Pandemi, Pekerja, dan Kegagalan Konstruksi

Shofiyatun
Alumni Jurusan Arsitektur Instintut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Konten dari Pengguna
8 Desember 2021 16:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofiyatun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nyaaaah, iku negoromu geger perkoro dalan 3,3 M. Bisa kasih wawasan dan penjelasannya?” Colek teman saya di akun media sosial sembari melampirkan link beritanya. Ada dua lampiran beritanya. Yang pertama screenshot akun Instagram isinya kira-kira begini: Baru jadi 20 hari dengan biaya Rp 3,3 M. Jalan ambles dan ancur. Dinas PUPR salahkan kendaraan karena memakai jalan itu”. Lampiran kedua link sebuah portal berita berjudul kurang lebih “Telan Biaya Rp 3 miliar, jalan yang baru dikerjakan sudah ambles”.
ADVERTISEMENT
Lampiran pertama tidak ada penjelasan pendamping, sedangkan lampiran kedua kalau diresume kesimpulan beritanya adalah pekerjaan jalan yang baru dikerjakan 20 hari ambles. Ketika anggota DPR daerah tersebut mengecek ditemukan ada kesalahan teknis dalam pengerjaannya. Tentu saja berita tersebut menuai debat kusir warganet di replyannya. Yang jelas kemudian banyak menyalahkan pihak kontraktornya. Karena yang tertangkap--sepertinya--poin berita utama.
Baru selesai 20 hari kok wes ambruk? Kira-kira begitu. Berbeda dengan yang kedua, proses pengerjaan baru 20 hari. Sehingga kondisi tersebut masih di proses masa pelaksaan dan pastinya diperbaiki. Ndak perlu lah itu anggota DPR sampai bawa wartawan. Karena hal teknis begitu cukup selesai di rapat mingguan saja. Tidak perlu diblow up ke media juga. Yang ada kalau diblow up ke media berita itu menjadi bola panas yang menggelinding seperti komentar-komentar warganet.
ADVERTISEMENT
Setiap pada peristiwa yang berbau kegagalan konstruksi beberapa teman saya memang suka njawil saya. Entah apa maksudnya. Mungkin hanya sebatas ngasih info atau karena saya kerja di kontraktor. Jadi sebagai reminder bahwa risiko di tempat saya bekerja itu tinggi sekali. Atau terkadang juga seperti kasus ketika sebuah SD di Pasuruan ambruk pada akhir tahun 2019 dikarenakan ada dugaan kasus korupsi, teman saya bertanya: “Mbak kenal ga sama kontraktornya?
Jadi begini ya teman-teman sekalian, kontraktor itu banyak macamnya di Indonesia. Berdasar kualifikasinya saja dibagi tiga: Kualifikasi kecil, menengah, dan besar.
Untuk apa sih pembagian kualifikasi ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar sama-sama dapat pekerjaan dan tidak ada caplok mencaplok lahar pekerjaan kontraktor lain.
ADVERTISEMENT
Jadi ketika kontraktor itu sudah masuk kategori Kualifikasi Besar, dia tidak boleh ambil pekerjaan untuk kontraktor Kualifikasi Menengah dan Kecil. Begitu juga sebaliknya.
Pembagian ini dibagi berdasarkan besaran modal, pengalaman, dan sumber daya manusia yang dikelola.
Besaran modal ini dilihat dari seberapa besar kekayaan yang disimpan. Pengalaman untuk menentukan seberapa banyak pengalaman perusahaan tersebut dalam mengemban proyek. Pengalaman tidak hanya diukur dari waktu tapi juga kekompleksitasan bangunan yang sudah pernah dikerjakan. Jadi misal ada owner mau membangun rumah sakit. Tentu saja dia akan menunjuk kontraktor yang punya pengalaman pekerjaan rumah sakit ketimbang kontraktor yang berpengalaman di gedung komersial. Begitu juga sebaliknya. Sumber daya manusia yaitu jumlah karyawan untuk menggambarkan efektivitas dan efisiensi. Biasanya, karyawan yang banyak akan menggambarkan perusahaan itu skalanya besar.
ADVERTISEMENT
Jadi tidak semua langsung digebyah-uyah satu kontraktor ngerjakan sembarang kali.
Terus kalau ada misal kegagalan konstruksi juga tidak serta merta kesalahan satu pihak--kontraktor--saja.
Pada setiap proyek pembangunan gedung itu ada yang namanya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Stakeholder utamanya ada tiga. Posisi kontraktor ini posisinya juga di tengah, yaitu sebagai pelaksana dari produk perencanaan dan yang pelaksanaannya diawasi oleh pengawas.
Kan bisa saja ambruk karena kualitas mutu dan bahan dikurangi mba?
Iya bener. Bisa saja ada kemungkinan itu. Tapi begini loh sebelum memulai pekerjaan. Ambil saja contoh pekerjaan struktur lantai satu. Di pekerjaan struktur itu ada material apa saja? Ambil contoh beton dan besi. Sebelum kontraktor melakukan PO beton dan besi seperti yang dipersyaratkan di spesifikasi teknis. Ada yang namanya approval material.
ADVERTISEMENT
Di approval material ini akan disebutkan beton dan besinya merknya apa, mutunya berapa. Sebelum disetujui pengawas akan meminta bukti-bukti terkait hal tersebut. Dengan apa? Dengan cara melakukan site visit ke batching plant untuk beton. Keperluan ke batching itu untuk apa?
Adalah untuk ngecek jarak dari batching ke proyek seberapa jauh, kemudian untuk melakukan test slump. Test slump ini dilakukan ketika beton segar telah diproduksi di batching plant. Jadi di batching nanti sebelum melakukan test kita juga melihat proses pembuatan ‘kue’ betonnya sampai jadi. Bahannya apa saja, takarannya seberapa dan ngolahnya bagaimana.
Slump test beton adalah pengujian kekentalan beton segar agar beton yang diproduksi dapat mencapai kekuatan mutu beton dan mendapatkan nilai slump beton yang baik. Sehingga nantinya kekuatan betonnya sesuai dengan kebutuhan proyek yang akan dibangun.
ADVERTISEMENT
Selain test Slump juga ada tes Kuat Tekan yang bertujuan untuk mengetahui kuat tekan karakter beton karakteristik (kuat tekan maksimum yang dapat diterima oleh beton sampai beton hancur), sehingga dapat digunakan untuk menentukan waktu pembongkaran bekisting. Untuk test ini biasanya beton segar yang sudah kering besoknya akan dibawa ke lab yang sudah ditunjuk oleh pengawas. Seringnya pengawas menunjuk lab-lab kampus ternama yang punya jurusan Teknik Sipil dan punya lab untuk uji beton. Semua data test dan kunjungan didokumentasikan lengkap dengan berita acaranya. Dan test ini tidak hanya sebelum material beton setujui tapi di setiap proses pengecoran per-molen ada testnya sendiri.
Jadi kalau dibuat alurnya itu seperti ini persetujuan shop drawing, approval material, izin kerja, izin pengecoran yang minimal 3 hari sebelum jadwal sudah diajukan, kemudian pelaksanaan pekerjaan. Yang melakukan pengajuan siapa? Ya kontraktor. Yang bagian approval siapa? Ya owner, yang selama proses itu biasanya diwakili oleh pengawas selaku wakil owner di lapangan. Ini untuk proses awal besi-beton saja sedemikian ruwetnya. Belum lanjut ke pekerjaan lainnya. Jadi ketika ada kegagalan konstruksi pada proses tersebut di atas tidak serta merta menjadi salah kontraktor 100 persen seperti pemikiran anggota DPR yang terhormat di atas. Mbok ya jangan dengan cara itu--agar supaya keliatan--bekerjanya.
ADVERTISEMENT
Seperti media yang, terkadang, berlomba-lomba klick bait demi cuan. Tapi tetep berada di bawah standar aturan dan etika pers. Begitu juga dengan kontraktor. Walau bekerja cari cuan juga tapi tetap sesuai kaidah. kalau melanggar? Ya ditindak! Dan sanksi terberatnya adalah diblacklist dari seluruh jaringan lpse se-Indonesia raya.
Belum lagi di masa pandemi. Sektor konstruksi adalah sektor yang tetap masuk bekerja berapa pun level PPKMnya. "Kerja Kerja Kerja" seperti motto pak Jokowi. Kenapa anggota DPR yang terhormat ini konsennya ndak ke bagaimana mentally drainnya para pekerja konstruksi tersebut? Berapa pekerja konstruksi yang gugur selama pandemi? Dan mungkin mau ngasih bantuan ke anak-anak yatim yang bapaknya buruh kasar di proyek konstruksi. Kalau saya anggota DPR pakai sepersepuluh dana aspirasi saja sudah cukup membantu. Itu kalau saya. Sayangnya saya bukan anggota DPR jadi ndak dapat dana aspirasi sebesar Rp 450 juta.
ADVERTISEMENT