Ketahui Yuk, Cara Mengelola Self Defense Mechanism yang Baik!

Konten Media Partner
31 Januari 2020 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Iliustrasi perempuan yang sedang marah dan sedih/ Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Iliustrasi perempuan yang sedang marah dan sedih/ Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kamu mendengar istilah self defense mechanism? Secara sadar atau tidak sadar kamu pasti pernah melakukan self defense mechanism dalam kehidupan sehari-hari untuk melindungi diri dari berbagai jenis gangguan seperti rasa marah, sedih, cemas, stress dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Menurut Diah Mahmudah, ahli psikologi dari Dandiah Consultant, self defense mechanism adalah pertahanan diri yang normal, sebagai bentuk supaya bisa adaptif atau menyesuaikan diri dari tekanan dan lingkungan yang sedang dihadapi oleh kita. Biasanya dilakukan secara tidak sadar (spontan) untuk melindungi diri agar tidak merasa terluka.
Ada banyak jenis self defense mechanism di antaranya rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan cara diri merasionalkan suatu keadaan yang membuat kita tertekan atau mungkin merasa gagal. Misalnya, merasa sedih karena putus cinta atau gagal lulus sesuai target. Mereka yang mengalaminya akan memikirkan hal-hal yang rasional agar sedihnya tidak berkelanjutan.
Foto: Unsplash
"Mereka akan berpikit 'ah gak papalah, putus sama dia. Dia juga matre, justru saya beruntung putus dengannya'. Atau kalau untuk kasus skripsi mereka akan bilang 'dosennya terlalu perfeksionis sih, jadi ya sudahlah, yang lain juga ada yang lulus cepat dengan tema ini' ya seperti itulah" jelas Diah.
ADVERTISEMENT
Rasionalisasi ini akan menjadi berlebihan jika semua keadaan yang dialami selalu dirasionalisasikan, sehingga akhirnya kita banyak mengabaikan rasa yang ada pada diri kita. Ada proses yang dilewatkan seperti rasa sakit dan kecewa.
Kenapa itu menjadi satu hal yang buruk? Menurut konsep anger management Dandiah, hal itu akan meledak jika suatu saat kita sudah tidak bisa menahannya. Ada titik capek dan dalam emosi yang penuh, itu bisa memantik emosi berlebihan ketika terjadi masalah kecil.
"Ketika rasionalisasi dilakukan dalam frekuensi berlebih, kita menabung bensin rasa sakit hati ke dosen, pacar atau ke siapa saja. Nah bahayanya lagi, kita akan tumpul rasa dan tidak peka karena tidak pernah diasah. Lalu, ketika kita ada di titik capek, emosi berlebihan yang bisa berakibat pada menyakiti diri sendiri, self harm atau menyerang orang lain," tambah Diah lagi.
ADVERTISEMENT
Lalu ada proyeksi. Proyeksi cenderung menyalahkan orang lain. Seseorang berusaha untuk memproyeksikan kesalahan pada orang lain dan mengabaikan rasa-rasa yang menghantui dirinya dengan memproyeksikan karakter, situasi atau keadaan, dan lain sebagainya. Mengabaikan rasa-rasa yang ada dalam dirinya dan itu biasanya secara tidak sadar akan dia lakukan di mana-mana.
Kemudian ada orang yang melakukan sublimasi sebagai self defense mechanism. Mereka yang melakukan sublimasi akan berusaha adaptif, melakukan penyesuaian diri melalui pemenuhan pencapaian diri dengan cara yang lain misalnya dengan menyalurkan pada hobi.
Foto: Unsplash
"Ada keinginan diri untuk menuangkan agresi kita dalam bentuk hobi misalnya melukis. Lukisan itu merupakan gambaran dan pengalihan emosi seseorang. Nah self defense yang seperti ini yang bisa diterima, sublimasi lebih mending dari proyeksi dan rasionalisasi," tutur Diah.
ADVERTISEMENT
Namun, tetap self defense mechanism tidak selalu dapat menyelesaikan masalah. Jika emosi-emosi yang telah menumpuk tidak segera diproses, suatu saat akan meledak dan menimbulkan masalah baru. Hal ini karena akar dari permasalahan utama tidak diselesaikan. Jika kita selalu melakukan self defense, kita akan cenderung menjadi pribadi yang flight atau pribadi yang selalu lari dari masalah dan tidak mau menghadapinya.
Padahal masalah itu seharusnya dihadapi, kapan pun saat kita ditempa masalah. Ketika kita siap dan berani menghadapi setiap permasalahan yang menghampiri, kita akan menjadi lebih kuat dan terlatih. Kesehatan mental kita pun akan menjadi semakin baik.
Jadi alirkanlah emosi dengan cara mengekspresikannya agar tetap bisa diterima dan mendapatkan respons yang juga akan diterima oleh lingkungan. Jadi balance, pemenuhan kebutuhan diri untuk mengekspresikan diri kita diterima, respon lingkungan pun baik.
ADVERTISEMENT
"Kalau saya caranya dengan mengelola anger management, mengelola emosi tersebut dengan bijak dan terus dilatih seumur hidup. Itu juga merupakan ciri mental health yang baik," ujar Diah***