University of California Membantah Fakta Versi Taruna Ikrar

Konten dari Pengguna
26 November 2017 20:12 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sidrotun Naim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
University of California Membantah Fakta Versi Taruna Ikrar
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
oleh Sidrotun Naim
Staf dosen Surya University, Tangerang; Anggota Dewan Pakar Indonesia Strategic Institute (INSTRAT), Bandung; Alumnus University of Arizona (PhD, Mikrobiologi Perikanan) dan Harvard University (MPA, Leadership and Decision Sciences)
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Science does not tell what we shall do and how we shall arrange our lives any more than it did when Max Weber (1948) quoted Leo Tolstoy in "science as a vocation" (sains sebagai pekerjaan). Begitulah Profesor Sheila Jasanoff (dengan latar belakang akademik di bidang matematika, bahasa, dan hukum) mengawali kelas Bioethics, Science, and Society di Harvard Kennedy School. Kutipan yang relevan untuk kasus Taruna Ikrar. Jika dahulu sains sebagai pekerjaan bukan semata-mata tentang intelektualitas dan intelegensia (kecerdasan), tetapi juga tentang passion, inpirasi, dan nilai-nilai, maka di jaman modern, sains tidak bisa lagi sepenuhnya mengatur bagaimana kita hidup maupun membatasi apa yang dapat kita lakukan. Jasanoff membahas lebih detail dalam bukunya ‘Reframing Rights’ (2011).
ADVERTISEMENT
Identitas dan otoritas sebagai ilmuwan khususnya bidang ilmu hayati, memiliki sebuah kekuatan tersendiri yang dideskripsikan oleh filsuf Perancis Michel Foucault sebagai biopolitik dalam kuliah-kuliahnya ditahun 1975-1976. Turunan dari biopolitik ini juga membahas misalnya biopower, bioconstitution, dan demokrasi dalam ilmu hayati. Sains (ilmu hayati) menjadi seperti sebuah republik tersendiri, bahkan 'agama' baru yang menjadi rujukan masyarakat modern. Aborsi, rekayasa genetik, bayi tabung, pengobatan penyakit, tanaman transgenik, kloning, adalah contoh isu-isu nyata yang memerlukan 'fatwa' dalam ilmu hayati modern. Otoritas (wewenang) dari ilmuwan sebagai rujukan untuk masalah-masalah di atas menjadi politis dan rawan dikapitalisasi. Bagaimana Taruna Ikrar mengemas identitas profesionalnya ke publik Indonesia, menjadi contoh yang sangat menarik antara science as a vocation vs. kapitalisasi/ politisasi profesi ilmuwan untuk tujuan tertentu, yang hanya dimengerti pelakunya.
ADVERTISEMENT
Ringkasan Kasus
Taruna Ikrar, peneliti neurosains, baru-baru ini melakukan klarifikasi dan pembelaan publik terkait status profesionalnya (6 Fakta versi Taruna) yang disebarluaskan ke media. Panggung pembelaan yang disediakan media ini seperti menetralisir dan cukup berhasil sebagai sebuah damage control. Sayangnya, fakta yang disampaikan Taruna tidak terverifikasi. Pembelaan yang justru membuka tabir yang lebih dalam tentang kesalahan dan klaim selama ini, yang belum juga diakuinya.
Taruna diundang menjadi pembicara di beberapa tempat di Indonesia, termasuk UGM dan TNI-AD awal November. Seorang netizen bernama Ferizal (alumnus UGM), menulis pertanyaan terbuka di media sosial, ditujukan ke rektor UGM dan Panglima TNI. Pertanyaannya terkait klaim Taruna tentang nominasi Nobel 2016, profesor biomedik dan dekan di Pacific Health Sciences University (PHSU), dan Presiden BioBlast Discovery.
ADVERTISEMENT
Saya menghubungi Profesor Zullies Ikawati dari UGM yang mengundang Taruna sebagai pembicara di sebuah seminar. Beliau menjelaskan bahwa di awal korespondensi, Taruna menggunakan alamat email dari University of California, Irvine (UCI), mengindikasikan masih ada afiliasi. UGM mengundang Taruna dengan pertimbangan publikasinya yang banyak termasuk di Nature. Selain ini, Taruna menjadi bagian dari tim peneliti di UCI yang produktif. Sebagai orang Indonesia yang berpengalaman di sebuah grup penelitian yang kredibel di Amerika, diharapkan Taruna dapat membagikan pengalaman dan keilmuannya. Karenanya, undangan sebagai pembicara seminar masih cukup layak dan UGM sudah menggunakan pertimbangan yang benar.
Modal Sosial
Aminuddin, salah seorang staf pengajar dan peneliti Universitas Hasanuddin telah menghubungi seorang profesor di UCLA dan UCI untuk menginvestigasi klaim Taruna. Mengapa klarifikasi ke UCI? Dengan melakukan pendekatan kepada Rektor Unhas, Taruna diangkat menjadi dosen luar biasa. Menjadi relevan jika Aminuddin melakukan investigasi sebagai sesama alumni dan staf pengajar Unhas untuk memperoleh informasi yang benar tentang kredibilitas dari seorang adjunct professor Unhas.
ADVERTISEMENT
Sedangkan saya, sampai kasus ini menjadi perbincangan, selalu menganggap Taruna sebagai ilmuwan panutan yang produktif dalam publikasi ilmiah dan tulisan populer. Taruna pernah menjadi pengurus PB-HMI, ICMI, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), dan saat ini menjadi anggota Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagai sesama peneliti, saya tidak ingin Taruna mengalami pengadilan publik tanpa disertai bukti. Selain itu, tema tentang hubungan sains, teknologi, dan masyarakat, serta tentang kepemimpinan dan otoritas, adalah bidang kajian saya secara akademik, selain tentang biologi dan perikanan yang menjadi bidang utama saya. Sebagai sesama orang Indonesia, bukan hal yang mudah dan tanpa beban moral bagi saya untuk menghubungi institusi di Amerika, mengklarifikasi hal-hal yang terlanjur menjadi polemik di publik.
ADVERTISEMENT
Taruna memiliki modal sosial lengkap. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang sangat beragam. Aktif di organisasi-organisasi mapan. Modal sosial ini, ditambah integritas ilmuwan menuntut standar moral dan etik yang tinggi, adalah wajar jika saya, publik, dan lembaga-lembaga di Indonesia memiliki kepercayaan tinggi kepada Taruna. Bahkan, dalam rangkaian HUT-RI ke 72, Unit Kerja Presiden Penguatan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), memberikan penghargaan kepada Taruna sebagai salah satu ikon ilmu pengetahuan.
Jejak Rekam Akademik
Taruna adalah alumnus program kedokteran Unhas (1988-1997, dr.), magister biomedik Universitas Indonesia di bidang farmakologi (1998 – 2003, MBiomed), dan PhD di bidang kardiovaskuler dari Niigata University (2003 – 2008). Setelah itu, dari 2008 – 2016 menjadi peneliti di UCI dengan keahlian sebagai electrophysiologist.
ADVERTISEMENT
Jejak di atas perlu dicermati publik untuk mengetahui kapasitas keilmuan dan kompetensi klinik Taruna. Kapasitas keilmuan dapat dilihat dari publikasi. Terkait kompetensi klinik, setelah mendapatkan ijin praktek dokter umum, Taruna hanya mungkin praktek antara 1998 – 2003 di Jakarta sambil menjalani program magister dan bekerja untuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Di Jepang dan Amerika, Taruna mengambil spesialisasi penelitian jantung dan saraf, tetapi tentu saja tidak sama dengan dokter spesialis jantung dan dokter spesialis saraf. Kalaupun dalam periode 2003 -2017 Taruna masih melakukan praktek sebagai dokter, akan terbatas saat pulang liburan ke Indonesia. Bukankah selama 2003 - 2017 Taruna berada di Jepang dan USA?
Sejak 2017, Taruna mengaku berafiliasi sebagai dekan dan profesor di National Health University (NHU)/ Pacific Health University (PHSU) dengan menunjukkan dua surat pengangkatan. Dengan beberapa cacat administrasi, misal tanda tangan rektor yang tidak konsisten, SK pengangkatan bulan Januari 2017 padahal Taruna ditransfer dari NHU yang hanya 9 bulan eksis untuk kemudian tutup (apapun alasannya) dan bergabung dengan PHSU Oktober 2017 (keterangan administrator PHSU), dan logo PHSU diambil dari domain publik, maka keberadaan PHSU dan klaim Taruna sebagai dekan dan profesor memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Klarifikasi UCI
Korespondensi tanggal 13 – 22 November 2017, antara saya dengan Dr. Xiangmin Xu (atasan langsung Taruna di UCI) dan selanjutnya wewenang menjawab diambil alih oleh Profesor Alan Goldin, membantah klaim Taruna. Alan Goldin adalah penanggung jawab program training klinis di UCI, Associate Vice Chancellor for Academic Affairs, Susan & Henry Samueli College of Health Sciences. Beberapa poin yang disampaikan adalah: (1) Taruna selesai kontrak dengan UCI pada 8 Agustus 2016 dan setelah itu tidak ada afiliasi. Alamat email Taruna di UCI seharusnya sudah dihentikan pada hari tersebut, tetapi ada kelalaian UCI. Hal ini membantah keterangan Taruna bahwa dia masih memiliki email UCI karena masih terafiliasi. (2) Selama 8 tahun di UCI, Taruna adalah peneliti postdoktoral selama 5 tahun, dan sebagai asisten spesialis selama 3 tahun. Hal ini membantah kesan yang diciptakan Taruna ke publik Indonesia yang jejak digital tertulis dan audiovisual mudah didapatkan: staf akademik, spesialis senior, atau bahkan adjunct research professor. Peneliti di UCI disebut ‘academic’ untuk membedakan dengan staf administrasi. ‘Academic’ di kartu pengenal yang ditunjukkan Taruna, menunjukkan bahwa kategorinya peneliti, bukan pengajar (untuk dosen, di kartu identitas tertulis 'faculty'). Ini membantah kesan yang diciptakan Taruna bahwa dia juga memiliki peran mengajar dan membimbing mahasiswa S3 bahkan postdoc. Peran ini mungkin saja dilakukan, tetapi informal. Adalah hal yang biasa peneliti dan mahasiswa di laboratorium yang sama, bahkan di universitas yang berbeda, saling berdiskusi dan membantu. (3) UCI tidak pernah menominasikan Taruna untuk Nobel kedokteran 2016 atau penghargaan lain. Dalam pembelaannya, Taruna membantah pernah mengklaim dinominasikan Nobel. Sayangnya, jejak digital audio di VOAnews (Mei 2016) dan audiovisual di TVOne (Mei 2017) menunjukkan bahwa Taruna mengatakan dinominasikan untuk Nobel 2016. Bukti lain adalah percakapan WhatsApp antara Taruna dan wartawan Republika pada tanggal 18 Juni 2016. (4) Berdasar database yang dapat diakses publik, Taruna tidak memiliki paten (klaim dua paten bahkan lebih dapat ditelusur di jejak audiovisual), dan tidak memiliki ijin praktek dokter di Amerika. Foto di ruang kerja, lorong lab, dan di kampus UCI dengan jas dokter dan stetoskop, tentu hanya Taruna sendiri yang dapat menjawab mengapa hal ini dia lakukan. Tentu tidak ada salahnya orang berfoto dengan baju dokter atau astronot untuk kepentingan foto semata. Apakah ingin mengesankan praktek dokter di Amerika, ini hal yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Himbauan
Publik Indonesia khususnya dunia akademik, perlu berhati-hati dalam mengundang narasumber (baik dalam maupun luar negeri). Institusi seperti PHSU, kalaupun ada, bukan institusi yang layak untuk dijadikan mitra saat ini karena masih prematur. Begitu juga BioBlast (perusahaan medik yang masih baru) dan dibawa Taruna untuk kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam membangun rumah sakit. Kolaborasi dapat dilakukan jika PHSU dan BioBlast sudah mapan dan dapat memberikan manfaat lebih kepada institusi di tanah air. Lembaga pemerintah di bawah kantor Presiden harus menjaga wibawa Presiden, lebih berhati-hati dan tertib administrasi (verifikasi) dalam memberi penghargaan, bahkan dalam mengundang individu ke istana.
Kasus ini, semoga tidak menurunkan kepercayaan publik kepada ilmuwan. Banyak ilmuwan di dalam dan luar negeri yang berdedikasi dengan integritas tinggi. Untuk Pak Taruna, setelah mengakui kesalahan dan meminta maaf ke publik, semoga karir profesional dan kehidupan bersama keluarga dapat kembali normal. Kekhilafan Anda, tidak menurunkan kompetensi teknis yang Anda miliki. Anda tetaplah Taruna Ikrar, dokter dan peneliti/ ilmuwan. Berbuat salah itu manusiawi. Kemampuan untuk mengakui dan mengkoreksi kesalahan, menyadari kelemahan, tentulah tidak mudah. Apalagi untuk seseorang dengan otoritas seperti Anda. Konsep Adaptive Leadership yang dikembangkan oleh Ronald Heifetz (psikiater, analis kebijakan, dan pemain cello) dari Harvard Kennedy School menyinggung hal ini. Ketika seseorang dengan otoritas tinggi berbuat kesalahan, maka reaksi spontannya adalah defensive dan protective karena harus menjaga public image. Lebih mudah bagi masyarakat biasa untuk mengakui kesalahan, dibanding orang-orang dengan posisi lebih tinggi berdasar konstruksi sosial. Sebaliknya, ketika seseorang dengan otoritas yang tinggi mampu secara jujur mengakui kelemahan (vulnerability), dalam kondisi yang sesuai, masyarakat akan kembali mempercayai (trust) dan bahkan semakin menghormati (Heifetz, 1994, 2002, 2009, 2017).
ADVERTISEMENT
Konsep penting yang juga dibahas dalam Adaptive Leadership adalah tentang membedakan antara self (diri) dan role (peran). Seseorang bisa gagal atau tidak sempurna dalam menjalankan satu peran, tetapi jangan sampai diri ikut hancur. Misalnya, seorang laki-laki bernama Excel gagal dalam ujian sebagai pilot. Bukan berarti dia juga gagal dan menutup kemungkinan menjadi seorang suami dan ayah yang baik bagi keluarganya. Peran sebagai pilot bisa hilang, tapi tidak diri Excel. Dia lebih kompleks dan utuh dibanding satu peran sebagai pilot. Dalam kasus Anda, membawa-bawa nama PHSU dan BioBlast (peran sebagai dekan, profesor, dan presiden) justru memperumit hidup Anda. Padahal, jika Anda tampil dengan mengedepankan branding Taruna Ikrar seorang dokter dan ilmuwan dengan publikasi A, B, C, itu sudah cukup. Tak seorang pun akan membantah. UCI memperkuat branding diri Anda karena UCI merepresentasikan sebuah institusi dengan sejarah dan pencapaian panjang. Sedangkan PHSU dan BioBlast, untuk saat ini, justru melemahkan branding diri. Tidak semua identitas harus diungkap ke publik. Anda bisa membawa nama PHSU dan BioBlast ke publik, saat PHSU benar-benar menjadi universitas formal terakreditasi, atau saat BioBlast mencapai penjualan 10 juta dolar pertama. Karena kedua institusi masih baru, butuh fokus dan perhatian utuh dari Anda. Langkah terbaik bagi Anda yang menjadi leader adalah fokus membangun institusi dari dalam. Kolaborasi dengan pihak luar termasuk Indonesia, nanti dulu.
ADVERTISEMENT
Anda adalah satu dari sedikit anak bangsa ini, bahkan penduduk dunia, yang mengenyam pendidikan sangat tinggi dan pengalaman profesional yang cukup lengkap. Bangsa ini, dan dunia, tetap membutuhkan Anda sesuai dengan kompetensi ilmiah dan klinik yang Anda miliki. Anda adalah Taruna Ikrar, dokter dan ilmuwan neurosains. Tak seorang pun, atau lembaga apapun bisa mengambil atau membantah kompetensi yang Anda capai dengan kerja keras yang tidak mudah. Intinya adalah otentisitas. Membawa dan menampilkan diri tanpa melebih-lebihkan. Apalagi zaman now, dimana jejak digital sangat mudah ditelusur untuk mengkonfirmasi atau meng-challenge.
-------------
Catatan:
Link ke VOANews (Mei 2016) dimana pertama kali berita tentang penominasian Nobel 2016 beredar. Di bagian ujung, reporter menutup dengan berita tentang nominasi Nobel. Tentu reporter tidak akan tiba-tiba menyebutkan hal ini, apalagi bisa menyebutkan nama kolaborator dan institusi jika narasumber tidak memberikan informasi. https://www.voaindonesia.com/a/3312210.html
ADVERTISEMENT
Klaim diulang lagi setahun kemudian. Link ke TVOne (Mei 2017) https://www.youtube.com/watch?v=GQVogEokq7w&t=18s
Domain publik dimana logo NHU/ PHSU diambil. Tidak wajar sebuah universitas mengambil logo publik, tanpa modifikasi dan desain ulang https://thenounproject.com/term/university/106802/
Semua konten korespondensi/bantahan serta status formal di UCI memiliki bukti otentik, begitu juga copy percakapan WhatsApp antara wartawan Republika dengan Taruna Ikrar. Saya memutuskan untuk tidak membagi bukti otentik ke publik karena terdapat beberapa informasi yang sangat sensitif, berpotensi disalahpahami dan dapat merugikan Sdr. Taruna Ikrar. Kepada pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan bukti otentik tersebut untuk keperluan yang jelas, silahkan menghubungi saya.