Citayam Fashion Week, Sebuah Catatan Singkat

Konten dari Pengguna
28 Juli 2022 14:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis di Citayam Fashion Week
zoom-in-whitePerbesar
Penulis di Citayam Fashion Week
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah beberapa minggu terakhir Citayam Fashion Week menjadi topik bahasan yang menarik. Mulai dari awalnya yang dianggap kampungan, sampai diikuti oleh banyak selebritas, dicontek gubernur, sampai munculnya kontroversi pendaftaran merek ke Kumham.
ADVERTISEMENT
Saya beberapa kali ke sana bersama kader-kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan sekali bersama Komunitas Perlindungan Anak (KPA). Selain itu, beberapa kader PSI lain juga mengamati perkembangan Citayam Fashion Week ini sejak awal.
Dari pengamatan saya ditambah obrolan dengan kader-kader PSI, para pengunjung Citayam Fashion Week, dan beberapa pengemudi ojek di kawasan itu, saya ingin membuat catatan kecil. Bukan soal Citayam Fashion Week-nya sendiri, tapi soal wacana memindahkan lokasi dan pembatasan hari hanya pada akhir pekan, atau bahkan dipindahkan ke ajang Car Free Day Jakarta.
Menurut saya, jika dipaksakan, wacana-wacana itu justru akan menghancurkan Citayam Fashion Week.
Pertama, kita harus memahami mengapa anak-anak Citayam, Bojong Gede, dan Depok memilih nongkrong di Dukuh Atas.
ADVERTISEMENT
Alasan utama dan sulit digantikan oleh lokasi lain adalah: saat ini Dukuh Atas adalah pusat transit moda-moda transportasi umum utama di Jabodetabek. Ada stasiun Commuterline, Stasiun MRT, dan Halte Trans Jakarta. Sebentar lagi, LRT dari Bekasi dan Cibubur juga akan menyambung ke sana.
Untuk anak-anak Citayam, Bojong Gede, dan Depok, akses Commuterline jelas jadi alasan utama.
Dari Depok, cukup merogoh kocek Rp 4.000 untuk sampai di Stasiun Sudirman. Artinya, hanya butuh Rp 8.000 untuk pulang-pergi. Harga yang sama berlaku untuk kereta api dari Stasiun Citayam. Dari Bojong Gede, meski sedikit lebih mahal, tarifnya hanya Rp 5.000, atau Rp 10.000 untuk pulang-pergi.
MRT mungkin bukan pilihan utama bagi anak-anak Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Selain jalurnya masih terbatas, tarif terjauhnya dari Lebak Bulus mencapai Rp 14.000. Bus Trans Jakarta lebih terjangkau, hanya Rp 3.500, tapi tidak bisa menjangkau pinggiran Jabodetabek dan waktu perjalanannya lebih lama.
ADVERTISEMENT
MRT dan Bus Trans Jakarta digunakan oleh kelompok urban dan pekerja di sekitar Sudirman. Ini yang kemudian bercampur menjadi komunitas SCBD: Sudirman-Ciyatam-Bojong Gede-Depok.
Pilihan lokasi alternatif yang sempat disebut-sebut oleh Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria tidak ada yang bahkan mendekati kebutuhan anak-anak SCBD. Monas jauh dari Stasiun Commuterline, kecuali nanti Gambir sudah digunakan sebagai Stasiun Commuterline. TIM dan Sarinah sama saja. Mungkin ada stasiun yang agak dekat, tapi tidak seperti Stasiun Sudirman yang jaraknya hanya seratusan meter dari lokasi Citayam Fashion Week.
Lokasi yang mungkin lebih cocok adalah kawasan kota tua, kalau lokasinyaa bisa digelar tepat di depan Stasiun Jakarta Kota. Ada Halte Trans Jakarta juga, meskipun MRT ke sana masih dalam pembangunan. Kekurangannya cuma tidak ada feel urban dari para pekerja yang lalu-lalang di sekitar Dukuh Atas.
ADVERTISEMENT
Tapi sebetulnya kenapa harus dipindahkan?
Alasan Citayam Fashion Week membuat kemacetan sebetulnya agak mengada-ada. Saat ngobrol dengan tukang-tukang ojek di wilayah itu, mereka mendeskripsikan lokasi itu sebelum Citayam Fashion Week populer dengan “sepinya kayak kuburan”.
Sekarang memang macet, tapi macet oleh orang-orang yang ingin melihat Citayam Fashion Week. Kalau dipindahkan, jalan itu akan kembali sepi seperti kuburan. Padahal setahu saya kuburan di Jakarta juga nggak pernah sepi-sepi amat.
Sebelum jalan di Terowongan Kendal ditutup dan dijadikan pedestrian, Jalan Tanjung Karang yang dijadikan ajang Citayam Fashion Week memang ramai untuk mobil berputar. Tapi sejak terowongan itu ditutup, ditambah dua tahun Pandemi Covid-19, memang betul apa yang dikatakan abang ojek pada saya: sepi seperti kuburan. Mungkin maksudnya seperti kuburan di Citayam.
ADVERTISEMENT
Bahkan kalau mendukung Citayam Fashion Week, Pemprov DKI sebetulnya bisa saja memilih untuk menutup jalan Tanjung Karang mulai pertigaan Jalan Plaju sampai belokan Jalan Talang Betutu.
Hampir semua orang yang berkendara ke Jalan Talang Betutu bertujuan ke Stasiun Bandara Sudirman Baru. Akses yang sebetulnya juga bisa melalui Jalan Plaju, tanpa menimbulkan kemacetan sama sekali.
Bahkan sebetulnya bisa saja Tanjung Karang ditutup mulai dari pertigaan Sungai Gerong dan mobil yang mengarah ke Jalan Plaju dan Talang Betutu dilewatkan jalur belakang. Tapi tidak usah berlebihan, cukup mulai pertigaan Jalan Plaju saja.
Lalu soal waktu yang dibatasi hanya pada akhir pekan atau bahkan dipindahkan ke ajang Car Free Day.
SCBD Dukuh Atas sebetulnya alternatif tempat nongkrong di wilayah urban yang murah-meriah dan tidak bias kelas. Anak-anak SCBD mungkin tidak cukup pede untuk bergaya di mal-mal seperti Grand Indonesia atau yang lainnya. Di sini mereka bisa nongkrong bebas, dan makan minum di warung pinggiran Jalan Plaju yang terjangkau.
ADVERTISEMENT
Gagasan membatasi Citayam Fashion Week hanya pada akhir pekan jelas bias kelas. Ini semacam usulan membuka mal hanya pada akhir pekan untuk kelas menengah atas.
Sadis, kan?
Tentu saja ada hal-hal yang harus dijaga jika Citayam Fashion Week mau dipertahankan. Misalnya, kebersihan harus sangat dijaga. Karena itu saya agak heran dengan Pemprov DKI yang ngeyel tidak mau memasang tempat sampah di lokasi itu. Malah seharusnya Pemprov DKI juga memfasilitasi toilet portabel di sekitar situ.
Kemudian seperti mal saja, jangan biarkan anak berseragam sekolah nongkrong di sana. Pembatasan jam hingga pukul 22.00 menurut saya sudah benar. Pastikan juga jangan ada anak-anak yang sampai menginap di pinggir jalan karena tertinggal kereta terakhir.
ADVERTISEMENT
Kalau ada masalah dengan Citayam Fashion Week, menurut saya masalahnya lebih pada tata kelola lokasi. Kalau dikelola dengan baik, ajang kreativitas anak-anak muda ini bisa bermanfaat untuk pemulihan ekonomi dan ajang promosi brand-brand lokal.
Bahkan Citayam Fashion Week bisa jadi tempat wisata baru. Tengok saja, makin banyak orang asing datang ke lokasi tersebut.
Slebew!