Mereka yang Tersisih oleh Kapitalisme dalam Film Lead Me Home
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2023 12:11 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Film ini secara apik memotret kota-kota di sekitar pantai Barat Amerika tepatnya di Los Angeles , San Francisco dan Seattle. Film ini menggunakan kacamata "show don't tell approach" untuk menunjukkan sisi kemanusiaan yang terpinggirkan di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit Amerika.
Sekitar 500.000 warga Amerika yang harus tidur di dalam tenda-tenda setiap malam di Amerika. Film Lead Me Home hanya memotret potongan kecil dari realitas kaum pinggiran di Amerika.
Film ini memperlihatkan pergulatan kemanusiaan beberapa tunawisma yang harus menjalani kehidupan keseharian mereka di bawah langit Amerika dengan ragam permasalahan dan harapan. Benar-benar wajah pergulatan bumi manusia Amerika.
Dalam film ini direpresentasikan beberapa tunawisma Afro-Amerika yang sudah uzur yang masih berharap memiliki tempat tinggal untuk menetap dan menata masa depan. Mimpi ini seirama dengan keinginan seorang tunawisma transgender suatu ketika dapat merasakan hangatnya rumah tempat tinggal plus layanan psikiater yang ia butuhkan.
ADVERTISEMENT
Harapan ini juga senada dengan mimpi seorang tunawisma perempuan yang masih terlihat muda yang juga ingin memiliki tempat tinggal, tetapi nasib telah melemparkannya di jalanan selama empat tahun.
Seorang tunawisma lainnya direpresentasikan dalam film ini. Ia seorang pria berkulit putih dan berkacamata. Ketika bercerita tentang dirinya sebagai tunawisma, ia meneteskan air mata menumpahkan perasaan dan kesedihannya.
Namun, tangisannya tiba-tiba dikontrastkan dengan megahnya jembatan Golden Gate di San Fransisco yang memotong tangisannya. Golden Gate yang dilalui oleh mobil-mobil mewah setiap hari adalah simbol pencapaian kapitalisme Amerika yang ternyata juga melahirkan paradoks ribuan tunawisma di berbagai negara bagian Amerika.
Sisi human interest film dokumenter ini juga semakin terasa dan terlihat ketika memotret kehidupan dan keseharian tunawisma-tunawisma dalam film ini. Ada yang membawa pakaiannya ke laundry koin, ada yang tinggal di penampungan, ada yang berpura-pura tabah di hadapan anak-anaknya yang masih kecil, ada yang menjadi korban kekerasan dan bahkan ada juga yang sedang menunggu kelahiran anaknya.
Alhasil, film ini bisa memperlihatkan problem terbesar kapitalisme Amerika hari ini. Banyak warga Amerika yang tidak punya tempat tinggal sehingga tidak hidup secara layak. Tentu saja, ini bukan kutukan sejarah yang tak bisa diubah. Ini adalah wajah keserakahan manusia yang ditopang oleh sistem kapitalisme yang eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Film ini tentu bukan tentang Amerika saja, film ini juga tentang realitas sosial di Indonesia yang meminggirkan banyak orang dan hanya menguntungkan segelintir saja. Semoga dunia bisa diubah dengan sistem humanisme kolektif sebab "another world is possible".