PSI Berharap Revisi UU ITE Tak Sebabkan Kekosongan Hukum

Konten dari Pengguna
9 Maret 2021 12:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Juru bicara PSI bidang Digital dan TI, Sigit Widodo (nomor dua dari kiri) dalam sebuah diskus panel.
zoom-in-whitePerbesar
Juru bicara PSI bidang Digital dan TI, Sigit Widodo (nomor dua dari kiri) dalam sebuah diskus panel.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berharap revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dilakukan secara hati-hati dan dilakukan simultan dengan revisi UU lainnya agar tidak terjadi kekosongan hukum. Demikian disampaikan juru bicara PSI bidang Teknologi Informasi, Sigit Widodo, dalam sebuah diskusi daring yang digelar Party Watch Institute, Jumat malam (5/3/2021).
ADVERTISEMENT
Selain Sigit diskusi bertajuk “RUU ITE: Kondisi Keumatan dan Kebangsaan?” ini juga dihadiri Wasekjen DPP PPP, Idy Muzzayad, Ketua Bidang Komunikasi DPN Partai Gelora, Ari Saptono, tenaga ahli Fraksi Nasdem DPR-RI, Ade Muhammad, dan pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria.
Seluruh peserta diskusi sepakat UU ITE harus direvisi, terutama terkait pasal-pasal yang sering dianggap sebagai pasal karet. Namun Sigit mengingatkan, jangan sampai terjadi kekosongan hukum karena revisi dilakukan terburu-buru dan tambal-sulam.
“Perlu diingat, tanpa UU ITE pelanggaran hukum di Internet tidak dapat ditindak. Mengapa UU ITE sekarang digunakan oleh semua pihak jika terjadi masalah di internet, ya karena Undang-undang di luar ITE tidak mengaturnya, selain UU Pornografi yang disahkan di tahun yang sama,” kata Sigit.
ADVERTISEMENT
Menurut Sigit, pelanggaran hukum di Internet seharusnya cukup dijerat dengan KUHP seperti pelanggaran hukum di dunia nyata. “Internet seharusnya tidak diperlakukan seperti dunia lain. Apa yang tidak boleh dilakukan di dunia nyata, seharusnya tidak boleh juga dilakukan di internet. Anda tidak boleh menyebarkan berita bohong di pasar, Anda juga tidak boleh menyebarkannya di Internet,” jelas Sigit.
Namun karena KUHAP dan KUHP saat ini tidak dapat digunakan untuk menindak pelanggaran hukum di jaringan elektronik, maka menurut Sigit, revisi KUHP dan KUHAP juga harus dilakukan secara simultan dengan revisi UU ITE. “Kembalikan UU ITE untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik saja. Soal pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong cukup ditangani dengan KUHP yang sudah direvisi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun Sigit setuju jika UU ITE direvisi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. UU ITE yang disahkan pada 2008 dan sudah dirancang sejak beberapa tahun sebelumnya tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. “Kondisi 2008 dan 2021 sangat berbeda. Pengguna internetnya saja sudah tidak sama,” ujar Sigit.
Pada tahun 2004 saat naskah akademik RUU ITE dibuat, pengguna internet di Indonesia baru berjumlah 11 juta orang. Angkanya meningkat pesat pada 2008, namun masih di kisaran 25 juta orang. “Ini berbeda sekali dengan kondisi saat ini di mana hampir 200 juta Warga Negara Indonesia sudah memiliki akses ke Internet,” kata Sigit.
Mantan direktur operasional Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) ini mengatakan, selain jumlah pengguna, penggunaan internet saat itu juga sangat berbeda dengan saat ini “Facebook baru dirilis tahun 2004, Twitter tahun 2006. Keduanya mulai populer di Indonesia saat UU ITE sudah disahkan. Jangan lupa juga, kebanyakan akses internet kita saat itu bahkan tidak bisa digunakan untuk menonton Youtube. Jadi sangat berbeda dengan saat ini di mana semua orang bisa sangat mudah mengunggah video untuk Tiktokan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sigit mengkritik DPR-RI yang tidak memiliki sensitivitas untuk mengatur internet. “Bahkan Undang-undang Telekomunikasi kita saja tidak mengandung satu pun kata internet di dalamnya,” ungkap Sigit. Menurutnya, aturan perundangan terkait teknologi perlu direvisi secara rutin untuk mengikuti perkembangan zaman. “Undang-undang yang mengatur telekomunikasi di akhir abad lalu jelas tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi saat ini,” katanya.
Jika memiliki sensitivitas, DPR-RI menurut Sigit seharusnya mengkaji semua aturan perundangan yang terkait dengan internet dan mengusulkan revisinya. “Saya tahu DPR-RI didukung banyak staf ahli berkualitas yang sangat paham dengan masalah ini. Namun faktanya, DPR-RI tahun ini saja hanya memasukkan satu RUU terkait internet. Itupun diusulkan oleh pemerintah,” pungkas Sigit.