Kebijakan Stunting yang Tidak Membahas Anak yang 'Sedang' Stunting

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2021 11:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : UNICEF
zoom-in-whitePerbesar
Source : UNICEF

A. Pendahuluan

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Target penurunan angka stunting pada angka 14% Pada Tahun 2024 kini telah dituangkan dalam Perpres No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, dari yang sebelumnya adalah 19% dalam RPJMN 2020-2024. Perpres ini diterbitkan pada Tanggal 5 Agustus 2021 lalu, sekaligus menetapkan anggota-anggota Tim Percepatan Penurunan Stunting yang terdiri dari berbagai kementerian sebagai Tim Pengarah yang dikepalai oleh Wakil Presiden RI, sementara Ketua Tim Pelaksananya berada di tangan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Dalam lampirannya, diatur juga secara rinci mengenai kegiatan atau program yang akan dilaksanakan dalam rangka penanggulangan stunting ini.
ADVERTISEMENT

B. Pemerintah Terlalu Fokus pada Intervensi Sensitif

Dalam Perpres ini, banyak sekali diatur mengenai program-program dan indikator terkait intervensi sensitif, di antaranya adalah pelayanan KB, Yankes Pernikahan, Penurunan Kehamilan tidak diinginkan, Akses Air Minum, Sanitasi, Pendampingan dan Bantuan, Peningkatan Pemahaman Stunting, Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, dan lain-lain hingga Kampanye stop BAB sembarangan, dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sedangkan intervensi spesifik hanya sedikit, yaitu pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada ibu hamil dan remaja, Asupan Gizi Ibu Hamil, ASI dan MPASI untuk bayi, imunisasi dasar lengkap, serta tata laksana gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan.
Namun, jika dipikirkan kembali, seluruh program tersebut hanyalah membicarakan mengenai pencegahan terjadinya stunting. Sebagaimana intervensi sensitif ditujukan untuk mengatasi penyebab tidak langsung stunting, dan intervensi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung stunting, keduanya ditujukan pada kelompok sasaran di mana tidak satu pun secara khusus ditujukan terhadap balita yang “sedang” stunting.
Buku Saku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita di Layanan Rawat Jalan
Hal ini pun diperjelas dengan informasi dalam Buku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita Tahun 2020 oleh Kementerian Kesehatan, bahwa “Gizi Buruk (severe wasting) dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian serta meningkatkan risiko terjadinya stunting”, sehingga disimpulkan bahwa gizi buruk tidaklah sama dengan stunting, melainkan sebagai kondisi sebelum terjadinya stunting, atau salah satu penyebab terjadinya stunting.
ADVERTISEMENT

C. Pentingnya Intervensi Spesifik bagi Balita yang “Sedang” Stunting

Dapat digambarkan bahwa intervensi sensitif adalah sebagai strategi jangka panjang agar tercipta lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan balita yang baik, sehingga stunting tidak terjadi lagi. Sedangkan, intervensi spesifik adalah sebagai strategi jangka pendek, di mana kemungkinan terjadinya stunting harus segera ditangani ataupun jika sudah terjadi stunting harus segera diobati, mengingat bahwa balita stunting hanya memiliki jendela waktu 1000 Hari Pertama Kehidupan, sebelum pada akhirnya balita tersebut stunted dan tidak dapat dipulihkan / diobati lagi.
Intervensi spesifik berupa pengobatan terhadap balita stunting ini sebenarnya sudah diatur oleh Pemerintah melalui Permenkes No. 29 Tahun 2019, namun sampai dengan saat ini Peraturan tersebut masih belum dilaksanakan dikarenakan masih harus disusun Petunjuk Teknis (Juknis) yang di mana Juknis itu sendiri baru diselesaikan pada Bulan Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Besar harapan agar Juknis tersebut dapat segera diimplementasikan, namun ternyata masih perlu dilakukan Baseline Study di 4 lokasi prioritas terpilih yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan NTB. Sehingga, Permenkes yang saat ini sudah berumur 2 tahun tersebut masih memerlukan waktu lagi sampai dengan benar-benar diimplementasikan.
Kemudian, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah di mana Permenkes No. 29 Tahun 2019 ini mensyaratkan pemberian Intervensi Spesifik berupa Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) hanya dapat dilakukan oleh Dokter Spesialis Anak, di mana berdasarkan Pusdatin Kemenkes, Dokter Spesialis Anak tidak satu pun yang berada di puskesmas, melainkan di Rumah Sakit. Sedangkan kenyataannya, masih banyak wilayah / daerah di Indonesia yang memiliki keterbatasan akses ke RS terdekat. Padahal justru angka prevalensi stunting yang tinggi cenderung berada pada wilayah-wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sehingga, seyogyanya di dalam kerangka kebijakan penanggulangan stunting tersebut mengakomodir mengenai ini permasalahan-permasalahan yang nyata ini, yaitu misal yang pertama adalah target pengobatan balita stunting 1000HPK pada Tahun 2024, dan yang kedua aksesibilitasnya. Jika ketersediaan bidan juga termasuk dalam target percepatan penurunan stunting, maka ketersediaan dokter anak tersebut juga harus diikutsertakan, apalagi ia memiliki peran yang sangat penting dalam masa genting 1000 Hari Pertama Kehidupan balita stunting.
D. Arah dan Rekomendasi Kebijakan Pemerintah
Saat ini, arah kebijakan pemerintah terutama dalam Perpres No. 72 Tahun 2021 tersebut masih terlalu berfokus pada intervensi sensitif dan pencegahan terjadinya stunting tanpa mengingat bahwa di saat ini, di waktu ini, banyak sekali balita di Indonesia yang sedang menderita kondisi tersebut tanpa kerangka kebijakan yang jelas dan pasti.
ADVERTISEMENT
Dengan jumlah balita stunting yang masih banyak yaitu di angka 27,67% (BPS/Litbangkes 2020), artinya pemerintah masih harus lebih berfokus terhadap intervensi spesifik dengan intensitas tinggi khususnya terhadap balita-balita stunting tersebut, sembari membangun dan menyempurnakan upaya-upaya intervensi sensitif.
Adapun logikanya adalah seiring dengan semakin meningkatnya intervensi sensitif maka jumlah kelahiran balita stunting akan menurun, sehingga intervensi spesifik pun otomatis akan berkurang atau bahkan tidak diperlukan lagi.
Sekali lagi, pemerintah masih harus memperhatikan kondisi balita-balita yang sedang stunting melalui intervensi spesifik dalam kerangka kebijakan penurunan stunting, sebelum pada akhirnya ia menjadi benar-benar stunted untuk selamanya, karena masa depannya adalah masa depan bangsa.
Jakarta, 31 Agustus 2021
Sofie Wasiat
PH&H Public Policy Interest Group
ADVERTISEMENT