NU dan Politik: Refleksi Harlah NU ke-93

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
31 Januari 2019 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mungkin hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan istilah “harlah” kependekan dari “hari lahir” sebagai penyebutan momen kelahiran organisasi para ulama ini. Istilah ini mungkin saja dipergunakan untuk membedakannya dengan berbagai ormas Islam lain yang kerap menggunakan istilah berbahasa Arab, “milad”, sekaligus juga tidak ingin ikut-ikutan menggunakan istilah HUT yang terkesan formal karena biasa dipergunakan oleh pemerintah. NU menjadi ormas Islam terbesar paling unik dan memiliki akar sejarah dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keunikan organisasi ini terletak pada jumlah anggotanya yang banyak, mengakar, bahkan mungkin saja lebih banyak dibandingkan klaim mereka sendiri soal jumlah para pengikutnya.
ADVERTISEMENT
Istilah “kebangkitan ulama” yang melekat dalam NU, menunjukkan bahwa ormas ini didirikan atas kesepakatan para ulama mempertahankan dan menghidupkan setiap tradisi intelektual yang dibawanya. Ditengah gempuran gerakan reformis yang melanda dunia Islam di abad 19, akibat pengaruh pemikiran Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang meluas hingga ke Indonesia, maka keberadaan para ulama yang secara de facto mapan dan memiliki ikatan-ikatan kultural secara kuat dengan masyarakatnya, tampak mulai terancam. Gerakan reformis Islam mulai mempertanyakan legitimasi para ulama dan mereka menilai para ulama bukanlah satu-satunya pemegang paling sah atas penafsiran ortodoksi Islam. Reaksi atas maraknya gerakan reformis adalah alasan paling kuat kenapa pada akhirnya pada 1926 NU lahir.
Kelahiran NU jelas memiliki akar politik, karena disamping terlibat langsung dalam proses-proses kemerdekaan, para pendirinya merupakan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang aktif dalam struktur-struktur pemerintahan, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Salah satu pendirinya, KH Hasyim Asy’ari pernah diangkat menjadi kepala jawatan agama (Shumubu) oleh pemerintahan Jepang. Putranya KH Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Piagam Jakarta dan menjadi menteri agama pertama di era Presiden Soekarno. Keterlibatan NU dalam struktur kekuasaan politik seolah sulit jika hanya menyebut NU sebatas ormas, terlebih sejak 1952 NU berubah secara resmi menjadi partai politik.
ADVERTISEMENT
Sangat wajar, jika dibelakang hari—bahkan hingga saat ini—jabatan kementrian agama selalu “harus” NU karena penempatan orang-orang NU didalamnya jelas memiliki akar kesejarahan yang sangat kuat. Tidak hanya kementrian agama, IAIN atau kampus negeri berbasiskan Islam juga pertama kali diinisiasi oleh salah satu menteri agama asal NU, Saifudin Zuhri sejak 1960-an. Warna “tradisionalis” di kampus IAIN—kini UIN—juga tampak mencolok melihat dari berbagai sosok rektor yang memimpinnya. Terpilihnya Amany Burhanudin Lubis sebagai satu-satunya rektor perempuan pertama dalam sejarah UIN juga tak bisa dilepaskan dengan latar kulturalnya yang memang NU.
Sulit untuk tidak dikatakan bahwa sejauh ini keberadaan kementrian agama telah menjadi benteng NU, sehingga NU secara langsung memiliki akses yang cukup luas terhadap berbagai fasilitas apapun untuk dibagikan di kalangan anggotanya. Hal inilah yang kemudian mendorong salah satu pengamat NU, Martin Van Brinessen menyebut NU lebih berorientasi patronage—melalui berbagai penguasaannya dalam struktur politik—menjalin ikatan-ikatan kultural yang kuat dengan sesama anggota dan para aktivisnya. Patronage lebih banyak mengenyampingkan soal gagasan maupun program yang cukup rumit, sehingga wajar jika kemudian banyak orang-orang yang bukan asli nahdliyyin dengan cepat berpenetrasi melalui jaringan-jaringan NU secara kultural-politik.
ADVERTISEMENT
Sejarah panjang NU sebagai ormas Islam dan organisasi politik memang menunjukkan realitas pasang-surut. Mungkin satu-satunya ormas Islam dengan corak politik yang paling khas dan konsisten sejauh ini yang saya lihat hanya NU. Ciri akomodasionis yang dilekatkan pada NU terhadap kekuasaan memang sulit dihilangkan, sekalipun NU pernah menunjukkan kritiknya yang keras kepada penguasa, namun itu masih dalam batas-batas yang masih wajar. Sekalipun rezim Orde Baru memberlakukan siasat depolitisasi dan “deparpolisasi” yang mewajibkan seluruh ormas Islam bernaung dalam satu parpol dan seluruh ormas dan parpol diwajibkan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam keorganisasiannya, NU tampak menerima dan hampir tak ada gejolak yang timbul secara berarti.
NU seolah ingin mengaskan kembali sebagai organisasi yang merujuk pada eksistensi sejarah awalnya yang setia kepada negara Indonesia. Maka, NU merupakan satu-satunya organisasi yang secara formal menerima Pancasila bahkan tanpa perlu mempertanyakan kembali kesesuainnya dengan garis-garis perjuangannya. Konsekuensi penerimaan NU atas asas tunggal, bukan tanpa kritik, tetapi jelas menuai masalah baik secara eksternal maupun internal. Tetapi, penegasan NU atas penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas, disamping asas Islam, juga memperteguh dirinya untuk setia kepada negara tanpa harus mengorbankan satu incipun komitmen mereka terhadap perjuangan Islam. NU memang telah membuat rumusan tersendiri soal ini dan memungkinkan organisasi ini pada akhirnya senantiasa akomodatif terhadap kekuasaan politik.
ADVERTISEMENT
Memang, dalam kenyataannya belakangan, NU kerap kali dituduh sebagai ormas yang kerap kali memanfaatkan kekuasaan, bahkan tampak mencolok dalam hal pembelaannya. Patronage politik NU tampak kuat menjadi alasan paling utama kenapa NU gigih dalam dukungannya terhadap pemerintah, termasuk dalam bentuknya saat ini. Sekalipun mungkin tampak riak-riak beberapa aktivis dan pengikut NU yang cenderung kritis, namun hampir tak mengubah sedikitpun komitmen NU terhadap pembelaannya kepada negara. Jargon-jargon seperti nasionalisme, NKRI, Pancasila seolah diksi paling lantang yang disuarakan mayoritas aktivis NU, sekalipun kadang mendapatkan perlawanan dari berbagai aktivis Muslim lainnya.
Kerumitan dalam tubuh organisasi NU yang tidak memungkinkan berjalan layaknya organisasi modern pada umumnya, membuatnya justru lebih kuat berakar secara kultural. Itulah kenapa NU tak selalu identik dengan mereka yang mengikuti perkumpulan massa dengan bendera bola dunia dan bintang sembilan terkibar, atau simbol yang khas seperti sarungan atau pecian. Mereka yang tak mempersoalkan tradisi-tradisi masyarakat, seperti selametan, kendurenan, sukuran, tahlilan, yasinan, atau yang lainnya juga secara tidak langsung mengakui bahwa kultur NU lebih ditaati mungkin dibanding ajaran syariatnya itu sendiri. Hal inilah kemudian yang banyak dipertentangkan kelompok Islam lainnya yang mengangap para pengikut tradisi ini dengan menyepelekan urusan syariat yang ketat sebagai ahlu bid’ah menurut pandangan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Sulit rasanya memotret diri NU secara utuh, karena sesungguhnya organisasi ini jelas memiliki banyak sudut pandang yang beragam, tetapi disatukan secara kultural. Sekalipun NU tetap tak mungkin dilepaskan dari sejarah politik dengan akarnya yang menghunjam kuat, rasa-rasanya terlampau sulit juga mencabut akar tradisi yang begitu hidup dan berkelindan secara kultural dimana sekalipun mereka tak terafiliasi secara formal dengan NU, namun kedekatannya secara kultur jelas akan melawan ketika ada pihak-pihak yang mengancam realitas kekulturannya. Selamat Harlah NU ke-93, semoga NU tetap konsisten menjaga kultur keislamannya dan keindonesiannya!