Wabah Corona, Kerja, dan Solidaritas Kita

Konten dari Pengguna
18 Maret 2020 0:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antrean pekerja mengular di bawah hujan lebat akibat pembatasan MRT dan Transjakarta yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI pada 16 Maret 2020.
zoom-in-whitePerbesar
Antrean pekerja mengular di bawah hujan lebat akibat pembatasan MRT dan Transjakarta yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI pada 16 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Dengan kondisi ini, saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah.”
ADVERTISEMENT
Imbauan itu disampaikan Presiden Jokowi, Minggu 15 Maret 2020, tiga hari setelah badan kesehatan dunia WHO menetapkan infeksi Virus Corona sebagai pagebluk atau wabah dunia. Hari itu, jumlah pengidap Virus Corona di Indonesia menembus angka seratus menjadi 117 penderita, 5 orang di antaranya meninggal.
Sebelum imbauan itu disampaikan, beberapa kampus telah memutuskan untuk melaksanakan kuliah jarak jauh dan beberapa kantor telah meminta karyawannya untuk bekerja dari rumah.
Seolah-olah semua orang bisa membatasi pergerakan untuk mencegah penularan COVID-19, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat mengeluarkan kebijakan kontroversial untuk membatasi jam operasi MRT dan Transjakarta hanya pada pukul 06.00-18.00 WIB. Pemprov DKI juga melakukan pengurangan jumlah armada secara signifikan. Tujuannya agar pengguna transportasi umum memilih tinggal di rumah atau beralih ke kendaraan pribadi untuk mencegah penularan Virus Corona di kereta dan bus.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mengurangi interaksi manusia di transportasi umum, langkah ini membuat Jakarta pada Senin 16 Maret 2020 kemarin kacau-balau. Antrean mengular di halte-halte busway dan stasiun-stasiun MRT. Sosial distancing yang diimbau dilakukan untuk mencegah penularan COVID-19 tak mungkin dilakukan dalam kerumunan ini.
Pengguna MRT dan busway bahkan tetap mengantre dalam jarak rapat di tengah hujan yang turun sejak sore hari. Jika ada pengidap Virus Corona dalam antrean itu, tak perlu menunggu lama untuk membuat ratusan orang di antaranya tertular.
Untungnya, kebijakan blunder ini hanya berjalan satu hari. Presiden Jokowi hari itu menegaskan agar pemerintah pusat dan daerah tetap menyediakan transportasi umum yang bersih dan memadai untuk masyarakat. Malamnya, kebijakan Pemprov DKI ini dicabut.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang memilih menyalahkan anggota masyarakat lain yang enggan mengurangi mobilitas dengan melakukan kerja atau belajar jarak jauh. Ada orang-orang yang menganggap Indonesia bahkan harus melakukan lockdown untuk mencegah penyebaran COVID-19. Kelompok ini menilai orang-orang yang tidak mau mengurangi mobilitasnya sebagai kelompok ignoran, bahkan ada yang menganggapnya sebagai suatu kebodohan.
Masalahnya, semudah itukah memindahkan pola kerja di kantor menjadi kerja jarak jauh alias work from home (WFH)?
Pagebluk Virus Corona saat ini memaksa banyak kantor beralih ke pola kerja jarak jauh dan kampus-kampus dipaksa melakukan kuliah jarak jauh. Beberapa orang teman mengatakan, ini saatnya dunia benar-benar belajar untuk bekerja dan kuliah dari jarak jauh. Blessing in disguise, kata mereka.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Saat menjadi direktur operasional sebuah organisasi internet governance, saya pernah mengusulkan agar beberapa posisi diperbolehkan untuk bekerja jarak jauh. Usulan itu saya ajukan karena kantor saya memiliki infrastruktur yang sangat memadai untuk bekerja jarak jauh: seluruh karyawan bekerja menggunakan laptop kantor, koneksi internet yang cepat dan stabil, semua pekerjaan disimpan di cloud milik sendiri, dan telepon menggunakan IP phone yang ekstensinya dengan sangat mudah dapat dialihkan ke ponsel karyawan. Soal keamanan, kantor saya sudah memiliki sertifikat ISO-27001 yang menjamin prosedur keamanan.
Namun usulan saya tidak diterima oleh direktur yang lain. Alasan utamanya, pengawasan terhadap karyawan sulit dilakukan dengan model kerja jarak-jauh. Alasan lainnya, kehadiran secara fisik lebih mempermudah sesama karyawan untuk berdiskusi dan melakukan brain storming. Hingga saya mengundurkan diri dari sana karena terjun ke dunia politik, absensi dan durasi kerja masih masuk ke dalam penilaian tahunan karyawan.
ADVERTISEMENT
Di banyak kantor, kehadiran masih dijadikan tolak ukur kinerja dan absensi masih dijadikan alat penilaian karyawan. Setali tiga uang, kebanyakan kampus tidak memperbolehkan mahasiswanya mengikuti Ujian Akhir Semester jika tidak hadir kuliah lebih dari jumlah yang ditentukan – biasanya jika absen lebih dari tiga kali.
Pola pikir semacam ini sejatinya tidak selalu salah-salah amat. Masih banyak karyawan yang masih harus diawasi secara ketat saat bekerja. Mahasiswa juga banyak yang masih harus “dipaksa belajar” dengan mengikuti kuliah tatap muka.
Namun dengan kebanyakan kantor dan kampus masih belum bisa lepas dari paradigma lama yang mementingkan kehadiran ketimbang hasil kerja atau hasil pembelajaran, pindah ke e-working dan e-learning bukanlah hal yang mudah.
Resistensi pada kerja dan kuliah jarak jauh sejatinya juga bukan hanya karena masih kuatnya paradigma lama semacam itu. Meski mengalami peningkatan pesat dalam lima tahun terakhir, infrastruktur internet kita sebelum setangguh yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Begitu Presiden Jokowi mengimbau untuk bekerja dari rumah, saya bertanya pada kawan-kawan yang berkecimpung di dunia penyedia layanan internet, beranikah mereka membuat pernyataan bahwa jaringan internet kita siap untuk teleworking? Seorang sekjen sebuah federasi teknologi tegas menjawab, “Nggak berani!”
Jawaban sang sekjen ini mulai masuk akal setelah kerja jarak jauh dan kuliah jarak jauh dimulai awal pekan ini. Seorang teman yang anaknya harus kuliah jarak jauh terpaksa harus nongkrong di Starbucks karena koneksi internet di rumahnya mati. Mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki koneksi internet tetap di rumahnya mulai mengeluh karena harus menghabiskan kuota 500 MB untuk kuliah online 2 jam menggunakan Zoom.
Dengan 98 persen pengguna internet Indonesia tergantung akses internet mobile, keluhan soal kuota internet yang mahal dan tidak stabil akan jadi kendala utama kerja dan kuliah jarak jauh, terutama jika harus rapat dengan konferensi video.
ADVERTISEMENT
Masalah-masalah tadi hanya sebagian kecil dari kendala bekerja dan kuliah dari jarak jauh, Padahal kita baru berbicara tentang sebagian pekerjaan kelas white collar yang bisa dikerjakan dari jarak jauh. Kita belum bicara beberapa pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dari jarak jauh, terutama pekerjaan-pekerjaan kelas blue collar yang hampir semuanya mengharuskan pekerja untuk hadir secara fisik.
Belum lagi pekerja mandiri atau pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek dan taksi daring, pengemudi taksi dengan target setoran, pedagang kaki lima, dan banyak pekerjaan lainnya yang penghasilannya sangat tergantung pada hasil pekerjaan harian. Mereka tentu tidak bisa dituduh sebagai kelompok ignoran, apalagi bodoh. Buat mereka, bahaya terjangkit Virus Corona tidak sebanding dengan bahaya tidak mendapat penghasilan untuk keluarganya selama berdiam di rumah.
ADVERTISEMENT
Hari ini saya mengobrol dengan pengemudi taksi daring yang kemarin mencoba untuk untuk melakukan social distancing dengan berdiam di rumah. Namun dia menyadari, berdiam diri di rumah tidak akan membuat cicilan mobilnya dilunasi oleh pihak leasing. Dia pun kembali bekerja hari ini dengan menggunakan masker.
Untuk kelompok masyarakat seperti ini, pemerintah harus menjamin mereka dapat tetap melakukan mobilitas secara sehat dan aman. Pembuatan protokol yang tepat dapat mengamankan kelompok ini dari risiko penularan COVID-19. Opsi lainnya, pemerintah dapat memberikan dana bantuan langsung tunai pada mereka sebagai kompensasi berdiam diri di rumah.
Apapun opsi yang dipilih, solidaritas masyarakat harus menjadi kekuatan Indonesia dalam menghadapi pagebluk Virus Corona yang sekarang melanda seluruh dunia. Pemerintah harus menjamin seluruh warga negara memperoleh hak-haknya dan terpenuhi kebutuhannya selama masa darurat COVID-19 tanpa perbedaan kelas sosial.
ADVERTISEMENT