Setangkai Mawar Putih

Silvia AR
Mahasiswi
Konten dari Pengguna
4 Desember 2022 17:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silvia AR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi mawar putih. Gambar dari pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi mawar putih. Gambar dari pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gadis berambut panjang sebahu itu menyipitkan kedua matanya, setelah Sera menyuruh fokus melihat apa yang tak jauh dari pandangannya. Namun tetap saja, mata indah bagai bulan sabit yang minus itu tidak dapat melihat dengan jelas. Anin lupa tidak memakai kacamata atau lensa kontak yang selalu ada di dalam tas kecilnya, karena tertinggal di rumah.
ADVERTISEMENT
Sera yang menyadari Anin tidak melihat—lantas tertawa, menepuk lengan Anin sedikit kencang. “Astaga, gua baru sadar kalau lu engga pakai kacamata. Pantesan, dari tadi ada yang aneh sama lu.”
“Lu juga, sih. Udah tau gua minus mana silinder juga, kan blur kalo liat yang jauh.”
Anin menggerutu ke arah Sera dengan malas. “Emang di depan sana ada siapa?” tanya Anin seraya melangkah mendahului Sera di sampingnya. Kerumunan orang-orang di sekitar toko-toko sepanjang jalan juga mempengaruhi pandangan Anin dalam melihat.
“Sorry, Nin.” Sera menyamakan langkahnya dengan Anin, bibirnya mengatakan sesuatu yang jelas-jelas hanya dirinya sendiri yang bisa mendengarnya. “There is one person who makes you smile, di sana. Lu engga bisa lihat? Tadi dia senyum ke arah sini,” kata Sera tersenyum sembari menoleh ke arah Anin.
ADVERTISEMENT
Langkah Anindya Maharani terhenti, ia menghadap ke arah sahabat di sampingnya dengan kesal. “Ra, tolong, ya. Gua engga pakai kacamata, jadi engga usah begitu, ok. Nah, kalau ngasih tau informasi itu yang jelas. Jangan ambigu.”
Setelah mengatakan seperti itu, Anin melangkah lebih cepat ke arah kafe yang akan mereka datangi. Ia tidak memedulikan beberapa panggilan Sera yang masuk ke dalam pendengarannya. Ia melangkah memasuki kafe, mencari tempat duduk yang nyaman untuk mengerjakan tugas kuliahnya, di salah satu sudut kafe.
“Astaga! Lu marah sama gua, Nin. Kesel?” Pertanyaan beruntun itu Sera lontarkan ketika sampai di dalam kafe, duduk di samping Anin, menaruh totebag di atas meja.
“Padahal tadi, tuh. Ada si Devandra.”
ADVERTISEMENT
Sera kembali bangkit, berjalan ke arah pintu. Niatnya ingin keluar, lalu berjalan-jalan di sekitar kafe. Akan tetapi Anin menyusul dan menyuruhnya duduk kembali, menemani Anin menyelesaikan tugas makalah. “Gua engga marah sama lu. Cuma pengin gua cubit aja sih pipi lu, Ra.”
Dalam lubuk hati Anin yang terdalam, ia ingin menanyakan lebih lanjut tentang Devandra. Tetapi, ia harus menunda sedikit lama pertanyaan itu. Ia akan menggarap tugasnya yang menumpuk setelah seharian ia tinggal untuk maraton menonton film korea kesayangannya.
***
Begitu Anin meletakkan laptopnya di atas meja belajar kamarnya, buru-buru ia duduk di samping Sera di atas kasur.
“Tadi si Dev ada di mana, Ra?” Raut wajah Anin begitu serius, ia tak sabar mendengar jawaban sahabatnya.
ADVERTISEMENT
Tuhan izinkan aku
Dekatkan diri dan hatinya padaku
Kalau ada satu kesempatan
‘kan kujadikan kau kekasihku
“Hah, apaan Nin?” Sera yang tengah menyumpalkan earphone di kedua telinga diiringi lagu yang ia putar itu tidak bisa mendengar jelas pertanyaan Anin. Hingga, Anin dengan sabar mengulangi pertanyaannya lagi. “Oh, ada di seberang jalan, dia tau ada kita di situ tadi. Dia melambaikan tangan, senyum-senyum gitu. Terus gua bales senyum, ya. Kayaknya kalau tadi dia engga keburu-buru, mungkin mau nyamperin kita.”
“Aish, sialnya gua engga pakai kacamata, nih.” Anin sedikit menyesali dirinya. Kebodohannya suka muncul setiap ia terburu-buru pergi. “Tapi, lu kok tau dia buru-buru?”
Sera menarik napasnya dalam, mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar dari mulut Anin. “Bentar, ah. Gue haus, mau minum.”
ADVERTISEMENT
Sera keluar dari kamar Anin dengan tertawa, memang sengaja untuk menghindari pertanyaan beranak itu. Ia berjalan ke arah dapur, mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin di dalam kulkas. Keluarga Anin sudah menganggap Sera keluarganya, jadi tidak canggung hanya sekadar mengambil minum di dalam kulkas.
Sera sudah mengenal Anin juga Devandra sejak lama, dari masih masa SMA. Bahkan ia juga sudah tahu jika Anin mempunyai perasaan dengan Devandra melebihi seorang teman. Namun, Anin tak pernah membahasnya, memendam sendiri, dan kadang mengatakannya pada Sera sesekali sesaat perasaannya tidak enak.
Sebelum Sera kembali ke lantai dua kamar Anin. Ia mengambil handphone di saku celananya, mendapati beberapa pesan dari Devandra. Langsung ia membalas chatnya dan buru-buru kembali ke kamar sembari membawa minum.
ADVERTISEMENT
“Jadi, tadi dia nunjuk jam tangannya sambil manggut-manggut.” Sera kembali duduk di atas karpet kamar Anin, menaruh minum di depannya.
“Gitu, doang?” Anin tidak puas dengan jawaban Sera, lantas ia mengambil laptop dan menyalakannya kembali. Ia berencana mengecek kembali tugas makalahnya sebelum dikirimkan ke grup tugas mata kuliahnya itu.
“Ya, terus mau lu gimana? Emang gitu kenyataannya.” Sera menarik bantal kecil di samping Anin, menaruhnya di depan dada—lalu dipeluk. Ia membuka ponselnya kembali. Ada rasa bersalah dalam hati Sera, tetapi ini juga untuk kebahagiaan Anin. “Nin, ntar malem lu di rumah, kan?”
“Di rumah. Kenapa?” Anin menjawab singkat, ia terlalu fokus dengan laptopnya. Takut-takut ada materi yang kelewat belum tertulis.
ADVERTISEMENT
“Ok, lu harus di rumah. Awas lu main, engga gua ijinin!” Sera menjawab dengan keras dan semangat. “Jangan tidur juga!”
***
“Jangan bilang kalau kita udah bikin rencana ini dari beberapa hari yang lalu, ya, Dev,” kata Sera tepat setelah mereka sampai di depan rumah Anin. Keduanya datang sekitar pukul delapan kurang 10 menit malam.
“Siap, Sera! Lu udah chat Anin?” Devandra membawa kue ulang tahun, lengkap dengan lilin di atasnya. “Ini gue masuknya kapan, Ra?”
“Tenang, tarik napas—embuskan. Jangan keburu-buru.” Sera menyuruh Devandra untuk lebih tenang, pasalnya si Devandra terlihat sangat gugup. “Dia lagi mau bukain pagar, lu masuk habis gua, ya. Atau lu berdiri di samping dulu, biar ga keliatan Anin.”
ADVERTISEMENT
Devandra mengikuti arahan Sera. Malam ini Sera dan Devandra berpakaian cukup rapi dan wangi, tidak perlu dengan pakaian mewah juga glamor.
“Sera! Kenapa malem-malem ke sini?” Anin menoleh ke kanan kirinya, gelap—jelas. Sepi juga perumahan di daerah Anin.
“Ayo, masuk!” Sera membalikkan tubuh Anin, mendorong pelan menuju teras rumahnya. Sesekali, Sera menengok ke belakang—melihat Devandra yang sedang tersenyum. “Ayo, Dev,” kata Sera tanpa menimbulkan suara.
“Anin, gua … mau bilang. Kalau—” Sera sengaja tidak meneruskan kata-katanya. Ia tahu bahwa Devandra segera mengatakan kalimat-kalimat yang telah di susun sangat lama dan penuh keberanian untuk mengungkapkannya.
“Happy birthday, Anin.” Devandra muncul dibalik pagar dengan suara khasnya yang terdengar serak namun tetap keren. Lilin dengan angka 22 yang sudah tertancap lengkap dengan api kecil itu terlihat indah. Devandra melangkah maju perlahan, mendekati Anindya juga Sera di depan teras.
ADVERTISEMENT
Anin menutup mulut dengan kedua tangannya. Tidak percaya. Ia menatap bergantian Sera juga Devandra. Ada rasa senang, terharu, juga bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. “Tapi, ulang tahun gua, besok.”
Devandra tersenyum, menampilkan lesung pipinya di sebelah kiri. “Anin, tiup lilinnya dululah.” Devandra menyodorkan kue yang ia bawa ke arah depan Anindya.
“Make a wish, jangan lupa. Yang banyak doanya.” Sera menahan Anindya untuk meniup lilin. “Khusus ulang tahun lu kali ini. Kita ngucapin duluan because i have something to say to you but this is very happy for me and you.”
Seusai Anin meniup lilinnya, ia menyuruh kedua sahabatnya itu untuk duduk di teras rumahnya. Sembari Anin menawarkan minum, “Mau minum apa kalian?”
ADVERTISEMENT
“Terserah yang punya rumah, seadanya aja.” Sera menjawab lalu melirik ke arah Devandra dengan senyum kecil di bibir Sera. Anin masuk ke dalam rumahnya. Saat itu juga Sera menyuruh Devandra untuk menyiapkan bunga mawar putih yang telah dibawa di belakang tubuhnya. Ia berpesan pada Devandra untuk bersikap tenang dan santai, jangan terlihat tegang atau gugup.
“Ini minumnya, ya. Gua adanya jus,” kata Anindya seraya meletakkan dua cangkir gelas di atas meja di hadapan Sera juga Devandra.
Devandra melihat ke arah Anin, perasaannya campur aduk. Panas dingin. “Nin.” Devandra memanggil Anin pelan. Ia juga melihat Sera tampaknya ingin menghilang dari Anin juga Devandra saat itu juga.
“Gua masuk dulu, ya. Mau ketemu Tante, Nin.” Dengan segera Sera memasuki rumah Anin. Alih-alih menemui mama dari Anindya ia malah mengintip Devandra dan Anin dari jendela dalam rumah.
ADVERTISEMENT
“Nin, especially for you tonight, I’ve a white flowers for you.” Devandra menyerahkan mawar putih tepat di depan Anin. Anindya terlihat kaget, matanya mengerjap tidak percaya untuk beberapa saat. Namun kemudian, ia menerima bunga mawar putih itu dengan tersenyum. Devandra yang semula duduk di kursi, ia kini berdiri. Berpindah jongkok di depan Anin. Meraih tangan kiri Anin lalu berkata, “Kalau ada satu kesempatan, bolehkah kau kujadikan kekasihku. Kalau ada satu kemungkinan, akan kupastikan kau jadi kekasihku yang terakhir kali.”
Anindya terkejut, perasaannya ambyar. Apa benar yang dikatakan Devandra? Apa ia tak salah dengar? Apa cinta pertamanya dulu ketika SMA kembali lagi?
“Serius, Dev? Apa gua engga salah denger?” Anin menanyakan dengan jantung berdebar, ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu.
ADVERTISEMENT
“Apa harus saya ulang lagi? Can you be my future, Dear?” Perasaan Devandra sudah normal kembali, tidak ada rasa gugup di dadanya. Ia mampu mengulangi kalimat itu dengan santai dan mantap.
Sera berteriak dari dalam, lalu melangkah—mendekati Devandra serta Anindya dan tersenyum. “Terima!”
Anindya tersenyum, rasanya ini seperti mimpi. Ternyata tidak sia-sia, cinta untuk Devandra yang selalu disimpan baik di dalam hatinya. Anindya mengangguk serius. Ia menerima Devandra dengan hati yang lapang.
Selesai.