Perempuan dan Standar Kecantikan yang Mengada-Ada

Syahra Maharani
Mahasiswi Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
27 Juli 2023 19:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahra Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan memperhatikan siku.


 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan memperhatikan siku. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perempuan identik dengan kecantikan. Kecantikan itu bersifat subjektif namun apakah kita bisa memaksakan pendapat kita terhadap semua orang? Rambut lurus nan berkilau, badan langsing, tinggi semampai, kulit putih, dan masih banyak lagi. Itulah standar kecantikan perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada dasaranya semua perempuan itu cantik. Semua perempuan cantik dengan fisik dan caranya masing-masing. Rambut lurus menjuntai ataupun rambut ikal keriting itu cantik. Badan langsing ataupun gemuk berisi itu cantik. Tinggi semampai ataupun pendek mungil itu cantik. Kulit putih bersih, kuning langsat, dan sawo matang pun juga cantik.
Standar kecantikan toksik di Indonesia perlahan mulai digerus oleh kehadiran tokoh-tokoh seperti beauty content creator dengan keadaan fisik yang beragam. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut membuat mata perempuan Indonesia mulai terbuka bahwa semua perempuan itu cantik. Hal tersebut membawa pengaruh positif untuk perempuan Indonesia agar percaya diri akan keadaan fisik yang kita miliki.
Hal ini juga didukung oleh brand-brand kecantikan lokal yang mulai menjadikan brand-nya sebagai brand yang inklusif. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah variasi warna alas bedak yang sangat variatif, mulai dari warna yang paling terang hingga warna yang paling gelap—sesuai warna kulit perempuan Indonesia. Sebelumnya sangat minim bahkan hampir tidak ada brand yang peduli akan hal tersebut. Dulu brand kecantikan lokal paling banyak mengeluarkan tiga variasi warna alas bedak yang warnanya tergolong masih cerah dan tidak inklusif.
ADVERTISEMENT
Membahas standar kecantikan Indonesia yang terbilang toksik—walaupun sekarang sudah mulai melebur—merupakan salah satu produk patriarki yang tumbuh di masyarakat. Patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Perempuan dituntut untuk tampil cantik sesuai yang diidamkan oleh laki-laki Indonesia. Di sisi lain, laki-laki menganggap wanita tampil cantik untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki—yang dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Perempuan selalu dijadikan sebagai objek untuk pemuas laki-laki padahal perempuan adalah manusia—makhluk hidup—bukan sebuah objek.
Sebagai contoh masih banyak majalah yang bersampul foto perempuan-perempuan cantik yang ideal menurut standar kecantikan toksik di Indonesia. Hal ini diteliti oleh Ghela Rakhma Islamey dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul "Wacana Standar Kecantikan Perempuan Indonesia pada Sampul Majalah Femina" yang diterbitkan pada tahun 2020. Di sana dia membahas kontradiksi majalah Femina yang menggaungkan dirinya sebagai majalah anti-patriarki namun model-model dalam majalahnya—khususnya pada sampul majalah—masih sesuai standar kecantikan toksik. Fragmentation body pada sampul majalah Femina tidak lepas dari budaya patriarki, sehingga standar kecantikan perempuan yang muncul tidak terlepas dari standar kecantikan perempuan yang dianggap ideal oleh budaya tersebut (Ghela Rakhma Ismaney, 2020).
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan hal tersebut, konstruksi standar kecantikan toksik yang dibangun oleh patriarki telah tumbuh lama dan mengakar sejak dulu di Indonesia. Salah satu contoh konkretnya adalah wanita yang hendak menikah harus melakukan proses pingit dengan segala pembekalan dan perawatan tubuh. Proses pingit tersebut bertujuan agar perempuan tampil cantik saat malam pertama setelah pernikahan sehingga laki-laki yang dinikahinya merasa puas dan senang hati. Sedangkan, laki-laki yang hendak menikah tidak perlu melakukan proses pingit. Ya, wanita dijadikan sebagai objek pemuas laki-laki.
Berhubungan dengan standar kecantikan, perempuan yang sudah menikah dituntut untuk selalu menjaga penampilannya agar suaminya tetap bertahan. Perselingkuhan atau bahkan KDRT yang terjadi setelah pernikahan umumnya dilakukan laki-laki karena sudah bosan dan kecewa dengan penampilan istrinya yang sudah tidak secantik saat baru menikah. Saat perselingkuhan terjadi, yang disalahkan sering kali adalah pihak perempuan. Perempuan disalahkan atas fisiknya yang berubah sehingga laki-laki diwajarkan melakukan perselingkuhan.
ADVERTISEMENT
Untuk memberantas patriarki yang sudah sejak dulu merugikan perempuan, muncullah gerakan feminisme yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Feminisme hadir untuk mengangkat kepercayaan diri perempuan, salah satunya di bidang standar kecantikan. Feminisme rutin menyuarakan bahwa semua perempuan itu cantik. Feminisme sangat menentang keras perempuan sebagai objek pemuas laki-laki karena perempuan lebih dari itu.
Sudah saatnya wanita Indonesia sadar untuk meninggalkan standar kecantikan toksik yang ada. Perempuan Indonesia harus percaya diri akan penampilan fisiknya masing-masing karena semua perempuan itu cantik. Selain itu, yang perlu ditanamkan adalah perempuan menjadi cantik bukan sebagai objek pemuas laki-laki namun untuk kepuasan diri serta wujud mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan. Dengan begitu, patriarki bisa perlahan memudar di Indonesia.
ADVERTISEMENT