Jangan Ada Lagi Kekerasan di Sekolah

Muh Adnin
Alumni Universitas Bhayangkara Jakarta
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2023 6:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Adnin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak menghentikan bully. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Anak menghentikan bully. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia banyak dihebohkan dengan berbagai macam kasus di lingkungan sekolah, seperti yang sempat viral di media sosial, pelaku bahkan sampai menjadi sasaran serang netizen karena melakukan bullying.
ADVERTISEMENT
Barangkali itu hanya contoh kasus yang kemudian kita tahu, dalam dunia pendidikan, kasus yang dewasa ini banyak sekali adalah mengenai kekerasan yang terjadi di sekolah.
Mengenai definisi sekolah, salah satunya disampaikan oleh Sofan Amri “adalah tempat baik secara langsung atau tidak langsung untuk memberikan sentuhan perilaku kepada anak, melalui norma dan pembiasaan nilai-nilai kehidupan yang terlaksana di sekolah.
Mengenai Pendidikan, apalagi tentang kekerasan yang muncul di dalamnya, pendidikan seharusnya bersifat humanistik bukan malah behaviorostik, seperti kata Benjamin S. Bloom, tokoh filsafat pendidikan abad ini.
Dalam konsep ini, pendidikan menekankan betul posisi menciptakan manusia yang memiliki rasa kemanusiaan yang kuat. Dalam arti yang lebih lanjut, pendidikan tidak hanya bersifat materialistik dan bertumpu pada capaian reward belaka. Secara psikologi, Pendidikan yang dekat akan humanistic akan cenderung meminimalisir gesekan akibat potensi negatif yang ada di sekolah.
ADVERTISEMENT
Disayangkan betul tentu bahwa Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi untuk memecah masalah yang ada di masyarakat malah menjadi masalah itu sendiri.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana siswa mampu dituntut untuk praktik pembelajaran yang aktif, kritis dan solutif jika lingkungan pendidikannya semacam sekolah malah jadi sumber masalah? Menjawab hal ini adalah hal serius yang harus dilakukan dengan tepat sasaran, mata rantai kekerasan yang ada perlu kemudian di telusuri dan hentikan sumbunya.

Kekerasan Lingkungan Pendidikan

Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
Kasus kekerasan sebenarnya bukan hal baru terhadap anak-anak di lingkungan sekolah, meski sudah banyak kekerasan yang terjadi pada lingkungan sekolah yang di mana tindakan kekerasan akan menimbulkan luka pada korbannya baik luka fisik atau luka psikis.
ADVERTISEMENT
Apa pun alasannya, tindakan kekerasan tidak dapat kita benarkan, kekerasan termasuk ke dalam tindakan yang sangat melanggar Hak Asasi Manusia.
Tindakan kekerasan juga adalah bukti tidak adanya penghormatan norma-norma dan nilai nilai yang mencerminkan hak asasi manusia. Baik itu kekerasan fisik maupun psikis, bahkan sampai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah, semuanya harus dicegah dan ditangani dengan serius.
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dihimpun dari Republika, terdapat 16 kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah dari Januari hingga Agustus 2023. Kasus perundungan ini paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proposi 25% dari total kasus.
Sedangkan perundungan yang terjadi di lingkungan Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang sama-sama mendapatkan persentase sebesar 18,75%.
ADVERTISEMENT
Sementara di lingkungan Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren, masing-masing dengan persentase sebesar 6,25% lebih kecil ketimbang yang terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD). Data dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mengungkapkan kasus perundungan yang paling banyak terjadi pada anak-anak SD.

Peran Pemerintah

Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Pemerintah dalam hal ini tentu perlu melakukan langkah yang strategis, misalnya, dari sektor membantu korban kekerasan di satuan pendidikan, adanya pembaharuan Permendikbud No 82 menjadi Permendikbudristek No 46 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) adalah salah satu langkahnya.
Dalam aturan baru ini, perlindungan juga tak hanya peserta didik, berbeda dengan sebelumnya yang hanya untuk Peserta didik namun pendidik dan tenaga kependidikan juga menjadi fokus pencegahan dan penanganan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Lalu dengan adanya enam bentuk kekerasan yang didefinisikan secara terperinci dalam Permendikbudristek PPKSP contoh dalam pasal 6 kekerasan terbagi menjadi kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, Diskriminasi dan Intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan, apa saja yang termasuk masuk dalam kategori kekerasan juga semakin jelas. Kekerasan yang terdefini dengan baik tentu bisa menjadi oedoman untuk melakukan pencegahan dan penanganannya.
Karena memang kekerasan fisik dan perundungan itu bisa saja berbeda, bentuk yang semakin diperinci ini juga bisa menjadi pedoman pencegahan apalagi dengan adanya media teknologi yang juga bisa memudahkan melakukan tindakan kekerasan. Harapannya dengan lebih diperincinya aturan ini, penanganan kekerasan yang terjadi dalam satuan pendidikan yang notabenenya menjadi permasalahan bisa semakin efektif dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dengan harapan adanya PPKSP ini juga, tanggung jawab dan peran serta masing – masing pemangku kepentingan juga menjadi fokus yang di bawa. Bahwa untuk menangani kekerasan di satuan pendidikan perlu perhatian khusus dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak sekolah. Melalui kebijakan baru ini, harapan besarnya adalah mampu untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, berkebhinekaan, dan aman bagi semua (peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya).
Sehingga bagi mereka yang berangkat sekolah tidak merasa takut karena adanya kekerasan baik dari pendidik maupun dari teman sebayanya. Pendidikan sudah seharusnya menjadi teman yang nyaman untuk mencari ilmu, bukan malah menjadi tempat yang menakutkan. Maka marilah kita sebagai orang yang mungkin termasuk aktor pendidikan atau yang hidup dalam lingkungan pendidikan ikut serta untuk melakukan sosialisasi apa saja hal-hal yang menjadi batasan dalam kita bersosialisasinya dan bersikap terhadap orang lain. Sudah cukup banyak kasus kekerasan terutama yang terjadi selama ini bahkan di tahun 2023 menjadi tamparan keras kita untuk memanusiakan manusia, bagaimana memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dalam bersosialisasi.
ADVERTISEMENT