Dinamika Romantisme Pasangan Dewasa Muda dan Dampaknya

Tengku Caesar Akbar
NIM: 2021041106 Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
Konten dari Pengguna
8 Januari 2023 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tengku Caesar Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sesungguhnya manusia diciptakan berpasang-pasangan”, mungkin kalimat itu sering kita dengar. Manusia sebagai makhluk intelek yang diberikan kesadaran terhadap dirinya, termasuk kesadaran terhadap apa dan siapa yang disuka. Perasaan itu akan tumbuh menjadi cinta seiring berjalannya waktu jika manusia terus berusaha untuk mendapatkan pujaan hatinya. Hubungan romantis yang langgeng sampai ke kursi pelaminan menjadi salah satu tujuan hidup yang didamba-dambakan banyak orang. Pernikahan sendiri melibatkan dua orang dalam ikatan cinta yang sah secara agama dan hukum. Sebab menikah adalah salah satu cara mendapatkan kepuasaan batin. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik tahun 2021, penduduk dengan status menikah memiliki indeks kebahagiaan tertinggi dengan penduduk status lainnya. Yang artinya, orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan orang yang belum menikah. Survei lagi dari BPS di tahun 2020 menunjukkan bahwa mayoritas orang melakukan pernikahan untuk pertama kali di usia 19 - 21 tahun (dengan persentase 33,3%) dan 22 - 24 tahun (dengan persentase 26,83%) yang dikategorikan sebagai golongan dewasa muda. Pernikahan dewasa muda memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi. Sebab, mereka belum memiliki kematangan emosional. Kendati demikian, konflik yang berujung pada perceraian bisa diatasi dengan rasa saling percaya, saling terbuka, dan komunikasi yang asertif pada pasangan.
ADVERTISEMENT
Umumnya orang melakukan pernikahan karena adanya kesamaan karakteristiknya (homogami). Ada juga yang menikah dengan tujuan untuk menghindari stereotip ‘sendiri itu kesepian, frustasi, tidak menarik’. Selain itu, masih banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menikah. Menurut Hatfield (2003), di budaya Barat orang menikah karena perasaan cinta romantis. Sebaliknya, di budaya yang negaranya kolektivisme, pernikahan itu terjadi karena perjodohan, yang secara eksplisit dimaknakan karena tuntutan keluarga, lingkungan, atau kepercayaan (Merali, 2012). Dari kacamata psikologi, alasan seseorang mencari pasangan hidup dan menikah masuk ke dalam teori psikososial Erik Erikson, teori yang menjelaskan hubungan yang selalu berkembang antara aspek psikologi dengan sosial masing-masing individu. Singkatnya, kepribadian tiap individu terus berkembang sepanjang usia individu itu bertambah. Di usia dewasa muda (tahap intimacy vs isolation), manusia melakukan pengembangan dengan menjalin hubungan romantis dan seksual dengan orang lain. Pada tahap ini manusia mulai PDKT, pacaran, menikah, serta membangun keluarga. Jika berhasil menjalin hubungan romantis itu, manusia akan mendapatkan cinta sekaligus keintiman dari pasangannya. Tetapi jika gagal, manusia akan merasa terisolasi (down). Esensinya pernikahan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan karena itu adalah kunci pernikahan yang berhasil. Kepuasan itu meliputi terpenuhinya rasa kesetiaan, rasa aman, perasaan dihargai dan dimiliki, serta intensnya berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Kehidupan rumah tangga tidaklah selalu harmonis. Pasti ada saja dinamika masalah dari salah satu pihak, keluarga, finansial, poligami, perselingkuhan, KDRT, dan sebagainya. Beberapa contoh masalah yang umum terjadi di kehidupan rumah tangga:
ADVERTISEMENT
Jika masalah dalam rumah tangga tidak segera diatasi, maka tidak akan menutup kemungkinan menyebabkan perceraian. Data dari BPS tahun 2020 mencatat kasus perceraian di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 14.411 kasus dengan yang tertinggi ada pada Kota Jakarta Selatan sebanyak 3.544 kasus (Adyshaphira et al., 2022, 94). Dari hasil studi pendahuluan Ramdhani dan Afiatin (2020), mereka menemukan bahwa ketidakpuasan dalam pernikahan disebabkan adanya rasa kecewa yang berakibat pada ketidakpuasan apa yang diekspektasi ternyata tidak sesuai dengan realita selama pernikahan. Ketidakpuasan inilah yang menimbulkan berbagai permasalahan berujung pada perceraian. Lantas, bagaimana cara agar menghindari masalah yang merusak hubungan?
Segala aspek dalam kehidupan manusia tidak lepas kaitannya dengan komunikasi. Dalam rumah tangga, seberapa intens komunikasi suami-istri sangat berpengaruh dalam membangun keharmonisan rumah tangga. Menurut seorang pakar komunikasi dalam hubungan intim Gottman (2015), pernikahan yang langgeng bukanlah pernikahan yang tidak pernah ada konfliknya, tetapi bagaimana kemampuan pasangan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Konflik tidak selamanya mendestruksi hubungan, sebaliknya, jika diselesaikan dengan baik-baik konflik justru bisa merekonstruksi hubungan. Faktor perceraian yang banyak ditemukan peneliti terdahulu disebabkan suami-istri kesulitan berkomunikasi. Islamy dan Ningsih (2019), menyatakan beberapa pasangan kesulitan mengungkapkan kejujuran dan kegelisahan hati karena mereka takut akan timbulnya kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang sehat dalam rumah tangga adalah komunikasi yang mau saling berbagi dan terbuka. Dalam hal ini, komunikasi yang digunakan adalah komunikasi asertif, adalah komunikasi yang mengungkapkan keinginan komunikator (pembicara) tanpa menyinggung dan menghormati orang lain. Berdasarkan penelitian terhadap kepuasan dan asertivitas pada pasangan dewasa muda di Kota Jakarta Selatan, semakin tinggi asertifnya maka juga semakin meningkatnya rasa kepuasan pada pernikahan. Asertif bisa dilakukan dengan cara, kenali diri sendiri apa yang dirasa dibutuhkan, tidak sungkan dan malu untuk memberikan pujian kepada pasangan sekecil apapun itu bentuk perhatiannya, mendengarkan serta mengkomunikasikan secara terus terang apa yang diinginkan dan tidak diinginkan dengan meluangkan, bernegosiasi dan menegosiasi ulang tanggung jawab peran dalam rumah tangga, meningkatkan keintiman dengan melakukan hubungan suami-istri. Dengan demikian, pernikahan yang baik lagi memuaskan adalah yang memberi manfaat bagi setiap pasangan seperti hidup bahagia, umur panjang, dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Adyshaphira, N., Bisri, M., & Priyambodo, A. B. (2022, May 21). Hubungan Antara Asertivitas dan Kepuasaan Pernikahan pada Dewasa Awal di Kota Jakarta Selatan. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper Psikologi dan Ilmu Humaniora (SENAPIH 2022), 93-100.
Fadhila, M. (2020, December 8). Psikologi Cinta - Romansa Pria dan Wanita. Kampus Psikologi. Retrieved December 21, 2022, from https://kampuspsikologi.com/psikologi-cinta/?amp
Sukmana, Y. (2021, December 31). Indeks Kebahagiaan 2021: Penduduk yang Sudah Menikah Lebih Bahagia daripada Lajang Halaman all - Kompas.com. Money Kompas.com. Retrieved December 21, 2022, from https://amp.kompas.com/money/read/2021/12/31/170318226/indeks-kebahagiaan-2021-penduduk-yang-sudah-menikah-lebih-bahagia-daripada
Unit Pengembangan Kewirausahaan dan Karir Universitas Medan Area. (2022, May 17). Tahapan Perkembangan Psikososial Berdasarkan Teori Erik Erikson - Pusat Karir & Kewirausahaan Universitas Medan Area - Pusat Karir & Kewirausahaan Terbaik di Sumatera Utara. PKK UMA. Retrieved December 21, 2022, from https://pkk.uma.ac.id/2022/05/17/tahapan-perkembangan-psikososial-berdasarkan-teori-erik-erikson/
ADVERTISEMENT
Weiten, W., Dunn, D. S., & Hammer, E. Y. (2018). Psychology Applied to Modern Life Adjusment in the 21st Century (12th ed.). Cengage Learning.
Identitas Penulis:
Nama: Tengku Caesar Akbar NIM: 2021041106 Prodi: Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi: Universitas Pembangunan Jaya