Problematika Rumah Subsidi dalam Lensa Marxisme

Syamsul Arifin
Dosen Ekonomi Pembangunan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Co-founder Media Progresif.
Konten dari Pengguna
20 April 2024 23:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada yang mengusik pikiran saya ketika melintasi perumahan bersubsidi. Banyak rumah kosong alias tak berpenghuni, padahal rumah baru dibangun beberapa tahun lalu. Kondisinya tak terawat dan banyak ditumbuhi rumput dan tumbuhan liar. Bahkan sebagian dari rumah-rumah tersebut ada yang rusak parah. Kondisi rumah tak dihuni tersebut dinilai pemerintah sebagai bagian dari ketidaktepatan penyaluran rumah subsidi, selain kondisi lainnya yaitu rumah berpindah kepemilikan atau disewakan sebelum lima tahun (Kompas, 12 April 2023).
ADVERTISEMENT
Kondisi rumah subsidi tak berpenghuni tersebut tentu bukan tanpa sebab. Ada banyak kendala yang terjadi terkait rumah subsidi. Saya sendiri adalah pengguna rumah subsidi, baik ketika masih sewa maupun ketika sudah membeli rumah subsidi melalui skema kredit dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR-FLPP). Apa yang menjadi kendala terkait rumah subsidi saat ini juga saya rasakan. Mulai dari bangunan rumah yang tidak sesuai standar hingga masalah saluran pembuangan air (selokan) yang menyasar lahan sawah warga setempat.
Ilustrasi rumah subsidi. Foto: unsplash
Tentu contoh kasus saya tersebut tidak serta-merta menjadi penyebab mengapa akhirnya konsumen enggan untuk menempati rumah subsidi dan membiarkan rumah tidak dihuni. Penyebab lainnya bisa jadi konsumen mengalami gagal bayar atau kredit macet sehingga rumah tersebut berstatus lelang dan tak kunjung menemukan pemilik baru. Alasan terakhir, dan ini menjadi hal yang lumrah dalam cara pandang kapitalis, adalah rumah tersebut memang tidak dimaksudkan untuk dihuni pemiliknya, melainkan untuk disewakan atau dijadikan aset investasi. Biasanya pemilik rumah mematok harga sewa yang tinggi, sehingga rumah tak kunjung menemukan penghuni barunya.
ADVERTISEMENT
Itu baru persoalan dari pihak konsumen. Bagaimana dengan pengembang selaku produsen? Tentu mereka punya masalah dan kendala tersendiri. Jika konsumen hanya berurusan dengan setidaknya dua pihak, yakni pengembang dan bank, maka pengembang berurusan dengan lebih banyak pihak: konsumen, bank, pemerintah, bahkan antar sesama pengembang. Masalah yang biasanya semakin meruncing jika tidak segera diatasi adalah antara pengembang dengan konsumen. Tentu saja, karena konsumen adalah pihak penerima manfaat langsung dari rumah subsidi.
Masalah lainnya adalah urusan pengembang dengan pemerintah. Harga subsidi yang dipatok oleh pemerintah dinilai terlalu rendah, terutama jika dibandingkan dengan biaya produksi (harga tanah, harga bahan bangunan, biaya perijinan dan lain-lain) yang semakin naik. Apalagi pemerintah belum melakukan penyesuaian harga jual rumah subsidi selama 3,5 tahun terakhir (Kompas, 22 Mei 2023). Cara yang lumrah dilakukan pengembang menghadapi kendala ini adalah dengan menurunkan kualitas bangunan rumah. Tentu saja tindakan tersebut menimbulkan gejolak bagi konsumen sekaligus teguran dari pemerintah karena dapat menyebabkan rumah menjadi tidak layak huni. Hal ini menciptakan lingkaran sebab-akibat persoalan rumah subsidi yang tak menemukan ujung-pangkalnya.
ADVERTISEMENT
Pihak yang paling bertanggung jawab atas sengkarut masalah rumah subsidi ini tentu saja pemerintah. Pemerintah adalah pembuat program rumah subsidi sekaligus sebagai pelaksana (meskipun secara tidak langsung) dan juga sebagai pengawas, yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian PUPR. Dalam fungsinya sebagai pelaksana, pemerintah bekerja sama dengan pihak bank dan juga pengembang. Sedangkan sebagai pengawas, pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan agar menjadikan rumah subsidi tepat sasaran dan layak huni. Caranya antara lain dengan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang memicu penyaluran rumah subsidi tidak tepat sasaran, baik dari pihak konsumen, perbankan maupun pengembang (Kompas, 12 April 2023). Apakah cara tersebut akan efektif? Kita tunggu saja. Yang jelas, akan butuh effort yang tinggi, baik dari sisi tenaga maupun biaya dari pemerintah, mengingat ada 12.000-an pengembang yang terlibat dalam pelaksanaan program rumah subsidi setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Telaah dari Lensa Marxisme
Lantas, bagaimana Marxisme dapat digunakan untuk menelaah persoalan ini? David Harvey, seorang Neomarxis sekaligus pakar geografi asal Inggris, memasukkan dimensi ruang ke dalam analisis tentang kapitalisme. Pemikiran Harvey ini menurut saya menarik dan dapat digunakan untuk menelaah problematika rumah subsidi. Harvey menggunakan perspektif Karl Marx dalam Capital untuk memahami hubungan antara kapitalisme dan pembentukan ruang geografis (dalam Herdiawan, 2022: 57).
Untuk mengetahui keterkaitan antara kapitalisme dan ruang geografis, pertama-tama kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana Harvey mendefinisikan modal. Modal menurut Harvey adalah nilai yang terus menerus bergerak (always in motion) dan muncul dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk uang maupun komoditas, yang dipergunakan untuk kepentingan tertentu (dalam Herdiawan, 2022: 8). Definisi ini menuntut beberapa konsekuensi terkait nilai, komoditas, ruang-waktu maupun modal itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Harvey, modal harus terus-menerus bergerak dan bersirkulasi agar mendapatkan keuntungan berupa modal ditambah dengan surplus. Ketika modal berhenti bergerak atau sirkulasi terhenti maka nilai (value) modal akan hilang dan keseluruhan sistem runtuh (Harvey dalam Herdiawan, 2022: 71). Untuk dapat terus-menerus tumbuh dan bergerak, modal perlu mencari ruang-ruang geografis yang baru guna mempertahankan keberlanjutannya (Herdiawan, 2022: 102). Di sinilah letak hubungan antara kapitalisme dan pembentukan ruang-ruang geografis.
Sengkarut masalah rumah subsidi ini tidak mungkin dapat dipahami hanya dengan melihat sisi permukaannya saja, karena dikhawatirkan akan keliru dalam memahami persoalan, sehingga yang dilihat hanya gejalanya saja (symptoms) dan bukan substansinya. Sisi permukaan dalam hal ini adalah penanganan masalah rumah subsidi yang lebih bersifat teknikal daripada substansial. Kita akan lihat bagaimana konsep ruang Harvey dapat digunakan untuk melihat masalah rumah subsidi dengan lebih jernih.
ADVERTISEMENT
Harvey membagi dimensi ruang menjadi tiga, yakni ruang absolut, ruang relatif dan ruang relasional. Ruang absolut dikaitkan dengan konsep ruang dan waktu menurut Newton dan Descartes, di mana kita bisa melihat suatu materi atau peristiwa pada satu koordinat ruang yang jelas pada waktu tertentu. Ruang relatif dikaitkan dengan konsep ruang-waktu Einstein, di mana kita dapat melihat suatu materi, proses atau peristiwa dalam kondisi relatif tergantung kerangka acuannya. Terakhir adalah ruang relasional, yang dikaitkan dengan konsep ruang-waktu Leibniz. Konsep ini melihat ruang dan waktu bukan entitas yang saling terpisah dan berdiri sendiri, namun saling berkait-kelindan dengan materi atau peristiwa. Hanya melalui ruang-waktu relasional, mimpi, kenangan dan memori kolektif dapat dijelaskan. Menurut Harvey, ketiga kerangka nilai ruang-waktu, yakni yang absolut, relatif dan relasional tersebut harus dipegang dalam sebuah tegangan dialektika antara satu dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Persoalan rumah subsidi ini juga harus dilihat melalui tegangan dialektika antar ketiga kerangka nilai ruang-waktu tersebut. Selama ini rumah subsidi hanya dilihat dari sisi nilai tukar dan nilai guna saja. Sedangkan nilai, yang pada dasarnya bersifat immaterial, jarang disentuh kaitannya persoalan rumah subsidi. Menurut Marx, nilai tidak berbentuk materi, namun nyata atau objektif (Herdiawan: 2022, 55).
Harvey berpendapat bahwa nilai tukar terkait dengan konsep ruang-waktu relatif (karena berkaitan dengan sirkulasi modal dan komoditas) dan nilai guna berkenaan dengan ruang absolut (seperti rumah, jalan, penghuni rumah, dan tukang bangunan). Sedangkan nilai adalah konsep ruang-waktu relasional. Dalam konteks rumah subsidi, nilai ini terletak pada sejauh mana konsumen betah tinggal dan bermukim dalam jangka panjang. Rumah adalah tempat berteduh, bercengkerama dengan keluarga, membesarkan anak dan bahkan membangun mimpi dan harapan. Hal inilah yang seringkali luput dan bahkan diabaikan dalam penyaluran rumah subsidi.
ADVERTISEMENT
Penyaluran rumah subsidi selama ini lebih dominan dikendalikan oleh nilai tukar alih-alih nilai guna apalagi nilai immaterialnya. Pemerintah sebetulnya sudah berusaha menyeimbangkan antara nilai guna dan nilai tukar dengan mengupayakan agar penyaluran rumah subsidi menjadi tepat sasaran dan layak huni. Namun hal ini harus dibarengi dengan kesadaran dari pihak lain terutama pengembang dan konsumen yang menjadikan rumah subsidi sebagai aset investasi.
Selama ini terjadi semacam konflik kepentingan, terutama antara pemerintah dengan pengembang dan investor berkedok konsumen dalam penyaluran rumah subsidi. Di satu sisi, pemerintah mengharapkan rumah subsidi tepat sasaran dan layak huni. Namun sisi lain, motif kapitalistik dari para “pemain” rumah subsidi dapat menghambat dan bahkan merusak tujuan tersebut. Pengembang berusaha menekan biaya produksi demi keuntungan dan perputaran serta akumulasi modal. Sementara para investor dan spekulan juga ikut mencari peluang dengan menyeret program penyaluran rumah subsidi ke ranah “ajang spekulasi” untuk meraup keuntungan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, apa yang disebut Harvey sebagai kontradiksi antara nilai guna dan nilai tukar pada dasarnya juga merupakan pertentangan antara tujuan sosial dan tujuan kapital. Selama motif kapitalistik dan tuntutan modal yang terus bergerak dan berakumulasi mendominasi program penyaluran rumah subsidi, maka harapan menjadikan rumah subsidi sesuai dengan fungsi dan tujuannya akan semakin jauh panggang dari api.