Lewati Hajatan dan Hamparan Sawah, Serunya Gowes di Phnom Penh

A Yathriba
ASN yang gemar membuat perhiasan, melukis, dan terkadang bersepeda.
Konten dari Pengguna
23 September 2023 12:08 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Yathriba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
merupakan kalimat yang paling saya tunggu menjelang akhir pekan. Kalimat tersebut merupakan ajakan untuk kami diaspora Indonesia gowes bersama pada hari Sabtu. Ketika saya awal bergabung dengan komunitas sepeda diaspora Indonesia, Phnom Penh Ride, saya mengira kegiatan bersepeda akan dilakukan dengan santai di tempat yang lurus dan datar.
Betapa salahnya saya, karena ternyata tempat gowes yang seru justru yang terdapat tantangan. Dari bersepeda “di aspal aja ya” menjadi “gravel dan tanah, siapa takut!” begitulah pengalaman saya.
Foto bersama Phnom Penh Ride dengan latar belakang garis langit Phnom Penh (dok: pribadi)
Ada beberapa lokasi yang menurut saya menarik untuk bersepeda di Phnom Penh dan wilayah sekitarnya, seperti Pulau Arey Ksat dan perkebunan lotus. Pulau Arey Ksat dipisahkan oleh dua sungai terbesar di Kamboja, yaitu sungai Mekong dan sungai Tonle Sap. Untuk mencapai pulau ini, harus menyeberang dari dermaga di Koh Pich, Phnom Penh, dan memakan waktu sekitar 15 menit menggunakan feri.
ADVERTISEMENT
Sesampai di Pulau Arey Ksat, mata dimanjakan dengan pemandangan hijau ladang perkebunan, sapi yang sedang merumput, dan garis langit Phnom Penh yang tampak dari seberang sungai. Warna langit yang senantiasa biru cerah pun menambah keindahan alam.
Sepeda yang bersandar di feri yang melintasi Sungai Tonle Sap (dok: pribadi)
Hijaunya ladang lotus dan hamparan sawah yang memanjakan mata (dok: pribadi)
Sesekali kita bertemu dengan anak-anak yang berteriak “Halo! Halo!” ketika rombongan kami melintasi daerah pemukiman. Saya pun membalas salam mereka dengan melambaikan tangan. Melihat muka sumringah anak-anak menambah semangat untuk terus melaju. Jika terasa lelah, biasanya kami berhenti sejenak di warung atau kafe terdekat.
Memilih jajanan lokal guna mengisi energi (dok: Yoshua/Phnom Penh Ride)
Bubur, kolak, cakwe, dan intip ala Kamboja (dok: pribadi)
Ada kalanya juga saya memilih untuk gowes tipis di lokasi yang tidak jauh dari tempat kediaman saya. Dua tempat yang sering saya kunjungi adalah area Koh Pich dan area taman Istana Raja. Di Koh Pich terdapat bangunan yang bergaya Eropa serta taman dengan danau buatan. Sementara itu, di taman Istana Raja kental dengan arsitektur bergaya Khmer.
ADVERTISEMENT
Kedua tempat ini cocok untuk gowes sendirian. Jalanan yang rata dan relatif sepi merupakan salah satu faktor mengapa saya senang bersepeda di sini.
Seli dengan latar belakang gerbang Istana Raja (dok: pribadi)
Kondisi jalan yang sepi di Koh Pich (dok: pribadi)
Selama bersepeda di Kamboja, terdapat beberapa pengalaman yang berkesan bagi saya. Salah satunya adalah ketika rombongan kami terpaksa harus melewati acara hajatan masyarakat setempat. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, di Kamboja lumrah jika ada acara hajatan yang memotong badan jalan.
Berhubung tidak ada rute lain, mau tidak mau kami harus lewat di tengah-tengah para tamu. Berulang kali saya mengucapkan “somtoh” atau maaf dalam bahasa Khmer sambil melewati para tamu. Ada rasa malu sekaligus geli, tetapi untungnya masyarakat Kamboja juga dikenal baik hati.
"Bombastic Side Eye" saat lewat di tengah hajatan masyarakat setempat (dok: pribadi)
Kondisi medan sepeda yang tidak selalu bersahabat juga menjadi suatu kenangan tersendiri. Sama seperti di Indonesia, Kamboja mengenal dua musim, yaitu kemarau dan penghujan. Ketika musim kemarau, bersepeda di tanah kering tidak menjadi masalah.
ADVERTISEMENT
Beda halnya saat sudah memasuki musim penghujan. Kondisi tanah menjadi becek berlumpur dan belum lagi jika harus menghindari kotoran sapi. “Ayo, kayuh terus aja,” terdengar teriakan semangat dari rekan-rekan agar terus melaju. Rasa akan takut jatuh dan takut kotor pun menjadi hilang. Namun, ada kalanya juga kondisi tanah terlalu berlumpur sehingga harus merelakan sepatu masuk ke kubangan lumpur.
Tanah becek yang menuntut untuk menuntun sepeda (dok: Jo/Phnom Penh Ride)
Tak kalah berharganya adalah pengalaman bersepeda dengan Phnom Penh Ride. Komunitas diaspora pesepeda di Phnom Penh ini inklusif untuk semua gender, umur, dan bahkan juga sepeda. Dari kondisi jalanan yang mudah hingga kondisi yang menantang, saya belajar dari Phnom Penh Ride untuk menikmati serunya gowes.
Phnom Penh Ride di Ladang Lotus (dok: pribadi)
Terima kasih untuk Phnom Penh Ride dan Kamboja. Semoga suatu saat nanti saya dapat kembali mengayuh sepeda di sana lagi. (AY)
ADVERTISEMENT