satunya, begitu juga negara dengan rezim otoriter lainnya seperti Korea Utara dan China) negara masih memiliki hukuman mati sebagai salah satu hukuman bagi pelanggar hukum di negaranya.
Lantas, akibat disparitas antara negara yang masih memiliki hukuman mati dengan yang sudah menghapuskannya, benturan pun bisa terjadi.
Contohnya begini, anggap saja ada si A yang merupakan seorang warga negara dari negara yang sudah menghapuskan hukuman mati ditangkap di negara B. Kebetulan, negara B ini masih memiliki hukuman mati sebagai bentuk hukuman di sistem peradilannya. Apesnya, hukuman mati itu ternyata dijatuhkan ke si A.
ADVERTISEMENT
Lantas, negara si A tak terima karena menurut mereka hukuman tersebut tidak adil untuk diberikan kepada si A. Namun negara B ini tidak mempedulikan permohonan si A atas nama menegakkan hukum yang ada di negaranya. Padahal si A ini mendapat dukungan secara nasional dari negaranya. Bahkan ada dukungan secara tak langsung dari dunia yang mengecam hukuman mati yang di negara B. Namun, pada akhirnya bagi negara B hal tersebut tidak mencegah dirinya untuk mengeksekusi mati si A.
Menariknya, contoh yang saya sampaikan di atas merupakan penggambaran yang memang berasal dari kejadian nyata yang terjadi pada 2015. Lebih, tepatnya dari drama protes hukuman mati bagi 2 tersangka Bali Nine yang berasal dari Australia. Mereka adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang tertangkap di Bandara Ngurah Rai saat berusaha selundupkan heroin seberat 8,3 kilogram.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia yang kala itu belum lama menerapkan hukuman mati bagi pengedar narkoba, mendapat tekanan besar dari pemerintah dan warga Australia untuk membebaskan warga negaranya tersebut dari hukuman mati. Kala itu, beragam protes dari masyarakat bisa dilihat di media sosial tagar #BoycottBali. Bahkan Perdana Menterinya kala itu, Tony Abbott, sempat mengatakan bahwa hubungan Australia dengan Indonesia tidak akan sama lagi akibat peristiwa tersebut. Di waktu yang bersamaan pun negeri kangguru itu juga menarik dubesnya dari Indonesia.
Oh iya, dari salah satu sumber pun menyebutkan bahwa Abbot menginginkan Indonesia membebaskan warga negaranya itu dari hukuman mati sebagai bentuk balas budi atas bantuan yang diberikan saat tsunami Aceh pada 2004.
Meskipun begitu, ada beberapa yang menilai tindakan Abbot dalam menanggapi hukuman mati itu sebagai bentuk untuk menarik simpati masyarakatnya. Akan tetapi, terlepas dari apakah hal tersebut benar atau tidak, satu hal yang pasti bahwa hukuman mati memang kerap kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh pihak tertentu. Amnesty International pun menyebutkan bahwa negara Iran dan Sudan menggunakan hukuman mati untuk menghukum lawan-lawan politik mereka sebagai alasan mengapa perlu melarang dari adanya hukuman mati.
ADVERTISEMENT
Selain dari Australia, negara seperti Belanda dan Brasil pun sempat menarik dubes mereka juga sama seperti Australia sebagai bentuk penolakan terhadap hukuman mati yang dijatuhkan kepada warga negaranya.
Jadi, bagaimana menurut Anda? Terlalu banyak ruginya, bukan?
Sudah tidak menyelesaikan/mencegah kejahatan berulang atau pun memberikan efek jera, tidak bisa direvisi hingga terlalu berkelit sampai-sampai menciptakan masalah baru serta kerap kali jadi dalang yang mengganggu hubungan bernegara di dunia. Jadi buat apa masih ada?