GBHN dan Pilpres (Tidak) Langsung

Tamsil Linrung
Senator DPD RI, Pendiri Jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM)
Konten dari Pengguna
27 Desember 2019 15:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tamsil Linrung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdebatan soal urgensi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali mengemuka. Bak appetizer, wacana penguatan GBHN disuguhkan sebagai hidangan pembuka. Mengawali masa bakti Anggota DPR, DPD, dan MPR RI periode 2019-2024.
ADVERTISEMENT
Gagasan menghidupkan kembali GBHN memantik eskalasi politik di Senayan. Terlihat dari penambahan jumlah pimpinan MPR, serta pemilihan Ketua MPR secara aklamasi. Pengaruh wacana mengembalikan GBHN bahkan ditengarai ke perumusan formula kursi di eksekutif. Tak ayal, diskursus ini menuai perhatian. Bukan cuma di tingkat elite politik dan level presiden, tapi juga disorot publik.
Menghidupkan GBHN sebagai acuan pembangunan Indonesia lintas rezim tentu saja berkonsekuensi politik. Termasuk mereposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi. Hal inilah yang banyak ditentang. Meski tak sedikit juga yang mendukung, gagasan menghidupkan kembali GBHN menuai dukungan dan penolakan.
Di luar pro-kontra yang mencuat, harus diakui bahwa Indonesia dewasa ini memang membutuhkan panduan melangkah dengan arah pembangunan yang jelas. Panduan yang tak berubah, meski rezim berganti. Saat ini, ‘haluan negara’ cuma dipandu visi-misi presiden terpilih. Dirancang sebelum kontestasi. Visi-misi untuk jangka pendek, lima tahun.
ADVERTISEMENT
Panduan arah pembangunan Indonesia yang sifatnya agak panjang, paling banter mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, panduan dalam rentang 20 tahun.
Namun, RPJP Nasional tentu saja tidak menjawab kebutuhan grand design pembangunan Indonesia secara menyeluruh dan integratif. Itu pun kerap disalip oleh kepentingan politis visi misi presiden terpilih yang biasanya merancang program populer agar (incumbent) terpilih lagi pada pemilu berikutnya.
Secara kualitatif, visi misi presiden amat berbeda dengan haluan negara. Jika dilihat dari proses perumusan dan tingkat partisipasinya. Visi misi presiden sarat nuansa politik. Karena memang disusun untuk kepentingan politik, meraih dukungan rakyat dalam pemilu.
Konsentrasi utama perumusan visi misi lima tahun lebih fokus ke membangun strategi komunikasi politik untuk meyakinkan para calon pemilih. Jebakan pragmatis di tengah perumusan domain idealistik tak bisa dihindari. Karena tujuan pragmatis ini pula, maka perspektif dominan dalam perumusan visi misi amat temporer. Jangka pendek. Sesuai periode pemerintahan yang tertuang dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, visi misi tersebut hanya disusun oleh kalangan terbatas di lingkup tim pemenangan. Relatif limitatif secara kualitatif. Juga terbatas secara kuantitatif. Berasal dari elemen politik yang cenderung homogen. Sehingga program yang dirancang amat mungkin menegasi kelompok lain. Menafikan keragaman.
Penyusunan visi misi dari kalangan terbatas ini tak bakal bisa menyamai penyusunan GBHN yang melibatkan banyak komponen politik. Bahkan lintas ideologi. Sehingga lebih kaya rasa. Merefleksikan ke-Indonesia-an.
Visi misi presiden jelas berbeda dengan GBHN. Haluan negara dirumuskan di lembaga tinggi negara, MPR. Melibatkan pemikiran yang representatif secara politik, ideologis, dan basis daerah (DPD). Anggota MPR sebanyak 711 orang datang dari latar belakang, cara pandang dan kepentingan yang beragam. Tingkat partisipasi yang besar ini membuka kemungkinan proporsi kualitas yang mumpuni.
Gedung DPR/MPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Secara kelembagaan, MPR tentu juga menggandeng para pakar dari berbagai bidang untuk membangun konstruksi GBHN yang komperhensif. Berdimensi futuristik. Tidak hanya satu atau dua periode. Tapi dirumuskan untuk menjangkau masa depan. Hingga bilangan 30 tahun, atau bahkan 50 tahun yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi, perumusan GBHN dilandasi spirit tanpa sekat fraksional dan faskional. Itulah keunggulan komparatif GBHN. Proses perumusannya secara kuantaitif dan kualitatif lebih sempurna dibanding dengan perumusan visi misi kepresidenan yang seleranya bisa berubah. Tergantung pada cuaca politik. Bahkan rentan jebakan pragmatis.
Untuk mengonstruksi potret Indonesia ideal jauh ke masa depan, maka GBHN memang harus dihidupkan kembali. Pada momen kontestasi pucuk pimpinan negeri, maka para kandidat tentu saja harus tunduk pada GBHN. Sehingga formula visi dan misi yang ditawarkan merupakan penjabaran dari cita-cita besar bangsa Indonesia yang panduannya termaktub dalam GBHN. Maka pembangunan bangsa tidak lagi berdasarkan selera personal atau sekelompok elite yang sarat dengan kepentingan sempit dan sesaat.
Yang jauh lebih esensial lagi, GBHN menjadi parameter ideal menilai kinerja pemerintah. GBHN dapat mengukur pertanggungjawaban Presiden dan jajarannya kepada rakyat melalui MPR. Berbeda dengan situasi saat ini, dimana pertanggungjawaban pemerintah menjadi kabur.
ADVERTISEMENT
Tidak jelas, bertanggung jawab kepada rakyat yang mana. Adapun kekhawatiran mengenai nasib sistem pemilihan presiden, apakah di forum MPR juga atau tetap langsung oleh rakyat, saya kira kita masih bisa duduk bersama dan berpikir jernih untuk mencari formula yang tepat.
Yang pasti, menghidupkan GBHN bukan untuk mengebiri demokrasi. Gagasan mengembalikan GBHN jangan sampai dibenturkan dengan proses demokrasi yang berjalan. Demokrasi kita jangan terjerumus dan mengalami set back.
Sebaliknya, saling menguatkan. GBHN kita didaulat sebagai kompas, pemandu arah. Agar jelas kemana demokrasi bangsa melangkah. Dalam konteks pembangunan di berbagai dimensi untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bernegara.
Tujuan bernegara telah dipaparkan di dalam pembukaan UUD 1945. Yang bila diringkas, menjadi tujuan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan, pencerdasan/pendidikan dan politik internasional. Namun tak sedikit yang gagal membaca dan menerjemahkan tujuan tersebut. Sebab memang masih sangat umum.
ADVERTISEMENT
Makin rumit bila harus langsung diterjemahkan dalam bentuk produk derivatif berupa program kerja. Maka GBHN dapat menjadi kaca pembesar, membantu pemerintah memotret serta membaca tujuan bernegara secara jelas. GBHN menjembatani tujuan umum bernegara agar dapat diterjemahkan menjadi program pemerintahan yang spesifik.
Formula yang paling tepat untuk merealisasikan gagasan GBHN hidup kembali, memang masih debatable. Karena konsekuensinya ke sistem ketatanegaraan. Pikiran pertama memandang harus tetap mempertahankan pemilihan langsung oleh rakyat. Bila presiden ingin bertanggungjawab secara administratif kepada rakyat, bagaimana mekanismenya?
Lantas, ada yang mengimbuhkan pertanggungjawaban presiden kepada MPR sebagai representasi rakyat. Ide ini dipandang inkonsisten dan rancu. Namun secara objektif, pikiran ini yang paling mendekati titik kompromi secara politis.
Pikiran kedua, yaitu pemilihan presiden dikembalikan ke MPR sebagai representasi rakyat. Ide yang menuai penolakan. Kemunduran demokrasi katanya. Pikiran ini ditentang. Bahkan pernah tercatat dalam monumen perlawanan dalam sejarah politik dan pergerakan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lagipula, pemilihan presiden langsung oleh rakyat adalah mahkota yang memancarkan kegembiraan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi kita. GBHN bila ditimbang harus hidup kembali, semestinya memang tidak merenggut kemewahan milik rakyat. Pilpres langsung.
GBHN, kita letakkan sebagai panduan bagi arah pembangunan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa. GBHN dan pembangunan yang seiring sejalan dengan demokrasi Indonesia yang bernapaskan spirit permusyawaratan. Kristalisasi spirit itu terefleksikan pada beragam corak politik, ideologi hingga latar daerah yang bermajelis di MPR. Namun basis kekuatannya terletak di tangan rakyat.