Masalah Buruh, Dari Sekolah Anak Hingga Masa Pensiun Nggak Jelas

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
1 Mei 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bila datanya belum berunah, sekarang ini setidaknya ada 140-an juta buruh atau pekerja di Indonesia. Porsinya, 60% ada di sektor informal dan 40% di sektor formal. Saya juga masih jadi buruh. Bisa jadi, ratusan juta orang yang mudik atau pulang kampung saat lebaran pun statusnya buruh. Dan sebagian besar buruh hari ini, pasti merasakan dampak mahalnya sembako.
ADVERTISEMENT
Negara atau pemerintah harus tahu. Kebijakan apapun yang dibuat pasti punya dampak terhadap buruh. Khususnya secara ekonomi, maka negara harus hati-hati. Janga nasal-asalan bikin regulasi bila akhirnya menambah sengsara kaum buruh. Negara harus tahu, buruh itu bekerja bukan untuk kaya atau mengumpulkan harta. Tapi bekerja untuk aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarganya. Hanya sesederhana itu buruh memandang pekerjaan.
Tiap tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh atau May Day, kenapa buruh selalu demo? Karena buruh punya problem atau masalah yang tidak kunjung diselesaikan. Karena hari ini, sekalipun katanya zaman sudah serba digital atau canggih, ratusan juta buruh di Indonesia masih tetap dihantui problematika yang klasik. Setidaknya problematika buruh di Indonesia yang krusial adalah:
ADVERTISEMENT
1. Masalah upah atau gaji yang masih terlalu kecil sehingga buruh gagal memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, sulit memenuhi kebutuhan sekolah anak apalagi keluarganya.
2. Masalah status buruhnya yang dari dulu hingga hingga kini masih begitu-begitu saja.
3. Masalah pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup yang bukannya makin sejahtera malah makin bermasalah akibat biaya hidupn dan kebutuhan pokok yang kian mahal.
4. Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering semena-menqa dilakukan pemberi kerja atau pengusaha.
5. Masalah uang lembur dan tunjangan kesehatan yang tidak memadai sehingga membuat ekonomi buruh turun drastic bila anggota keluarganya sakit atau membutuhkan biaya kesehatan yang besar.
6. Masalah hari tua atau pensiun yang sama sekali tidak punya kesiapan karena uapah atau gaji selalu habis untuk memenuhi biaya hidup. Maka wajar, 9 dari 10 buruh di Indonesia sama sekali tidak siap pensiun atau berhenti bekerja.
Buruh yang jadi dirver motor baca keliling di kaki Gunung Salak
Atas masalah-masalah yang dihadapi buruh di atas, negara atau pemberi kerja sepatutnya tidak boleh bertindak semena-mena terhadap buruh. Bila belum mampu memperbaiki nasib atau menyejahterakan kaum buruh sebaiknya jangan membuat kebijakan yang menyusahkan buruh. Di mata buruh, tidak ada pekerjaan yang tetap atau permanen. Karena kapan pun, buruh nasibnya tergantung “majikan”. Bila terpaksa berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan pun, buruh hanya bisa pasrah.
ADVERTISEMENT
Apalagi di zaman digital begini, buruh makin pusing. Belanja via online makin gampang tapi gaji makin tidak cukup. Daya beli buruh makin kalang-kabut. Bekerja puluhan tahun tapi tetap tidak punya uang banyak. Kebutuhan hidup makin meningkat, sementara kesejahteraan tidak kunjung membaik. Sambil terus khawatir, bila seaktu-waktu di-PHK atau kantornya bangkrut. Harus diakui, buruh hari ini masalahnya kompleks, kondisinya pun memperihatinkan. Selamat Hari Buruh #HariBuruh #Mayday