Mencari Jati Diri

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
Konten dari Pengguna
30 Mei 2023 9:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sunset di pantai. Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunset di pantai. Foto: Faisal Rahman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengetahuan mengenai jati diri memang merupakan pertanyaan eksistensial yang sering dilontarkan. Di mana pun kita dan pada masa kapan pun kita kebetulan hidup, kita tidak bisa menghindar dari mengajukan pertanyaan dasar tentang siapakah kita, dari mana kita datang, apa yang kita lakukan di sini, dan ke mana kita akan pergi.
ADVERTISEMENT
Dan tasawuf berbicara kepada sedikit orang yang mendambakan jawaban terdalam untuk pertanyaan tentang siapa mereka dan dengan cara yang akan menyentuh dan mentransformasi seluruh wujud mereka.
Dengan kata lain, jalan sufi adalah jalan di dalam tradisi Islam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar ini dan untuk menemukan identitas sejati kita.
Agama-agama sepanjang zaman telah berusaha untuk mengajari kita tentang siapa diri kita, dan melalui ajaran-ajaran batinnya, menyediakan jalan untuk “menjadi” diri sejati kita.
Islam tentu tidak terkecuali, menyingkapkan doktrin lengkap tentang hakikat kita yang sebenarnya dan juga hakikat tingkatan-tingkatan yang memancar dari Yang Esa, yang hanya Dialah Yang Nyata pada akhirnya, dan memberikan ajaran yang jika dipraktikkan, membawa kita kembali kepada yang Esa melalui jalan spiritual dengan sepenuh sukacita dan kebahagiaan.
Ilustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter Stock
Al-Qur’an sendiri menegaskan, “Sesungguhnya kita datang dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (QS. al-Baqarah/2: 156). Tidak semua orang ingin terbangun dari mimpi yang kita sebut kehidupan sehari-hari ini, tetapi ada orang yang mau.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah orang-orang yang sangat mendamba untuk mengetahui identitas sejati mereka, yang berarti tidak hanya menemukan realitas Tuhan, tetapi juga menapaki perjalanan yang mengarah ke dalam dekapan-Nya.
Tasawuf dimaksudkan bagi mereka yang ingin terbangun, yang menerima kematian ego di sini dan sekarang agar dapat menemukan Diri. Pesan tasawuf itu abadi (perennial) karena watak manusia selalu sama, tak terjangkau kebetulan aksidental oleh epos-epos sejarah dan gaya hidup zaman ini, dan juga karena selama kita adalah manusia, pertanyaan yang dihadapi masing-masing adalah “Siapakah aku?”
Tanggapan tasawuf terhadap pertanyaan abadi ini bergema hari ini sebagaimana dahulu bagi orang-orang yang telinganya peka terhadap panggilannya dan mendambakan pengetahuan yang mencerahkan, yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan istilah “makrifat”.
ADVERTISEMENT
Makrifat adalah sejenis pengetahuan untuk menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Makrifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.
Oleh karena itu, ia harus dialami, bukan dipelajari seperti untuk memahami pedas, akan bisa dengan mudah dilakukan dengan mencicipi cabai.
Di sinilah fungsi seorang guru spiritual (mursyid) yaitu untuk membimbing para pencari untuk dapat mengalami sendiri pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan dengan begitu bisa mengalami sendiri.
Ilustrasi berdoa. Foto: Shutterstock
Demikianlah, melalui ajaran tentang pentingnya mengenal diri sendiri agar (katanya) dapat mengenal Tuhan. Dan melalui ma‘rifatullāh seorang mursyid inilah, menghasilkan pandangan hidup yang terbuka dan toleran terhadap semua golongan agama, karena pada dasarnya juga menuju kepada Tuhan yang sama.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana digambarkan Nasr, bahwa dalam ilmu makrifat, kebenaran ini adalah tauhid dalam artian metaisik, suatu hikmah yang kekal, religio perennis, yang dengan datangnya Islam diwujudkan sepenuhnya.
Sepanjang sejarah Islam hidup dengan kesadaran akan keuniversalan hikmah yang mereka peroleh dan terkandung dalam ajaran-ajaran dan metode-metode mereka. Tetapi hanya beberapa di antaranya yang memiliki keahlian istimewa untuk mengemukakan secara tersurat masalah ini, sementara yang lain tak mampu mengemukakannya.
Seperti Jalaluddin Rumi yang memiliki beberapa murid Kristen dan Yahudi, dan yang Masnawi-nya penuh dengan sajak-sajak yang mengemukakan keuniversalan tradisi keagamaan
Kemudian setelah mengetahui jati diri dan mengenal Tuhan (ma‘rifatullāh), ajaran yang tak kalah pentingnya adalah melengkapi ibadah-ibadah syariah, dan kemudian mengejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti dalam janji setia (bai’at) sang murid di hadapan gurunya untuk selalu taat pada syariat dan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Syariat harus ditekankan, karena tanpa bungkus ini, kita akan menjadi manusia yang liar. Betul secara hakikat, tapi kita akan menjadi manusia liar.
ilustrasi berdoa. Foto: Billion Photos/Shutterstock
Akhir kata Ibn Atha’illah berkata dalam kalimat hikmahnya: Engkau tidak dapat melihat Tuhanmu, karena engkau lemah dan terbatas. Pandanganmu tidak dapat melihat Tuhanmu karena pandanganmu lemah dan terbatas.
Matamu tidak dapat melihat Tuhanmu karena mata terhijab oleh sesuatu. Sesuatu yang menghijab pandanganmu itu lebih kuat dari matamu. Engkau terhijab, karena engkau lemah dan memiliki kekurangan.
Sesuatu yang menghijab pandanganmu itu yang menyebabkan engkau tidak dapat melihat Tuhanmu. Karena boleh jadi, sesuatu menghijab pandanganmu itu lebih kuat dari matamu. Untuk itu, beribadahlah kepada Allah karena Allah dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa melihatmu.
ADVERTISEMENT
Tidakkah kita ingat, ketika Musa meminta kepada Allah untuk menampakkan dirinya di hadapannya.