Kisah Juju Juaningsih, Seorang Ibu yang Masih Merasakan Dampak COVID-19

Surya Nugraha
Seorang Mahasiswa Ilmu Komunikasi PSDKU Pangandaran Universitas Padjajaran
Konten dari Pengguna
27 Desember 2023 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumentasi Pribadi (Pantai Barat Pangandaran)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi Pribadi (Pantai Barat Pangandaran)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti yang kita ketahui, COVID-19 sudah mulai mereda pada pertengahan tahun 2022. Banyak perubahan yang terjadi mulai dari teknologi hingga kebiasaan perilaku sosial masyarakat yang hidup dalam media sosial.
ADVERTISEMENT
Nyatanya yang membawa perubahan tak selalu membawa kebahagiaan, banyak dari mereka yang masih terkena dampaknya sampai detik ini.
Lalu siapa yang harus disalahkan? Mengingat banyak sekali dampak yang masih tersisa dari adanya COVID-19 membuat manusia melakukan segala cara agar bisa bertahan hidup
Datang Membawa Perubahan Pergi Menyisakan Derita,Itulah yang dirasakan oleh Juju Juaningsih (60) yang dulunya seorang rumah tangga yang tinggal di Wonoharjo Kab. Pangandaran dan sekarang bekerja sebagai penjual minuman di pantai barat pangandaran.
Sebelum matahari itu terbenam, Juju Juaningsih melihat kondisi sekitar untuk memutuskan pulang atau lanjut berjualan, sambil membawa dagangan yang tak banyak pembeli, tidak seperti sedia kala.
“ahh baheula mah saacan COVID teh loba nu meser, nepi ka peuting oge loba barudak nu nongkrong ti senen nepi ka minggu ayeuna mah boro boro ( ahh dulu mah sebelum COVID banyak yang beli, sampe malem juga anak anak banyak yang nongkrong dari senin sampe minggu, sekarang udah jarang),” ujar Juju.
ADVERTISEMENT
Sulit memang menempatkan posisi sebagai penjual di tengah pandemi, ditambah Juju Juaningsih dan keluarganya tidak terlalu melek akan yang namanya teknologi.
Hal ini membuat Juju Juaningsih kesulitan untuk mendapatkan pendapatan, bahkan setelah pandemi juga pendapatan yang diterima oleh Juju Juaningsih susah untuk diprediksi.
Juju juga menceritakan bahwa dulu sebelum COVID ada, pendapatan yang diterima Juju bisa mencapai di angka 800rb-1jt perminggu.
Tetapi pada kenyataan saat setelah COVID Juju hanya mendapatkan pendapatan di angka 500-700 rb dan itu kotor.
Uang Bukan Solusi
Beberapa bulan sejak pertama kali COVID-19 melanda, Juju Juaningsih dan keluarganya mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 2,4 juta.
Bantuan tersebut tentu saja sangat berguna untuk Juju Juaningsih dan keluarganya, terlebih lagi pekerjaan Juju Juaningsih adalah berjualan yang pastinya harus ada kontak fisik langsung, tetapi COVID-19 menghalangi itu semua.
ADVERTISEMENT
“baheula ibu juga alhamdulillah dapet uang ti pemerintah 2,4 juta, tapi teh da langsung kapake sadayana ( dulu alhamdulillah dapat uang dari pemerintah 2,4 juta, tapi langsung terpakai semuanya),” ujarnya.
Dapat dirasakan bahwa kondisi yang dialami oleh Juju Juaningsih dan keluarganya dapat dikatakan sangat krisis dalam masalah finansial.
Juju Juaningsih mempunyai 2 orang anak, 1 laki-laki dan satu perempuan,mereka berdua sudah dewasa dan sudah bekerja.
Hal tersebut membuat Juju sedikit tenang, mengingat kondisi keluarga mereka yang cukup sulit dalam finansial, kedua anak tersebut sudah dapat hidup mandiri.
Sementara itu suami Juju yang bernama Herdis (63) bekerja sebagai pekerja tukang bangunan, tetapi karena COVID memaksanya untuk bekerja di berbagai tempat, bahkan menjadi pesewa perahu.
ADVERTISEMENT
“suami ibu mah damel jadi tukang, kadang ngarambat kana perahu oge ( suami ibu kerja jadi tukang, kadang kerja sebagai penyewa perahu juga ),” ujarnya.
Sebenarnya pekerjaan mereka menyesuaikan dengan waktu kondisi saat itu juga, COVID-19 yang memaksa mereka untuk bertahan hidup.
Sumber : Dokumentasi Pribadi (Juju Juaningsih (Tengah) seorang penjual minuman di pantai pangandaran)
Berbagi Rezeki
Setelah COVID berlalu dan masyarakat mulai diperbolehkan untuk keluar, kondisi Pangandaran khususnya Pangandaran pantai barat mulai ramai kembali.
Banyak dari mereka yang berjualan dan melakukan aktivitas berenang, naik perahu dan bermain papan selancar.
Setelah COVID mereda, banyak orang yang berjualan kembali di sekitar pantai pangandaran, banyak orang yang berenang bahkan menaiki kapal yang disewakan penjual.
Kondisi di daerah pantai pangandaran sudah mulai membaik, tetapi dalam kenyataannya tidak semua orang dapat merasakan hal itu.
ADVERTISEMENT
“Didieu mah lamun erek jualan kudu ati ati, sabab bisi aya jalmi lain nu atos jualan ti baheula, rek gorengan oge teu bisa jol jualan ( Disini jika ingin berjualan harus hati-hati, karena takut ada orang yang udah jualan dari dulu, mau itu hanya sekedar jualan gorengan tidak bisa semena mena).”
Melihat kejadian tersebut Juju menceritakan bahwa masih banyak orang yang terkendala dengan masalah finansialnya. Mereka membagi beberapa wilayah untuk berjualan agar semua orang mendapatkan konsumen.
Bukan hanya Juju, tetapi juga beberapa orang yang tinggal disana merasakan hal yang serupa.
Perjuangan Setelah Tsunami
Sumber : Puluhan warung di wilayah DIY terkena dampak dari gempa di Pantai Pangandaran Foto : Wawan H Prabowo/KOMPAS
Sebenarnya pembagian wilayah ini sudah terjadi sejak tsunami di Pangandaran pada tahun 2006.
Tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 tersebut, merenggut korban sebanyak 668 dan orang yang luka-luka sebanyak 9.299.
ADVERTISEMENT
Banyak korban yang dimakamkan secara massal, mengingat jumlah korban juga yang tidak sedikit dan ditambahkan banyak kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut.
“Baheula mah kan anu jualan teh lobana di pantai, jarak ti pantai nepi kanu jualan teh ngan sejengkal (Dulu yang berjualan banyak di pantai, jarak dari pantai dengan orang yang berjualan sangat dekat),” kata Juju.
Setelah itu Juju menceritakan bahwa setelah tsunami itu melanda, orang orang yang berjualan ikan asin dan lain sebagainya di pindahkan ke wilayah belakang.
Begitupun dengan Juju dan keluarganya, dia harus bangkit dari kerusakan yang diterimanya.
Setelah kejadian tersebut mereka mulai beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru. Bahkan pemerintah membuat beberapa fasilitas baru di wilayah pangandaran.
ADVERTISEMENT
Kesulitan yang mereka alami menjadi kisah masa kini yang memberikan arti, bahwa sebuah perubahan yang ada tidak selalu membawa hal yang berdampak positif.
Walaupun memang banyak teknologi atau aplikasi yang membantu para pengusaha dalam berjualan, tetapi apa boleh buat handphone pun tidak memadai bagi keluarga Juju.
Kesulitan kehidupan mereka yang tinggal di pedesaan menjadi saksi bahwa ada perbedaan yang cukup jauh antara kota dan daerah terpencil.
Surya Nugraha (Mahasiswa Ilmu Komunikasi PSDKU Pangandaran, Universitas Padjadjaran)