Kelompok Anti-Vaksin COVID-19 dalam Ruang Gema

Shiddiq Sugiono
Lebih menyukai untuk mengamati dan mengeksplorasi
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2021 19:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shiddiq Sugiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
<a href='https://www.freepik.com/vectors/kids'>Kids vector created by vectorjuice - www.freepik.com</a>
zoom-in-whitePerbesar
<a href='https://www.freepik.com/vectors/kids'>Kids vector created by vectorjuice - www.freepik.com</a>
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada masa pandemi COVID-19, kelompok gerakan anti-vaksin semakin gencar menggunakan media sosial dalam menyampaikan kampanyenya kepada khalayak. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Center Countering Digital Hate (CCDH), dalam skala global terdapat lebih dari 59 juta akun yang dikategorikan sebagai aktivis anti-vaksin di berbagai media sosial (CCDH, 2021). Bahkan wacana anti-vaksin di media sosial pada tahun 2020 turut digaungkan oleh Donald Trump yang dalam hal ini merupakan Presiden Amerika Serikat yang dinilai memiliki kekuatan untuk memengaruhi masyarakat lintas negara (Germani & Biller-Andorno, 2021). Adapun di Indonesia sendiri, pihak kepolisian telah mendapat perintah untuk mengusut tuntas gerakan kelompok anti-vaksin di media sosial karena kerap menyampaikan misinformasi dan berita bohong (Puspita, 2021). Melalui kondisi tersebut, seluruh pihak tentunya harus menyadari dan bersiap atas berbagai konsekuensi yang akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Kelompok anti-vaksin COVID-19 di media sosial cenderung memiliki perilaku yang homogen di mana mereka kerap menyampaikan berbagai macam misinformasi dan berita bohong (Germani & Biller-Andorno, 2021). Mulai dari efek samping berbahaya dari vaksin, keraguan terhadap efikasi dari vaksin, teori konspirasi hingga narasi elit global yang mengatur jalannya dunia. Adapun anggota kelompok anti-vaksin dinilai rajin memberikan engagement, seperti like, memberi komentar dan share, terhadap konten-konten bertema anti-vaksin yang diunggah oleh sesama anggota kelompok lainnya. Selain itu, mereka kerap menggunakan kata-kata yang emosional dan bahkan menyulut emosi ketika menyampaikan suatu konten. Tingginya aktivitas dari kelompok anti-vaksin tentu akan semakin meningkatkan produksi dan mempercepat sirkulasi misinfomasi di media sosial.
Merebaknya misinformasi di media sosial tidak boleh dipandang sebagai kasus yang biasa karena terdapat beberapa kasus konyol, bahkan hampir meregang nyawa, akibat percaya kepada konten tersebut. Di negara Iran, terdapat 5.011 orang yang dilarikan ke rumah sakit dan 90 orang menderita kebutaan karena terpapar informasi yang menyebutkan bahwa mengonsumsi methanol dapat menyembuhkan COVID-19 (Aljazeera, 2020). Adapun di negara Qatar terdapat 2 orang paruh baya yang mengalami muntah-muntah karena meminum hand sanitizer (Siddiqui et al., 2020). Informasi dari media sosial menjadi faktor utama mengapa dua orang tersebut nekat menenggak cairan pembersih tangan tersebut. Begitu pula di India terdapat sekelompok orang yang meminum larutan dari tumbuhan beracun karena percaya terhadap video yang tersebar di media sosialnya (Islam et al., 2020). Pada akhirnya pandemi COVID-19 tidak hanya tentang pertempuran antara manusia dengan virus tetapi manusia dengan informasi karena masih ada sekelompok orang yang rentan akan informasi di media sosial.
ADVERTISEMENT
Melihat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran kelompok anti-vaksin di media sosial maka muncul pertanyaan, mengapa kelompok anti-vaksin tidak terbuka dengan pemikiran kelompok pro-vaksin dan terus terbelenggu dengan konten-konten yang sama? Padahal banyak pihak-pihak yang sudah berupaya untuk menyampaikan konten mengenai pentingnya vaksin dan vaksinasi di media sosial. Mulai dari lembaga pemerintahan, kelompok organisasi kesehatan, hingga tingkat individu, promosi mengenai kebaikan vaksin telah dilakukan secara serempak di tengah pandemi ini. Hal ini tentunya menjadi permasalahan sendiri bagi konsep media di media sosial yang harusnya memiliki fungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan memperluas wawasan seseorang. Permasalahan ini akan dibahas melalui satu kacamata mengenai gelapnya dunia media sosial.
Ilustrasi ibu menolak pemberian vaksin. Foto: Shutter Stock

Kejamnya Echo Chamber

Echo chamber/ruang gema secara umum merupakan sebuah kondisi di mana keyakinan orang akan semakin diperkuat oleh adanya komunikasi yang bersifat repetitif dalam sistem yang terisolasi dan tertutup (Morini & Pollacci, 2021). Bayangkan jika anda berada pada suatu ruangan tertutup yang memiliki material khusus sehingga dapat memantulkan suara dengan mudah. Kita hanya dapat mendengar suara kita dan hanya mendengar perspektif kita sendiri secara terus menerus/repetitif. Tidak akan ada suara orang lain yang mampu membuka cara pandang kita mengenai apa yang berada di luar ruangan kita. Pemikiran kita hanya akan semakin mendalam dan menyempit. Selain itu, konsep echo chamber sendiri pada dasarnya telah memasuki tingkat ideologi di mana bukan lagi preferensi tetapi jalan hidup/way of life seseoranglah yang menentukan jenis konten di media sosialnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi inilah yang menjadikan media sosial menjadi ruang privat di mana pada nyatanya kita hanya dikekang oleh preferensi kita. Alih-alih mempromosikan fungsi sebagai alat untuk menambah wawasan dan perspektif, media sosial hanya membatasi dan memperdalam perspektif yang kita punya. Algoritma media sosial semakin memanjakan penggunanya dengan merekomendasikan konten-konten yang paling dan hanya disukai oleh penggunanya. Bahkan kita pun turut disodorkan lingkar pertemanan yang sesuai dengan apa yang kita gemari di media sosial. Pada akhirnya media sosial bukanlah media yang mampu memperluas wawasan dan perspektif melainkan hanya sebagai alat untuk memuaskan dan memanjakan keinginan informasi dari penggunanya.
Begitu pula pada konteks kelompok anti-vaksin COVID-19 di media sosial. Mereka akan disuguhkan konten-konten dan rekomendasi teman yang sejenis dengan preferensi bahkan ideologi mereka. Selain itu, mereka juga cenderung akan mendukung public figure yang memiliki ideologi yang sama mengenai anti-vaksin. Bahkan dengan sifat media sosial yang dapat memecah batasan geografis dari suatu negara, konten anti-vaksin yang diproduksi dan didistribusikan pada suatu negara dapat dikonsumsi oleh setiap orang di seluruh dunia. Dengan ideologi yang sama tersebut, kelompok anti-vaksin di media sosial akan mendukung satu sama lain meskipun diluar konteks budaya dan negara yang berbeda. Melalui kondisi-kondisi tersebut, ruang gema di media sosial adalah suatu keniscayaan, kelompok anti-vaksin akan semakin kuat dan terus dimanjakan dengan konten-kontennya.
ADVERTISEMENT
Konsep echo chamber turut mendiskusikan adanya confirmation bias di mana seseorang akan percaya begitu saja jika suatu informasi sesuai dengan ideologi mereka meskipun informasi tersebut salah. Hal ini tentu bisa menimbulkan bahaya dalam konteks kelompok anti-vaksin karena pada akhirnya mereka hanya akan percaya pada sebuah ketidakpastian atau dalam hal ini informasi yang mereka agung-agungkan seperti konspirasi dan elite global. Mereka hanya akan menyalahkan pihak-pihak tertentu yang belum tentu salah. Akan menjadi pekerjaan yang sulit untuk mengurangi bahkan mengubah pola pikir kelompok anti-vaksin karena pada kondisi ini kesadaran mereka sudah berada pada level ideologi atau suatu hal fundamental yang menjadi dasar hidup mereka. Bisa jadi, ini akan menjadi pertarungan abadi antara kelompok anti-vaksin dengan pro-vaksin di babak-babak selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang akan terjadi ?
Skenario terburuk dari echo chamber yang menyelimuti kelompok anti-vaksin di media sosial adalah polarisasi opini karena anti-vaksin merupakan sebuah kontra narasi dari wacana pro-vaksin. Beberapa penelitian mengenai analisis jaringan media sosial dari pesan yang bertemakan anti-vaksin di media sosial seperti pada Miyazaki et al. (2020) dan Germani and Biller-Andorno (2021) telah menyampaikan bahwa polarisasi opini antara anti-vaksin dengan pro-vaksin di media sosial telah terjadi secara nyata. Dalam polarisasi tersebut dijelaskan bahwa telah terjadi fenomena echo chamber pada kelompok anti-vaksin, sebagai contoh mereka kerap melakukan engagement, seperti share dan like, konten-konten anti-vaksin dari anggota anti-vaksin lainnya. Interaksi mereka hanya berkutat dengan sesama kelompok anti-vaksin sehingga media sosial adalah ruang privat bagi kelompok tersebut. Bahkan tidak jarang kelompok anti-vaksin memberikan balasan pesan dengan tone yang negatif kepada kelompok pro-vaksin (Miyazaki et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Tidak menutup kemungkinan jika pada akhirnya akan semakin besar massa gerakan anti-vaksin di dunia luring akibat adanya polarisasi di media sosial. Saat ini media sosial telah mampu menjalankan fungsinya untuk menggerakkan massa, tidak hanya dalam ranah daring tetapi juga luring. Misalnya saja pada pilpres 2019 lalu yang di mana gerakan oposisi di dunia maya telah berpindah ke dunia nyata. Gerakan anti-vaksin COVID-19 secara luring sendiri telah terjadi berbagai belahan dunia terutama di beberapa negara benua Eropa seperti Yunani dan Perancis. Sebagai informasi, Eropa merupakan lokasi di mana gerakan anti-vaksin disuarakan pertama kali, kala itu muncul gerakan anti-vaksin untuk penyakit smallpox/cacar pada tahun 1976.
Media sosial secara mendasar merupakan alat untuk mendukung kebebasan bersuara tetapi satu hal yang perlu diingat adalah implikasi yang muncul akibat kebebasan bersuara tersebut. Jangan sampai konten yang disampaikan di media sosial, khususnya oleh kelompok anti-vaksin, menjadi informasi yang sama-sama memiliki efek mematikan seperti virus.
ADVERTISEMENT
Referensi
Aljazeera. (2020). Iran: Over 700 dead after drinking alcohol to cure coronavirus. https://www.aljazeera.com/news/2020/4/27/iran-over-700-dead-after-drinking-alcohol-to-cure-coronavirus
CCDH. (2021). The Disinformation Dozen. 1–40. https://252f2edd-1c8b-49f5-9bb2-cb57bb47e4ba.filesusr.com/ugd/f4d9b9_b7cedc0553604720b7137f8663366ee5.pdf
Germani, F., & Biller-Andorno, N. (2021). The anti-vaccination infodemic on social media: A behavioral analysis. PLoS ONE, 16(3 March), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0247642
Islam, M. S., Sarkar, T., Khan, S. H., Kamal, A. H. M., Murshid Hasan, S. M., Kabir, A., Yeasmin, D., Islam, M. A., Chowdhury, K. I. A., Anwar, K. S., Chughtai, A. A., & Seale, H. (2020). COVID-19-Related infodemic and its impact on public health: A global social media analysis. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 103(4), 1621–1629. https://doi.org/10.4269/ajtmh.20-0812
Lee, F. L. F. (2016). Impact of social media on opinion polarization in varying times. Communication and the Public, 1(1), 56–71. https://doi.org/10.1177/2057047315617763
ADVERTISEMENT
Miyazaki, K., Uchiba, T., Tanaka, K., & Sasahara, K. (2020). The Strategy Behind Anti-Vaxxers ’ Reply Behavior on Social Media.
Morini, V., & Pollacci, L. (2021). Toward a Standard Approach for Echo Chamber Detection : Reddit Case Study. Applied Science, 11(5390). https://doi.org/https://doi.org/ 10.3390/app11125390
Puspita, R. (2021). DPR: Polri Usut Maraknya Narasi Antivaksin di Media Sosial. https://www.republika.co.id/berita/qpdrdp428/dpr-polri-usut-maraknya-narasi-antivaksin-di-media-sosial
Siddiqui, M. Y. A., Mushtaq, K., Mohamed, M. F. H., Soub, H. A. L., Mohamedali, M. G. H., & Yousaf, Z. (2020). “Social media misinformation”-an epidemic within the COVID-19 pandemic. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 103(2), 920–921. https://doi.org/10.4269/ajtmh.20-0592