Jelang Pemilu 2024, Gairah Korupsi Politik Semakin Meningkat

Suprianto Haseng
Direktur Program dan Head of Media Millenial Talk Institute, Founder Komunitas Sejumi Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Tersertifikasi LSP KPK RI
Konten dari Pengguna
12 Januari 2023 14:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suprianto Haseng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski Pemilu 2024 masih terbilang jauh, partai politik sudah mulai melakukan pemanasan mesin politiknya untuk persiapan Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Pemantapan dan penguatan struktur di dalam partai juga sudah dilakukan. Beberapa partai juga mulai bersiap merekrut anggota parlemen yang akan memimpin proses perolehan suara partai.
Gejolak para politisi negara kita begitu sering terlihat sehingga mereka tampak saling berteriak. Wajar saja, mengingat jika sebuah partai politik tertinggal dari para pesaingnya, itu artinya partai tersebut akan mengalami kekalahan.
Akhirnya, banyak cara digunakan untuk mendapatkan dukungan rakyat dan mendapatkan kekuasaan. Korupsi politik juga umum terjadi.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah korupsi yang terus merajalela di segala lini kehidupan. Korupsi dan turunannya seperti suap gratifikasi dan kolusi merupakan faktor yang menghambat pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan budaya suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan pada lembaga pemerintah untuk keuntungan pribadi masih menjadi praktik yang umum terjadi di kalangan birokrat.
Kasus teranyar beberapa hari ini ditangkapnya Gubernur Papua, Lukas Enembe, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus dugaan suap dan gratifikasi senilai miliaran rupiah dalam proyek pembangunan infrastruktur.
Hal ini menunjukkan kasus korupsi di Indonesia sudah sangat darurat. Apalagi saat ini sedang memasuki tahun politik tentu gairah korupsi politik juga akan meningkat.
Wahyu Setiawan mengenakan rompi oranye usai ditetapkan sebagai tersangka, Jumat (10/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Masih ingat kasus heboh yang menyeret seorang komisioner KPU, Wahyu Setiawan? Kasus itu merupakan salah satu dari sekian banyaknya kasus korupsi politik di tanah air.
Pada 8 Januari 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi OTT terhadap tersangka Wahyu Setiawan yang tak lain adalah Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
ADVERTISEMENT
Mantan Komisioner KPU itu akhirnya divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Hakim memutuskan Wahyu Setiawan terbukti menerima suap dalam rangka Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR, Fraksi PDIP RI periode 2019-2024.
Kita pahami bersama bahwa korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja. Siapa pun itu bisa bersalah dan menjadi tersangka melakukan praktik korupsi, apalagi pemangku kepentingan di negeri ini.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Namun, yang paling berbahaya adalah korupsi politik, karena dampaknya selalu mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Itu sebabnya kita perlu mengetahui bentuk-bentuk korupsi politik yang ada, sehingga kita dapat menghindari korupsi politik yang ada di masa depan dan menyatakan perang melawannya bersama.
Mendiang Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung Republik Indonesia, pernah mengatakan bahwa sifat bahaya korupsi politik lebih merusak daripada korupsi biasa.
ADVERTISEMENT
Ia bahkan menyebut korupsi politik melanggar hak asasi manusia. Akibat dari korupsi ini adalah hilangnya hak-hak strategis rakyat.
Misalnya, seorang anggota dewan terpilih karena money politic, padahal ada orang yang lebih pantas duduk di kursi wakil rakyat. Karena itu, produk hukum yang mereka buat tidak akan pernah berkualitas atau hanya untuk mengisi kantong pribadi, bukan untuk kemaslahatan rakyat.
Anggota Dewas KPK Artidjo Alkostar dalam Konferensi pers kinerja Dewas KPK Tahun 2020. Foto: Dok. Humas KPK
Artidjo mendefinisikan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan oleh presiden, kepala negara, ketua atau anggota parlemen dan pejabat tinggi pemerintahan.
Korupsi ini terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaannya.
Para aktor korup ini memanipulasi institusi dan proses politik untuk mempengaruhi pemerintah dan sistem politik. Hukum dan peraturan disalahgunakan, tidak ditegakkan secara prosedural, diabaikan atau bahkan dirancang untuk memenuhi kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, penting bagi kita mengetahui apa saja bentuk-bentuk korupsi politik itu. Berikut 5 bentuk korupsi politik yang harus diketahui:

1. Jual Beli Suara

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Hari ini masyarakat indonesia sudah pasti mengenal praktik satu ini. Praktik jual beli suara adalah salah satu kasus korupsi politik yang paling banyak terjadi dalam pemilu. Cara ini digunakan oleh politisi atau partai politik untuk memenangkan pemilu dan mempertahankan kekuasaannya.
Jual beli suara yang umum dan banyak terjadi di lingkungan masyarakat kita hari ini adalah serangan fajar. Istilah ini digunakan untuk praktik kader partai yang membagikan uang kepada warga masyarakat di pagi hari menjelang pelaksanaan pencoblosan di TPS. Langkah ini dinilai dapat mempengaruhi keputusan warga saat memilih.
ADVERTISEMENT
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mengungkapkan modus jual beli suara lainnya yaitu dengan menggunakan sisa surat suara yang tidak terpakai di TPS akan dicoblos oleh oknum KPPS dan diserahkan kepada kubu partai yang menginginkannya.
Praktik jual beli suara ini bisa mengakibatkan orang yang salah duduk di kursi wakil rakyat. Para anggota dewan yang melakukan praktik jual beli suara sangat berpeluang atau memiliki peluang yang besar untuk melakukan korupsi karena untuk mengembalikan dana besar yang mereka keluarkan dalam pemilu.

2. Suap Menyuap

Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Suap menyuap dalam politik bukan hanya tentang menjadi kaya, tetapi juga tentang mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan pengaruh dalam birokrasi publik.
Jika dia berhasil kembali berkuasa, maka pelaku akan mengatur undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang diberlakukan untuk mendukung kepentingan keuangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Suap politik terjadi, misalnya ketika seorang politikus menyuap lembaga penyelenggara pemilu untuk memenangkannya dalam pilkada atau pemilu. Kolusi antara politisi dan penyelenggara pemilu ini juga merupakan salah satu bentuk korupsi di bidang politik.

3. Dagang Pengaruh atau Trading in Influence

Ilustrasi uang Foto: Pramata/Shutterstock
Perdagangan pengaruh atau perdagangan kekuasaan juga merupakan salah satu bentuk kejahatan korupsi yang harus diberantas. Perdagangan pengaruh ini terjadi, ketika seorang pejabat publik menawarkan diri atau menerima permintaan dari pihak lain untuk menggunakan pengaruh politik dan posisinya untuk ikut campur dalam keputusan tertentu.
Perdagangan pengaruh dilegalkan dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC) pada Oktober 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia.
Jenis korupsi ini sulit dilacak dalam penyidikannya, karena sedikit berbeda dengan legal lobbying dalam politik.
ADVERTISEMENT
Namun, ada kata kunci untuk membedakan pengaruh dari proses lobi: Transaksi Keuntungan. Ketika sudah ada transaksi dengan keuntungan tertentu, korupsi terjadi.
Contoh perdagangan pengaruh adalah ketika seorang pengusaha memberikan sejumlah besar uang kepada tokoh partai untuk memuluskan rencananya. Pengusaha ini tahu bahwa tokoh ini bisa mempengaruhi keputusan karena anggota dewan adalah kader partainya.

4. Nepotisme

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Nepotisme politik adalah perlakuan khusus terhadap anggota keluarga atau kerabat dalam posisi politik tertentu, atau dalam cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Kondisi ini sering terjadi di tubuh partai ketika pengurus partai diisi oleh keluarga pimpinan partai.
Nepotisme tidak menganggap jalur karier politik, prestasi, atau keterampilan sebagai penentu status. Selama masih kerabat atau saudara, dapat diangkat menjadi direktur atau diangkat menjadi direktur daerah yang ditunjuk.
ADVERTISEMENT
Praktik ini juga digunakan untuk mempertahankan dinasti politik di dalam partai. Di Indonesia masih ada nepotisme politik saat ini. Kondisi ini ironis, padahal salah satu tujuan reformasi adalah memberantas nepotisme yang dipandang sebagai biang korupsi dalam pemerintahan Orde Baru.

5. Pembiayaan Kampanye

Ilustrasi Politik Uang. Foto: ANTARA FOTO
Bentuk korupsi politik lainnya adalah pembiayaan partai politik atau kandidat dalam kampanye pemilu. Apakah ini kejahatan atau murni dukungan politik masih diperdebatkan. Namun, ungkapan “tidak ada yang namanya makan siang gratis” bisa jadi salah satu jawabannya.
Pembiayaan kampanye oleh seorang pengusaha besar kepada caleg bukannya tidak masuk akal. Meskipun mungkin tidak ada transaksi tertulis, ada utang budi yang yang harus dibayar lunas kepada pemberi.
Salah satu bentuk "penyelesaian utang" bisa dengan menetapkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha atau memanipulasi pemenang dalam menyediakan barang dan jasa pada proyek tertentu.
ADVERTISEMENT
Hal ini pada akhirnya menimbulkan konflik kepentingan yang merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.
Adanya korupsi politik jelas telah merugikan sistem demokrasi Indonesia. Korupsi politik juga merusak kepercayaan publik terhadap partai politik dan penyelenggara pemilu.
Selain itu, kualitas negara dan lembaga negara semakin merosot, karena yang memerintah bukan karena kemampuannya, melainkan karena korupsi.
Sebagai masyarakat yang baik dan peduli pada negeri ini sudah seharusnya kita bergerak bersama memberantas korupsi. Bergerak dengan segala kemampuan yang ada. Setidaknya, bisa menanamkan nilai integritas anti korupsi pada diri sendiri, keluarga serta masyarakat sekitar.
………………..