Kisah Kehidupan Anak Desa: Menu Spesial ala Anak Desa (Bagian 1)

Suprapto-apt
Saya seorang dosen di Fakultas Farmasi UMS Surakarta. Pemerhati lingkungan sosial, traveller, dan Penulis tentang kehidupan
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2023 21:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suprapto-apt tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hidangan makanan saat Lebaran. Foto: Ika Rahma H/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hidangan makanan saat Lebaran. Foto: Ika Rahma H/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di desa saya waktu itu, adat kejawennya masih sangat kental. Ada beberapa kebiasaan yang ditunggu oleh anak-anak seusia saya kala itu, misalnya acara bancaan (kenduri) weton lahiran, tingkeban orang hamil (mitoni), lahiran bayi, methil padi, tasyakuran orang punya hajatan sunatan, supitan, mantu, dll.
ADVERTISEMENT

Weton Lahiran

Acara weton lahiran adalah acara ritual yang hampir setiap minggu ada, bergilir dari satu keluarga ke keluarga lainnya dalam satu kampung saya saat itu. Untuk urusan ini, ibu saya nih jagonya hafalin weton-weton kelahiran dari para tetangga, baik untuk orang tua maupun anak-anaknya.
Maka tidak heran jika sebelum ada undangan resmi acara tersebut dari tetangga, ibu saya sudah tahu siapa yang hari ini ada acara hajatan keluarga (bancaan).
Kata ibu, “ini wetone si fulan, besok si fulanah, dst”. Eeee... ternyata bener juga. Kebetulan mbah kakung saya, yang oleh para tetangga dianggap sebagai sesepuh desa—bukan dukun lhoo. Simbah menjadi tempat bertanya kapan sebaiknya punya hajat mantu, menanam padi (nandur), panen padi, dll.
Ilustrasi lahiran bayi yang imut dan cute. Foto dari Pexels.com
Hal ini ternyata nurun kepada pak dhe dan bapak saya. Maka setelah simbah meninggal (Jawa: seda), ternyata para tetangga masih sering datang dan bertanya tentang hal-hal yang biasanya ditanyakan kepada simbah dulu. Yang kadang saya ikut nimbrung dengar di situ, walaupun saya tidak faham juga. Namun, keterampilan tersebut tidak menurun pada saya lho, hehehe...
ADVERTISEMENT
Acara weton lahiran biasanya dipilah menjadi dua, untuk anak-anak dan orang dewasa. Jika weton anak-anak maka yang diundang ke acara tersebut ya anak-anak.
Untuk acara kenduri weton orang dewasa yang diundang orang dewasa pula. Pernah juga kadang saya mewakili bapak. Juga ada anak lainnya yang mewakili orang tuanya.
Menu makanan khas bancakan untuk anak-anak yaitu nasi, gudangan, botok mlanding, pelas, gereh pethek, dan telur ayam rebus satu butir dibagi 8 atau 16. Ini merupakan menu spesial, meski telurnya kecil banget untuk ukuran anak sekarang.
Namun rasanya… emmmmm ya begitulah. Uenake pooool. Kalau menu kenduri orang dewasa biasanya lebih komplit dan lebih besar ukurannya. Itulah menu-menu special yang menjadi harapan anak-anak desa waktu itu.
ADVERTISEMENT

Mitoni

Mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan merupakan tradisi slametan adat Jawa atau malah banyak juga di wilayah Indonesia juga ada ya. Acara ini ditujukan untuk peremouan yang telah memasuki masa tujuh bulan kehamilan.
Mitoni sendiri berasal dari kata “pitu” yang artinya adalah angka tujuh. Pitu dapat diartikan sebagai pitulungan yang artinya adalah pertolongan, dimana acara ini merupakan sebuah doa agar pertolongan datang kepada ibu yang sedang mengandung dan janin yang dikandungnya.
Selain itu juga mohon doa agar diberikan kelancaran dalam proses persalinannya. Acara mitoni ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi pribadi yang baik dan berbakti. Tingkeban hanya dilakukan bila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu (kehamilan pertama kali), si ayah, atau keduanya.
Ilustrasi seorang wanita yang sedang hamil 7 bulan (mitoni). Sumber foto dari Pexels.com

Apa Filosofi dan Makna Mitoni?

Ada beberapa prosesi dalam acara mitoni. Siraman, acara inidimaksudkan untuk menyucikan secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Siraman dilakukan oleh tujuh orang bapak dan ibu yang diteladani dari calon ibu dan calon ayah.
ADVERTISEMENT
Dengan gayung batok kelapa, ibu dan bapak terpilih tersebut menyiram calon ibu dimulai dari saudara tertua di keluarga. Acara Brojolan, sang ayah akan meluncurkan dua cengkir dari balik kain yang dipakaikan sang ibu.
Cengkir atau kelapa muda yang dipakai sebelumnya telah dilukis Dewi Kamaratih yang melambangkan bayi perempuan jelita dan Dewa Kamajaya yang melambangkan bayi pria rupawan. Acara dilanjutkan dengan prosesi membelah cengkir, ini sebagai simbol untuk membukakan jalan si calon bayi agar lahir pada jalannya.

Pembagian Takir Pontang

Takir pontang adalah tempat makanan yang akan disajikan, yang terbuat dari daun pohon pisang dan janur. Dibentuk menyerupai kapal dimaksudkan bahwa dalam mengarungi bahtera kehidupan harus menata diri dengan menata pikiran. Karena laju perjalanan bahtera selalu pontang-panting mengikuti gelombang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Hidangan yang sudah diletakan pada takir pontang pun diberikan sebagai suguhan dan ucapan terima kasih. Dibagikan kepada para sesepuh yang menghadiri upacara tersebut.

Jualan Dawet dan Rujak

Acara ditutup dengan prosesi jualan dawet dan rujak. Filosofinya adalah usaha sebagai calon orang tua untuk memenuhi kebutuhan anaknya kelak. Ada harapan agar si anak mendapat banyak rejeki untuk dirinya dan juga bagi kedua orang tuanya.
Bagus juga ya sebenarnya filosofinya? Namun, setelah ditelusur prosesi tersebut merupakan tradisi yang berasal dari agama Hindu, yaitu dalam Kitab Hindu Upadesa.
Nah, begitulah sebagian keseruan kehidupan anak desa dalam menunggu acara-acara ritual dalam rangka untuk mendapatkan menu-menu spesial secara gratis. Ditunggu serial lanjutannya ya.