'Susi Susanti: Love All', Film Biografi yang Menggugah

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2019 15:10 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shandy Gasella. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Shandy Gasella. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
★★★★☆ | Shandy Gasella
Setelah ‘Keluarga Cemara’ (Yandi Laurens) dan ‘Dua Garis Biru’ (Gina S. Noer), ‘Susi Susanti: Love All’ menjadi film Indonesia ketiga yang saya anggap paling spektakuler, dan meninggalkan impresi yang paling maksimal dibandingkan puluhan (atau mungkin sudah menyentuh angka 100?) film Indonesia lainnya yang telah edar sepanjang tahun 2019 ini. Dengan durasi 96 menit, film ini begitu padat, nyaris tanpa kehadiran adegan-adegan yang diada-adain, demi, tahulah...untuk manjang-manjangin durasi saja. Kebanyakan film kita masih dijangkiti penyakit itu, tetapi film besutan Sim F. ini tidak.
ADVERTISEMENT
Film ini kuat dalam menyatukan tiga genre utama; biografi, olahraga, dan romansa. Jarang ada film yang mampu menggabungkan ketiga genre tadi menjadi satu kesatuan naratif yang ajeg. Sebagai pembanding, dari khazanah film kontemporer, saya ambil contoh ‘Habibie & Ainun’ (Faozan Rizal, 2012), sebuah film biografi tentang mantan presiden/ilmuwan di bidang engineering. Sebagai film biografi, ‘Habibie & Ainun’ terlalu bertumpu pada sisi romansa (kisah cinta) semata antara, tentu saja, Habibie dan Ainun. Film itu tak mengulik bagian “zero to hero” seorang Habibie, juga tak lancar betul mengungkapkan kepandaian seorang Habibie di bidang engineering, kecuali yang nampak di permukaan saja, selebihnya film itu tak lebih dari sekadar kisah cinta ala Nicholas Sparks.
ADVERTISEMENT
Nah, katakanlah membandingkan ‘Susi Susanti’ dengan ‘Habibie & Ainun’ terasa tidak apple to apple, belum lama ini, persis sebulan yang lalu, film bertajuk ‘6,9 Detik’ garapan Lola Amaria—persis seperti ‘Susi Susanti’, ia merupakan film biografi yang mengangkat kisah hidup seorang atlet (panjat tebing), yang juga membanggakan bangsa dan negara kita (baca ulasan saya di sini). Namun, secara nilai produksi, ‘6,9 Detik’ berada jauh di bawah ‘Susi Susanti’, ‘6,9 Detik’ merupakan film berbiaya murah yang secara otomatis membatasi keleluasaan kreativitas sutradaranya, setidaknya dalam beberapa aspek Lola tak kuasa mencapai apa yang diinginkannya lantaran keterbatasan bujet tadi.
Oh iya, hampir terlupakan, mundur lebih jauh ke belakang, jauh sebelum ‘6,9 Detik’ ada juga film biografi tentang atlet, lebih spesifik lagi; atlet bulu tangkis Liem Swie King dalam film ‘King’ (Ari Sihasale, 2009). Seingat saya film itu berhasil menggugah emosi saya kala menontonnya satu dekade lalu. Tetapi, saya berani menyimpulkan bahwa ‘Susi Susanti’ bahkan lebih baik dari film itu hampir di segala aspek.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, saya bandingkan ‘Susi Susanti’ dengan ‘Habibie & Ainun’, sama-sama film biografi, sama-sama ber-setting waktu tempo dulu, dan sama-sama berbiaya cukup mahal. Dan, saya tidak sedang mendiskreditkan ‘Habibie & Ainun’, ia film biografi yang apik, yang saya maksudkan adalah, ‘Susi Susanti’ jauh lebih apik lagi. Dan, dibandingkan seluruh film biografi yang pernah dibuat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ‘Susi Susanti’ adalah yang terbaik!
Secara struktur naratif, empat penulis naskah film ini (banyak banget, Bok!); Syarika Bralini, Daud Sumolang (‘Kebun Binatang’, Hi5steria’), Raditya Mangunsong (‘Roman Picisan’, ‘Viva JKT48’), dan Sinar Ayu Massie (‘6,9 Detik’, ‘Cinta dari Wamena’) menggunakan formula tradisional genre Olahraga (Sports movies) “meet hero (perkenalan sang tokoh pahlawan), see hero overcome adversity (menyaksikan sang pahlawan mengatasi masalah), see hero win the big game (menyaksikan sang pahlawan memenangkan pertandingan)”, tak ada upaya untuk mendekonstruksi rumus baku tersebut, tetapi keempatnya mampu menyampaikan apa yang dicari dan disukai oleh penggemar film dan juga penggemar olahraga, yakni hal-hal yang tak terduga.
Poster film 'Susi Susanti: Love All' Foto: Instagram @filmsusisusanti
Di awal film kita dibawa ke tanah Sunda Tasikmalaya dekade 80-an kala Susi masih remaja (debut Moira Tabina Zayn). Berasal dari keluarga atlet, ayah dan kakaknya pebulu tangkis yang cukup disegani. Susi yang semula kepincut dengan balet, pada akhirnya ikut nyemplung ke dunia bulu tangkis profesional, bahkan melampaui kakaknya sendiri yang semula dijagokan sang ayah (diperankan Iszur Muchtar).
ADVERTISEMENT
Babak awal yang memperkenalkan Susi sebagai karakter pejuang tangguh yang kompetitif efektif dibangun, bahkan dalam sepuluh menit pertama. Dan dalam sepuluh menit pertama pula, nuance atau mood seperti apa yang bakal kita dapatkan sepanjang film sudah tergambarkan dengan baik.
Hari itu seisi kampung berkumpul di sebuah lapangan, ada panggung pertunjukan, dan tak jauh darinya ada pula pertandingan bulu tangkis yang sedang digelar. Susi hari itu mengenakan baju balet, ditemani ibunya (diperankan Dayu Wijanto yang selalu tampil cemerlang), ia bersiap tampil ke atas panggung, hingga pada saatnya namanya dipanggil oleh MC, Susi malah pergi menuju lapangan bulu tangkis untuk bertanding melawan jagoan di hari itu. “Eh, kamana budak teh?” Ibunya celingukan ditinggal sendirian di depan panggung.
ADVERTISEMENT
Ketika Susi tengah bersiap bertanding bulu tangkis, ibunya datang untuk mencegahnya, menjewernya lantas menariknya pergi menjauh dari lapangan. Hingga kemudian si lawan mengejek ibunya dengan mengatakan bahwa dagangannya, ciapo, sup ayam khas Cina, tidak enak. Si Ibu pun akhirnya merestui agar Susi mengalahkan si lawan bermulut besar itu.
Dari penggalan adegan di atas, kita dapat merasakan atmosfer konteks sosial dan politik antara kelompok yang mendaku “pribumi” sedemikian rasisnya terhadap orang-orang keturunan Cina — yang padahal juga sama-sama warga negara Indonesia. Keluarga Susi termasuk dirinya yang dibesarkan di perkampung di Tasikmalaya, di luar rupa fisik mereka yang memang berbeda dengan warga lokal, sesungguhnya mereka sama Sundanya. Tetapi, jangankan diangggap sebagai orang Sunda, pada babak berikutnya dalam film, Susi dan banyak lagi warga keturunan Cina bahkan tak dianggap sebagai WNI, walaupun mereka dilahirkan di tanah pertiwi. Isu rasisme yang berat dan krusial ini disampaikan dengan halus dan riang, dan terkadang sambil dipenuhi canda.
ADVERTISEMENT
Berkat bakatnya yang gemilang dalam bulu tangkis, kemudian Susi mendapatkan kesempatan untuk berlatih di Jakarta hingga lanjut ke Pelatnas. Mulai dari sini Laura Basuki mengambil estafet dari Moira, memberikan roh, menghidupkan Susi, dengan begitu effortless, dan ia tak sekadar meniru atau pretending to be Susi, tetapi ia menjelma menjadi Susi Susanti.
Digarap dengan konon biaya yang lumayan mahal, Sim F nampak tak menyia-nyiakan bujet itu, lantaran setting 80an dan 90an, walau seringkali tampil dalam ruang yang sempit, digarap dengan sangat teliti (misalnya adegan Susi dan Alan makan di warung dan adegan "Melawai Plaza"), lengkap dengan referensi budaya pop zaman itu hingga, tentu saja, situasi politik yang sangat militeristik nan mencekam.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah adegan yang amat cerdik, untuk tak menyebutnya sarkastis, manakala menyentil situasi politik rezim Orde Baru, yakni tatkala Try Sutrisno (Farhan, ‘Dilan 1991’, ‘Trinity Traveler’) berujar, “Kita ini kan bukan negara komunis yang semuanya mesti serba sama dan seragam!”—lantas kita disuguhi adegan sekelompok orang mengenakan baju olahraga yang seragam sedang melakukan gerakan senam yang seragam di belakang Try Sutrisno!
Empat hari telah berlalu sejak saya menyaksikan film ini pada Kamis (24/10/2019) lalu, dan pada saat saya menulis ulasan ini, semakin saya renungkan semakin saya mengagumi akan betapa baiknya film ini, baik dalam konten juga baik sebagai sajian yang penuh hiburan. Ini film yang lengkap yang merekam sejumlah peristiwa bersejarah, film drama yang menghanyutkan, film aksi yang mendebarkan, sekaligus film romansa dua sejoli yang dimabuk cinta yang bisa bikin kita senyum-senyum gemes. Saya rasa belum tentu dalam rentang waktu sepuluh tahun ke depan bisa kita temui film seperti ini lagi.
ADVERTISEMENT
Dibekali naskah skenario yang begitu dahsyat, Laura Basuki seolah terpacu untuk juga berkompetisi mengalahkan dirinya sendiri dalam bermain peran. Dan ia berhasil melampaui capaian-capaian akting terbaiknya. Di sini, tak hanya gerak tubuh atau bagaimana caranya berdialog, kedua bola matanya bahkan berakting dengan luar biasa, ketika matanya berbinar manakala sedang berada di dekat Alan (Dion Wiyoko, ‘The Gift’, ‘ ‘Cek Toko Sebelah’), sang pujaan hatinya, kita ikutan sumringah. Ketika matanya sayu didera cobaan bertubi, kita ikut merasakan seolah langit runtuh menimpa kita. Dan, ketika matanya berkaca-kaca, kita pun diam terpaku merasakan apa yang ia rasakan.
Sungguh sebuah debut yang luar biasa dari Sim F. ‘Susi Susanti: Love All’ adalah sebuah film tentang hakikat menjadi WNI, tentang rasisme dan politik yang dapat menggugah penonton untuk bergerak dan mengambil sikap; akankah kita berubah menjadi anggota masyarakat yang lebih baik? Tanpa pretensi, tanpa terlihat niat sekuat tenaga untuk tampil memukau, film ini berhasil menggugah saya. Saya cukup lama terpaku di kursi bioskop setelah film ini usai, hampir saja diusir tukang bersih-bersih saking lamanya saya beranjak dar kursi.
ADVERTISEMENT
Tak perlu gemar bulu tangkis untuk dapat menikmati film ini, pun jika kamu fans bulu tangkis dan masih ingat jalannya pertandingan Sudirman Cup dan Olimpiade 1992 di Barcelona, kamu tidak akan siap dan bakal terpukau akan bagaimana dinamisnya Sim F. mengemas jalannya pertandingan tersebut!